Masuk Daftar
My Getplus

Perjuangan Rohana dalam Pendidikan Kaumnya

Kepeduliannya pada pendidikan perempuan sudah ada sejak Rohana masih belia. Landasan baginya untuk terus mengajar dan memajukan kaum perempuan.

Oleh: Nur Janti | 16 Nov 2019
Bangunan sekolah Kerajinan Amai Setia. Sumber: Rohana Kudus, Srikandi Indonesia.

KENDATI masih berusia delapan tahun, sebagai gadis tertua Sitti Rohana (Kudus) mendapat tugas menjaga dua adiknya, Ratna dan Ruskan. Rohana tak merasa terbebani. Sembari menjaga, Rohana biasa menjalankan hobinya membaca dan menulis.

Terkadang, Rohana membacakan cerita pada dua adiknya itu di teras rumah. Orang-orang yang lewat pun menyaksikan Rohana dengan perasaan heran sekaligus kagum. Kala itu di Simpang Tonang Tolu, Pasaman, Minangkabau, amat jarang anak perempuan bisa membaca dan menulis, terlebih huruf latin. Alhasil, anak-anak lain ikut berkumpul di rumah Rohana untuk mendengarkan kisah yang ia bacakan.

Keluarga Rohana merupakan pendatang di Simpang Tonang Tolu. Mereka mulai tinggal di sana pada 1892. Kampung halaman keluarga Rohana berada di Koto Gadang. Profesi ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan, sebagai Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belandalah yang membuat keluarga itu sering pindah mengikuti kepindahan tugas Sutan.

Advertising
Advertising

Dua tahun sebelum tinggal di Simpang Tonang Tolu, Rohana dan keluarga tinggal di Alahan Panjang. Di sana, Rohana punya ibu angkat bernama Adiesa yang gemar mengajarinya berbahasa Belanda, membaca, dan menulis.

Baca juga: Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional

Keresahan akan minimnya akses pendidikan untuk anak-anak perempuan sudah dirasakan Rohana sejak kecil. “Ayah, mengapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan sekolah? Kapan ada sekolah untuk anak perempuan di sini? Kapan saya bisa sekolah?” tanya Rohana kecil.

Beruntung, ayah Rohana bisa memahami kesedihan anaknya dengan cara rutin menyuplai bacaan anak di samping berlangganan koran dan majalah. Dari koleksi bacaan itulah Rohana menambah pengetahuannya.

Alhasil, meski tak pernah merasakan bangku sekolah formal, Rohana beruntung karena ayah, ibu, dan orang-orang sekitarnya mengajarkan kemampuan baca-tulis-hitung dan keterampilan lain seperti menjahit dan menyulam.

Rohana pun tak pelit berbagi ilmu. Ia senang sekali ketika teman-teman sebayanya menyimak apa yang ia baca. Di antara tetangga Rohana yang suka mendengarkan ceritanya, ada pula yang tertarik belajar membaca dan menulis. Mereka minta dituliskan nama masing-masing di telapak tangannya. Begitu melihat tulisan namanya, anak-anak perempuan itu amat gembira dan mencoba menghafal goresan di tangannya.

Baca juga: Rohana Kudus, Pahlawan Perempuan dari Tanah Minang

Kadang, Rohana membawa buku bacaan atau majalah langganan ayahnya ke teras rumah. Di sanalah ia akan bersenang-senang bersama teman-temannya. Membacakan cerita lucu dengan lantang sambil mengajari mereka cara membaca. Dari situlah Rohana mulai mengajari teman-teman dan tetangganya baca-tulis.

“Ayah, saya punya cita-cita. Saya ingin melakukan sesuatu untuk mengubah perlakuan tidak adil pada perempuan terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan,” kata Rohana kecil seperti dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus.

Setelah beberapa tahun di Simpang Tonang Talu, Rohana kembali ke kampung halamannya pada 1901. Kala itu usianya 17 tahun dan ibunya, Kiam, sudah empat tahun meninggal ketika melahirkan anak paling kecil. Ayah Rohana lantas menikah lagi dengan Asiah, adik Kiam.

Di Koto Gadang, Rohana tinggal di rumah neneknya, Tuo Tarimin, dan ibu tiri sekaligus bibinya. Di rumah itu tinggal pula adik neneknya, Tuo Sini, yang amat dekat dengan Rohana. Kedua neneknya inilah yang mengajari Rohana menjahit, menyulam, dan menganyam.

Membangun Amai Setia

Di kampung halamannya, keinginan Rohana untuk memajukan pendidikan kembali tumbuh. Ia pun membuka kelas kecil di salah satu kamar di rumah neneknya. Selain tulis-menulis, kegiatan lain yang diajarkan Rohana ialah menjahit, menyulam, merenda, dan menenun. Mulanya, murid Rohana hanya tetangga-tetangga perempuan sebayanya. Lambat laun, yang datang makin beragam, tak terkecuali ibu-ibu dan anak-anak lelaki yang tak sekolah.

Makin bannyaknya murid membuat Rohana berpikir untuk membuka sekolah. Untuk mewujudkan keinginan itu, Rohana menjaring dukungan dari para tokoh perempuan setempat. Ia lantas meminta bantuan Ratna Puti, istri seorang jaksa. Lewat bantuan Ratna Puti, sekira 60 perempuan yang terdiri dari istri para pemuka adat, agama, dan pejabat daerah (para Bundo Kanduang) berhasil diundang dalam pertemuan perempuan Koto Gadang. Dalam pertemuan itu, Rohana mengutarakan pentingnya membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang untuk menyiapkan mereka menjadi orang yang mandiri.

Baca juga: Rohana Kudus Tak Payah Dirundung Fitnah

“Khususnya bagi perempuan dari kalangan tidak mampu. Apabila perempuan bisa mencari nafkah untuk diri sendiri, paling tidak, kaum perempuan tidak akan bergantung pada orang lain. Hidup terus berjalan, masalah selalu ada. Kita tidak bisa diam dan hanya menangis,” kata Rohana dalam pertemuan tersebut.

Pidato itu menggugah hati para Bundo Kanduang. Alhasil, mereka sepakat membentuk perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 11 Februari 1911. Perkumpulan ini selanjutnya mendirikan sekolah kepandaian putri, mengajarkan baca-tulis huruf Arab, Arab-Melayu, dan latin. Rohana duduk sebagai presiden perkumpulan KAS dan sebagai direktris perguruan itu. Peresmian sekolah KAS disambut baik masyarakat dan beberapa orang Belanda dari jawatan pendidikan.

Namun, sekolah KAS tak punya bangunan sendiri. Lokasi kelas masih di rumah nenek Rohana meski muridnya sudah bertambah banyak. Ruangan itupun menjadi sesak. Sementara, untuk membangun sekolah KAS Rohana tak punya uang. Ia lalu meminta bantuan pemerintah untuk membuat lotere, “permainan” yang sering dipilih pemerintah kolonial untuk mengumpulkan uang dari warganya.

Baca juga: Perjuangan Rohana Kudus dalam Pendidikan Kaumnya

Setelah mengajukan rekes (surat permohonan), Rohana mendapat izin pemerintah untuk mengadakan lotere. Dikisahkan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, uang yang berhasil dikumpulkan dari permainan lotere itu mencapai 10.000 gulden. Hasil lotere itulah yang digunakan Rohana untuk membangun gedung sekolah KAS.

Pada 1917, Rohana yang sudah menikah dengan Abdul Kudus pindah ke Bukittinggi. Dengan dukungan suaminya, Rohana mendirikan Rohana School di rumah kontrakannya. Kerier mengajarnya terus berlanjut. Ketika berada di Medan, serikat kaum guru di sana memintanya menjadi guru Sekolah Dharma dengan gaji 50 gulden. Upah itu cukup tinggi mengingat gaji sebesar itu biasanya diterima oleh guru lulusan kweekschool.

Di tempat barunya ini, Rohana terus menyebarkan pemikirannya bahwa perempuan harus mandiri dan berdaya. “Perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik, tidak untuk ditakut-takuti, dibodoh-bodohi, apalagi dianiaya,” kata Rohana.

TAG

perempuan pendidikan rohana kudus

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Modal Soeharto dari Muhammadiyah Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu