PAKUBUWONO II (1711-1749), raja Kartasura, dilanda kegusaran. Keratonnya luluh-lantak akibat Geger Pecinan (1740-1743). Dia pun membuat keraton baru dengan lokasi yang baru pula karena dia percaya keraton lama sudah kehilangan pamor karena peristiwa tersebut. Para penasihat raja berunding. Mereka pun sepakat memilih wilayah Kedunglumbu di Desa Sala sebagai calon keraton baru.
Proyek keraton baru itu banyak rintangan. Kedunglumbu merupakan daerah rawa dan ditumbuhi tanaman talas. Selain itu, wilayah ini pusat lelembut yang dipimpin Uling Putih dan Nyi Blorong.
“Banyak kesukaran dalam melaksanakan pembangunan keraton baru. Air rawa harus dikeringkan. Penghuninya yang misterius juga harus digusur terlebih dahulu,” demikian tertulis dalam “Bagaimana Dulu Raja Solo Menggusur Daerah Setan dan Jin,” majalah Cinta, 1973.
Para penasihat raja bertekad mensukseskan proyek pembangunan kraton baru itu.
“Waktu yang dibutuhkan untuk membuka hutan, meratakan tanah dan membangun keraton, cukup lama. Berbagai gangguan sering terjadi, seperti kejang-kejang yang menimpa pekerja. Peristiwa demikian dianggap sebagai gangguan makhluk halus. Oleh para penasihat raja, dianjurkan untuk mengadakan upacara guna mengatasinya,” tulis Bakdi Soemanto dalam Cerita Rakyat dari Surakarta 2 Volume 3.
Uling Putih dan Nyi Blorong yang mengepalai barisan lelembut di Kedunglumbu sudah diperingatkan oleh Nyi Roro Kidul untuk berpindah tempat, daripada mendapat murka raja. Belum sempat para lelembut itu pindah tempat, Pakubuwono II sudah mengirimkan sepasukan berpakaian aneh dan menabuh beragam alat gamelan. Suasana gaduh membuat para lelembut kocar-kacir.
Pakubuwono II mengirim pasukan cantang balung di barisan terdepan. Pasukan ini berpakaian aneh: memakai topi berkerucut tinggi, berkain merah, berkalung bunga melati, berikat pinggang sindur, jenggot terurai putih, dan mengacungkan tombak Kyai Slamet.
“Cantang balung merupakan media untuk menjaga agar upacara dapat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai yang diharapkan,” ujar Dhanang Respati Puguh, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia.
Di belakang cantang balung, berbaris pasukan Panyutro. Pasukan ini, tubuhnya diberi bedak kuning, bercelana dan berbaju kuning pula dengan model lengan terpotong, berikat kepala batik motif bango tolak, serta bersenjatakan panah dan keris. Di belakang regu Panyutro, berbaris prajurit Prawirotomo yang berkostum hitam-hitam mulai dari topi hingga celana. Artikel tersebut menyebut lelembut tidak berani kepada ketiga regu pasukan itu karena mereka prajurit penghibur Nyi Roro Kidul.
Akhirnya, para lelembut itu berhasil digusur. Keraton baru pun dapat berdiri dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat.