SESUNGGUHNYA kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, kelak di surga minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah kapur barus (air kamper/kafur), yaitu mata air dalam surga yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Begitu bunyi Alquran Surat Al-Insan ayat 5. Dari ayat itu, Rusmin Tumanggor dalam Gerbang Agama-Agama Nusantara, memperkirakan pada masa Nabi Muhammad Saw. menyiarkan Islam di Mekah dan Madinah, kapur barus telah dikenal di dunia Arab. Bahkan mungkin bukan barang baru lagi di pasar Arab.
“Tidak mustahil jika sebagian pedagang Arab sendiri yang mengambilnya ke Barus dan membawanya ke Arab,” tulisnya.
Baca juga: Kapur Barus, agen persebaran agama di Nusantara
Kapur barus memang telah menjadi salah satu primadona perdagangan sejak berabad silam. Barus yang berada di pesisir barat Sumatra adalah salah satu penghasil utama komoditas berharga itu.
O.W. Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, menerangkan pohon kapur barus merupakan tanaman hutan rimba Nusantara bagian barat. Tumbuhan ini hanya tumbuh di Sumatra, Borneo, dan selatan Malaysia. Sekalipun fosilnya telah ditemukan di Jawa Barat.
Sekarang ini, di selatan Malaysia, kapur barus kadang terdapat di Trengganu, Pahang, Johor, dan Selangir. Pada masa lalu mungkin tanaman itu tumbuh lebih tersebar.
“Karena nilai ekonominya yang besar sebagai sumber serbuk kristal, kapur barus dan karena proses penebangan yang berlebihan, daerah yang menghasilkannya telah berkurang,” tulis Wolters.
Lalu seberapa berharganya kapur barus bagi bangsa Timur Tengah hingga dijadikan perumpamaan campuran minuman para penghuni surga?
Nouha Stephan dalam “Kamper dalam Sumber Arab dan Persia”, yang terbit di Lobu Tua Sejarah Awal Barus, menjelaskan, istilah kafur sudah muncul dalam syair-syair yang dipercayai ditulis sebelum Islam muncul. Di sini, kafur dibandingkan dengan minyak kesturi untuk melambangkan kontras warna putih dan hitam.
“Dikontraskan misalnya warna minyak kesturi dari tinta dan warna kamper dari kertas,” tulisnya.
Kemudian muncul juga dalam tulisan karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir dan Ibn al-Baladuri. Tercatat kalau pada 637 M, yaitu waktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, Ctesiphon, para penakluk Arab menemukan kamper yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan.
“Jika diterima, cerita ini menunjukkan kamper sebagai hasil dari pohon kapur sudah dikenal pada awal zaman Islam,” tulis Nouha.
Baca juga: Mempertanyakan kembali teori Islamisasi di Nusantara
Sumber-sumber Arab pun memberikan petunjuk darimana kapur berasal. Salah satu catatan Arab paling awal menyebut daerah Fansur sebagai penghasil kamper bermutu tinggi. Kutipan itu berasal dari teks yang penulisnya tidak diektahui. Ditulis pada 851 M, catatan itu menyebutkan sebuah pulau bernama Lambri yang dihuni beberapa raja. Katanya pulau itu juga banyak mengandung emas.
Nama tempat Fansur dan Balus, memang sering dikaitkan sebagai penghasil kamper dalam banyak sumber asli Arab dan Persia. Di antaranya lewat buku-buku perjalanan, botani, kedokteran dan pengobatan.
Baca juga: Anak historis kamper
Soal letaknya, menurut Nouha, untungnya kemajuan teknologi kelautan membuat penjabaran lokasi Fansur kian rinci. Ahli geografi, Ibn Sa’id al-Magribi (meninggal 1286 M) salah satunya yang memberikan deskripsi tentang Pulau Djawa (Sumatra). Dia juga memperinci letak garis lintang dan bujurnya.
