Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan naskah pegon di Salatiga pada 2019. Naskah pegon ini ditemukan di Nusa Tenggara Barat. Sempat ada upaya untuk membawa naskah pegon ini ke luar negeri. Beruntung kolektor benda kuno menyelamatkannya ke Salatiga.
Peneliti menyakini naskah pegon itu tertua di Jawa, yang diketahui dari angka tahun yang terbaca di dalamnya, yaitu 1347 Masehi.
Masyhudi Muhtar, peneliti arkeologi Islam di Balai Arkeologi Yogyakarta, yang meneliti naskah pegon itu, menjelaskan pada bagian akhir naskah terdapat kalimat puji-pujian dan memohon pertolongan kepada Allah. Puji-pujian itu ditulis dalam bahasa Arab. Di bawahnya terdapat angka Arab yang dibaca 1347 (bihamdillah wa ‘aunihi sanah 1347 M), yang di bawahnya terdapat huruf mim.
“Mim dalam bahasa Arab itu meladiyah, artinya kelahiran, yang dimaksud di sini adalah kelahiran Nabi Isa AS, maka angka tahun ini diambil dari angka tahun Masehi,” kata Masyhudi dalam diskusi daring berjudul “Beberapa Jejak Peradaban Asing di Jawa”, Kamis, 15 April 2021.
Baca juga: Naskah Pegon Tertua di Jawa
“Jadi, meski naskah berhuruf Arab dari masa Islam, naskah ini memakai angka tahun Masehi, meskipun biasanya banyak yang memakai angka tahun Hijriyah,” lanjut Masyhudi.
Tahun 1347 Masehi menunjukkan naskah ini dibuat pada masa Kerajaan Majapahit masih berjaya. Kala itu sudah banyak masyarakat Majapahit yang beragama Islam.
Menariknya, naskah itu ditulis menggunakan pegon, yaitu tulisan berbahasa Jawa menggunakan aksara Arab atau huruf hijaiyah. Artinya, pegon sudah dikenal masyarakat Jawa pada abad ke-14.
Jejak Awal yang Samar
Ibnu Fikri, dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, dalam laporan penelitiannya berjudul “Aksara Pegon: Studi tentang Simbol Perlawanan Islam di Jawa Pada Abad XVIII-XIX”, menjelaskan bahwa pegon menjadi sangat populer pasca masuknya Islam ke Nusantara. Sayangnya, menelusuri jejak awal pegon tidaklah mudah. Belum ada jawaban akurat soal kapan dan di mana aksara itu mulai digunakan.
“Beberapa pendapat hanya memprediksi bahwa huruf pegon muncul pada sekira 1200-1300-an Masehi bersamaan dengan masuknya ajaran Islam di Indonesia,” tulis Fikri.
Baca juga: Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa
Pendapat lain menyebut pegon muncul pada 1400-an. Penggagasnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel di pesantren Ampel Denta, Surabaya.
“Menurut pendapat lain, penggagas huruf pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon dan Imam Nawawi Banten,” tulis Fikri.
Fikri sendiri meyakini pegon kemungkinan muncul setelah Islam masuk dan berkembang di Jawa pada abad ke-14. Waktu itu, aksara Jawa Kuno berangsur surut. Awalnya, pegon hanya digunakan oleh kalangan tertentu, seperti pujangga dan lingkungan keraton.
“Di luar keraton, pesisir telah menggunakan bahasa Jawa yang telah dielaborasi dengan beberapa huruf hijaiyah sebagai representasi Islam,” tulis Fikri.
Baca juga: Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina
Pegon kemudian semakin populer pada abad ke-18 hingga ke-19. Pada masa itu, karya-karya ulama di Jawa ditulis dengan pegon.
Fikri menyebut ulama Jawa yang mempopulerkan pegon antara lain KH. Ahmad Rifa’i Kalisasak (1786–1878), KH. Sholeh Darat dari Semarang (1820–1903), KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang (1875–1947), Hasan Mustafa dari Garut (1852–1930), dan KH. Bisri Mustofa dari Rembang (1915–1977).
“Hampir seluruh kitab mereka menggunakan huruf pegon. Dengan berbagai kajian mulai dari filsafat, teologi, hadis, fikih, tasawuf, tafsir dan nahwu-shorof (tata bahasa Arab),” tulis Fikri.
Produk Akulturasi
Fikri berpendapat karya-karya yang ditulis dengan pegon menjadi bukti hadirnya Islam dalam bingkai budaya dan kearifan lokal. Pegon merupakan produk akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal.
“Hal ini bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan sebelumnya,” tulis Fikri.
Seiring berkembangnya Islam ke antero Nusantara, orang-orang di luar Jawa juga memakai huruf Arab untuk menuliskan bahasa mereka masing-masing. Misalnya bahasa Bugis di Sulawesi, bahasa Sunda di Jawa Barat, dan bahasa Madura.
Baca juga: Dreamsea, Pusat Data Naskah Kuno Se-Asia Tenggara
Sebagai produk akulturasi, pegon masih terjaga dan terlestarikan. Selain pegon, aksara Melayu atau Jawi juga digunakan oleh masyarkat Islam di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunai, dan Thailand Selatan.
Fikri menilai kemunculan aksara-aksara itu sebagai barometer kemandirian Islam lokal di Nusantara, khususnya di Jawa sejak berabad silam.