Masuk Daftar
My Getplus

Sastrawan Komunis Pimpin Pusat Kebudayaan

Setelah lama berseberangan, pemerintah Jepang akhirnya merekrut sastrawan komunis, Takeda Rintaro. Dikirim ke Jawa untuk memimpin Pusat Kebudayaan.

Oleh: Wenri Wanhar | 23 Jan 2015
Takeda Rintaro (inset) dengan anggota Keimin Bunka Shidousho (Pusat Kebudayaan).

SEMENJAK mengenal komunisme, Takeda Rintaro jarang masuk kelas meski sering muncul di kampus. Ketimbang mengikuti perkuliahan, mahasiswa jurusan Sastra Prancis Universitas Tokyo itu lebih aktif memimpin dan menghidupkan kelompok studi Marxist.

Kala itu, tahun 1926, gerakan dan pemikiran komunisme berkembang pesat di Jepang. Aksi protes buruh dan tani yang sedang marak mendapat dukungan mahasiswa. Dua tahun berselang, pemuda kelahiran Osaka, 9 Mei 1904 itu, kian radikal. Selain memimpin gerakan mahasiswa, dia mulai terlibat mengorganisasi gerakan buruh.

Di sela aktivitasnya di lapangan pergerakan, Takeda rajin menulis. Cerpennya dimuat sejumlah media. Karyanya memihak kaum buruh dan tani. Salah satu cerpennya yang terkenal, Nihon Sanmon Opera, mengkritik keras kesenjangan sosial dan getirnya kehidupan rakyat jelata. Karena karya-karyanya, nama Takeda popular dan dijuluki sastrawan proletar.

Advertising
Advertising

Pada 1929, usai menghadiri upacara pemakaman seorang tokoh gerakan buruh yang dibunuh kaum ultranasionalis, Takeda ditangkap polisi. Meski ayahnya polisi, dia tetap menghuni hotel prodeo selama sebulan.

Pada 1936, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang dinilai Takeda membatasi kebebasan berkarya. Kelompok sastrawan pecah dua. Sebagian mendukung pemerintah. Takeda ada di kubu para pembangkang.

Bersama kawan-kawan sepaham, Takeda menerbitkan majalah Jinmin Bunko (Pustaka Rakyat). “Majalah yang didirikan Takeda Rintaro tersebut melawan kelompok sastrawan sayap kanan,” tulis Kato Suichi, dalam A Sheep’s Song: A Writer’s Reminiscences of Japan and The World.

Di samping Takeda, majalah itu dikelola sastrawan kiri terkemuka lainnya: Takami Jun, Honjo Mutsuo, Tamuro Taijiro, Enchi Fumiko, dan Tamiya Torahiko. Jinmin Bunko hanya berumur dua tahun. Tekanan pemerintah memaksa majalah itu tutup pada 1938. Takeda kembali menjadi penulis lepas untuk beberapa majalah.

Perang Dunia II berkecamuk. Beralaskan Undang-Undang Penugasan Warga Negara untuk Tugas Negara yang disahkan pada Juli 1939, pemerintah Jepang merekrut banyak sastrawan untuk kepentingan propaganda perang Asia Timur Raya. Tak peduli dari kubu sayap kanan maupun sayap kiri. 

“Kritikus progresif Nakazima Kenzo dikirim ke Malaya... kritikus sayap kiri Shimizu Ikutaro dan novelis komunis Takami Jun dikirim ke Burma; Oya Soichi yang progresif dan Takeda Rintaro yang radikal dikirim ke Jawa,” tulis Donald Keene dalam “Japanese Writers and The Greater East Asia War,” The Journal of Asian Studies, Vol. 23, 2 Februari 1964.

Menurut Mery Kharismawati, peneliti Kajian Wilayah Jepang di Universitas Indonesia, Takeda Rintaro direkrut divisi propaganda Angkatan Darat pada November 1941. Dia sempat mengikuti latihan militer. “Sebelum berangkat, dia (Takeda) sempat bergurau dengan kawan-kawannya, ‘bagus deh. Orang yang terlibat dalam Pustaka Rakyat jadi selamat’. Artinya tidak ada lagi ancaman ditangkap polisi atas tuduhan menyebarkan paham sosialisme,” ujar Mery.

Kapal yang ditumpangi Takeda mendarat di Banten pada 1 Maret 1942. Mula-mula dia keliling Jawa-Bali memutar film propaganda, kemudian menjadi direktur Prinsen Park –kini, Lokasari di Mangga Besar, Jakarta. Semasa pendudukan Jepang, taman hiburan rakyat itu bernama Rakuntenchi.

Untuk memompa semangat Perang Asia Timur Raya, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidousho (Pusat Kebudayaan) di Jakarta pada 1 April 1943. Takeda yang ditunjuk memimpin bidang kesusastraan mengorganisasi kelompok sastrawan angkatan Pujangga Baru. Dia memilih Armjn Pane menjadi wakilnya.

Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Inu Kertapati, Amal Hamzah, Sutomo Djauhar Arifin, HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Chairil Anwar adalah nama-nama yang kerap hadir mengikuti diskusi berkala dan malam deklamasi yang digelar lembaga tersebut. Dalam buku Wartawan dengan Aneka Citra, Rosihan Anwar menceritakan bahwa puisi “Aku” karya Chairil yang legendaris itu lahir di sana. Menurut Rosihan, ketika kali pertama dibacakan puisi itu berjudul “Semangat.”

Pada Januari 1944, Takeda dipulangkan ke Jepang. Akhir tahun 1944, dia menerbitkan buku Jawa Sarasa, kumpulan esei tentang pengalamannya selama bertugas di Jawa. Dia meninggal dunia karena penyakit lever pada 31 Maret 1946.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno