EKSPEDISI Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan saudaranya Frederick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh pada 21 Juni 1599. Mereka dijamu dengan hangat. Namun Sultan Aceh tidak berminat berdagang dan hanya ingin menggunakan kapal-kapal dan senjata Belanda untuk menyerang Johor di Semenanjung Melayu. Intrik para saudagar Portugis mengacaukan rencana itu dan menimbulkan salah paham serta kekerasan.
Pada 1 September 1599, pasukan Sultan Aceh menyergap dan membunuh Cornelis de Houtman dan beberapa orang lain. Pemimpin lain dari ekspedisi, Le Fort, berhasil meloloskan diri dengan dua kapalnya, tetapi 30 awak kapal termasuk Frederick de Houtman ditangkap.
Frederick dibujuk masuk Islam dengan iming-iming jabatan tinggi dan dinikahkan dengan perempuan Aceh. Dia menolak. Dia pun mendekam dipenjara Benteng Pidi selama 26 bulan (11 September 1599 sampai 25 Agustus 1601).
Frederick menghabiskan waktunya di tahanan dengan menyusun kamus percakapan berbagai topik dalam bahasa Belanda dan Melayu, berjudul Spraeck ende Woordboek, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden.
“Percakapan yang ditulis dalam bahasa Melayu pasar oleh Frederick berkisar tentang suasana dalam kontak jual-beli di pelabuhan,” ujar Lilie Suratminto, pengajar sastra Belanda Universitas Indonesia, kepada Historia. Bahasa Melayu yang terdapat di dalamnya, menurut Lilie, menyerap banyak kosakata Arab dan Turki yang transkripsinya disesuaikan dengan persepsi Frederick.
Frederick mengumpulkan bahan dan data dari wawancara dengan para informan sesama tahanan. Dia kerap dibantu seorang juru bahasa yang telah bertahun-tahun bekerja untuk armada Portugis dan Belanda. Juru bahasa dari Luxemburg itu dijuluki “Pak Kamis” oleh Frederick.
Pada bagian awal kamus berisi sajak pujian (Lof-Dicht) dan panduan astronomi yang menampilkan berbagai gugusan bintang di selatan khatulistiwa yang berguna bagi para pelayar mencapai Hindia. Kamus setebal 222 halaman ini juga memuat beberapa percakapan dan daftar kata dalam bahasa Belanda-Madagaskar.
Menurut Karim Harun dalam “Aspek Konjugasi dalam Buku Perbualan Houtman (1603)”, Jurnal Pengajian Melayu Vol. 17 (2006), padanan bahasa Madagaskar bertujuan membantu orang Eropa yang singgah di Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan), Afrika Selatan, untuk berinteraksi dengan penutur asli guna mengangkut perbekalan, makanan, dan minuman.
Frederick meletakkan percakapan bahasa Belanda di sebelah kanan dengan huruf Gotik, berdampingan dengan bahasa Melayu di bagian kiri yang memakai huruf Roman. Dalam komposisi itu, menurut Lilie, sang penulis masih terpengaruh kuat budaya Portugis yang kala itu kentara dengan penggunaan huruf Gotik dalam penulisan Alkitab.
Selepas bebas dari penjara atas usaha diplomasi Pangeran Mauritius, kamus percakapan itu diterbitkan Jan Evertsz Cloppenburch Boecvercooper op’t Water Amsterdam pada 1603. “Huruf Gotik tak lagi ada, sebab VOC pada abad ke-17 telah menetapkan huruf Roman sebagai aksara resmi pemerintahannya di Hindia Timur,” ujar Lilie.
Kamus percakapan ini sempat dirahasiakan dan hanya diperuntukkan bagi para pejabat dan nahkoda VOC. Namun akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Kamus ini mendapat permintaan tinggi di Eropa. Para awak kapal Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia menggunakan buku tersebut sebagai acuan pelayaran.
“Mereka memasukan buku ini ke dalam tas mereka sebelum berangkat ke Asia Tenggara,” tulis J.T. Collins dalam Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat.
Pada 1612, seorang pedagang VOC, Albert Ruyll, mengedit dan menerbitkan kembali kamus itu dengan judul Speighel vande Maleyshce Tale. Enampuluh delapan tahun kemudian terbit edisi tambahan yang tak lagi memasukkan bahasa Madagaskar, Arab, dan Turki. Penerbitan dalam bahasa Latin juga dilakukan Gotardus Arthusius, yang kemudian dialihbahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Avgvstine Spalding dengan tajuk Dialogues in the English and Malaiane Languages.
Pengalihbahasaan kamus percakapan Frederick de Houtman ke dalam berbagai bahasa, “telah membuka jendela Nusantara bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda,” ujar Lilie.