Ibn Said menyebutkan di selatan pulau-pulau Mahardja terletak Pulau Djawa yang besar dan terkenal. Di antara kota-kota terdapat sebuah yang terkenal, yaitu Lamuri. Di selatan, di bagian barat daya pulau ini terletak kota Fansur yang namanya diberikan kepada sejenis kamper yang disebut Fancuri.
Lalu ada ahli navigasi dan kartografi Arab abad ke-15 M, Ahmad b. Magid al-Nagd dari Oman yang memberikan informasi tentang lokasi Pulau Sumatra. Dalam kitab al-fawa’id fi usul al-bahr wa-l-qawa’id, dia juga menyebutkan kalau di pulau itu terdapat gajah putih, kamper, bunga pala, dan kesturi, yang hanya dibeli dengan emas.
Baca juga: Masuknya kristen di Indonesia
Rupa-rupa gunanya
Dengan bahan kapur barus itu, orang-orang Arab bisa melakukan berbagai hal. Nouha menulis, bagi ahli ilmu kedokteran dan penulis Arab, kamper merupakan salah satu dari lima rempah dasar. Sebagai rempah dasar, salah satunya, kamper dipakai untuk campuran pewangi. Di antara jenis campuran wangi-wangian yang mengandung kamper, nadd dan sukk adalah yang terpenting.
Adapun pewangi dalam bentuk air kamper, hanya digunakan oleh orang-orang kaya dan golongan pemimpin. Ini khususnya pada zaman Dinasti Abbasiyah,
“Tercatat dalam beberapa naskah bahwa sesudah makan, orang kaya biasanya menyediakan air berwangi kamper kepada para tamu untuk mencuci tangan,” tulis Nouha.
Namun, lama kelamaan posisi terkemuka kamper di antara rempah-rempah mulai pudar. Menurut Nouha, keadaan itu terlihat dalam karya al-Qalqasandi (meninggal 1418 M). Kayu cendana disebutkan menjadi satu-satunya rempah yang dapat dikirim oleh pemimpin kepada pemimpin lain sebagai oleh-oleh bernilai tinggi.
Dia juga mencatat kalau kamper dicampur air mawar untuk mengharumkan lem yang dipakai oleh para sekretaris dari kantor-kantor pemerintah. Informasi ini dapat diduga sebagai berbagai kegunaan baru untuk kamper pada sekira abad ke-14 M.
Kamper pun dikenal dalam ilmu kedokteran sekira pada abad ke-10. Di antaranya ahli bibliografi dan ilmu pengobatan dari Andalusia, Ibn Gulgul, mendaftarkan kamper di antara 63 bahan obat-obatan yang tak dicatat Dioscoride, ahli kedokteran Yunani dari abad pertama masehi.
Dalam bukunya, Ibn Gulgul, mendeskripsikan kamper adalah getah sejenis pohon mirip pohon cemara yang ada di Hindia. Air kamper digunakan sebagai balsam.
Kamper yang sedikit panas sebelum penyulingan menjadi dingin dan kering sesudahnya. Jika dihirup atau dicampur dalam obat-obatan, kamper dapat mengobati kandung empedu panas, radang hati, dan demam tinggi.
Kamper juga digunakan untuk merempahi mayat. Seorang inspektur di kantor al-hisba, Ibn al-Ukhuwwa (abad ke-14 M) mencatatnya dalam bab mengenai pemeriksaan pekerja yang merempahi mayat berdasarkan ritus tertentu. Karyanya ini terkenal seantero Mesir, Syria, dan sekitarnya. Tertulis bahwa mayatnya dimandikan beberapa kali dan kamper dipakai pada saat terakhir kali dimandikan. Barulah setelahnya mayat itu dikebumikan.
Kebiasaan itu juga tercatat dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah: "Rasulullah Saw bersabda, ketika kematian anaknya perempuan: 'mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih daripada itu dengan air dan daun bidara. Pada akhirnya taruhlah kafuuran (kapur barus) atau sedikit kapur barus'."