Masuk Daftar
My Getplus

Noto Soeroto dan Sejarah Seni Rupa Indonesia

Tokoh yang dibuang dalam sejarah seni Indonesia. Tak dianggap oleh pihak ‘kanan’ maupun ‘kiri’.

Oleh: Andri Setiawan | 08 Okt 2020
Noto Soeroto. (Betaria Sarulina/Historia).

Nama Noto Soeroto jarang sekali diperbincangkan baik dalam sejarah politik maupun senirupa Indonesia. Padahal, banyak literatur yang bisa mengungkap posisi Noto Soeroto dalam historiografi Indonesia. Di bidang seni rupa, ia punya peran baik sebagai budayawan maupun kritikus.

Raden Mas Noto Soeroto lahir di Yogyakarta pada 5 Juni 1888. Ia tumbuh sebagai budayawan yang kemudian mendapat pendidikan ke Leiden, Belanda. Pemikiran-pemikirannya berkembang seputar wacana budaya, terutama seni rupa.

Aminuddin TH Siregar dalam “Dialog Sejarah Noto Suroto yang Terlupa” di saluran Youtube dan Facebook Historia menyebut bahwa Noto Soeroto kemungkinan adalah sejarawan seni rupa pertama Indonesia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Digulung dan Disingkirkan

Di Belanda, Noto Soeroto bergaul dengan lingkaran seni Den Haag Kunstkring. Lingkaran seniman bergengsi ini diisi oleh tokoh-tokoh seni ternama seperti Jan Toorop. Ia juga mendirikan Majalah Oedaya, majalah bulanan bergambar tentang budaya.

“Dari sini sebenarnya pintu masuk kita memahami dedikasi Noto Soeroto untuk membangun, untuk menata atau mengkonstruksi historiografi seni rupa untuk Indonesia saat itu,” kata Aminuddin.

Noto Soeroto juga menulis dalam rubrik “Kunst en Kunstenaar”. Ia sering mengundang rekan-rekan Belandanya untuk menulis. Dalam salah satu edisinya, Oedaya pernah memuat satu artikel mengenai kronologi sejarah dan perkembangan seni rupa Hindia Belanda dari zaman dulu hingga Raden Saleh dan murid-muridnya.

“Jadi ada garis perkembangan yang ditulis di dalam tulisan ini yang kita bisa lihat, ini adalah salah satu embrio dari penulisan sejarah seni rupa, konstruksinya,” jelas Aminuddin.

Baca juga: Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia

Noto Soeroto juga pernah menulis dalam Hethuis Oud & Nieuw tentang seniman Iko. Iko merupakan pematung asal Cimahi yang menurut Noto merupakan representasi dari bakat seni orang Jawa meski kala itu belum didirikan sekolah seni rupa.

Noto merunut bakat seni itu sudah ada sejak dulu dan bisa dilihat dalam candi-candi seperti Borobudur. Namun, seniman saat itu memang tak ditulis namanya dan berdiri secara individu.

Pada 1913, Noto menulis mengenai 100 tahun lahirnya Raden Saleh. Dalam pandangannya, Raden Saleh merupakan seniman sekaligus role model orang Jawa yang tercerahkan bahkan menginspirasi Boedi Oetomo.

Meski sangat menghormati Raden Saleh, ia menganggapnya terlalu Barat. Maka ketika pada 1918 ia menjadi editor buku Soembangsih, Noto menulis bahwa konsep seni rupa Raden Saleh jangan dijadikan dasar seni rupa Indonesia. Menurutnya, seni rupa wayang lebih cocok menjadi fondasi jika nanti hendak mendirikan sekolah seni rupa.

Baca juga: Sudjojono, Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia

Keaktifan Noto dalam menulis juga dibuktikan dengan menulis buku Wayang Liederen dan biografi Rabindranath Tagore. Dalam bidang sastra, ia rajin menulis puisi-prosa, antara lain Melati Knopen, Fluisteringen van Den Avonwind, Lotus en Morgendauw dan de Geur van Moeder Haarwrong.

Meski tulisannya tersebar di mana-mana, nama Noto Soeroto tak pernah dimasukkan dalam sejarah sastra Indonesia. Oleh seniman maupun kritikus Indonesia, ia memang dilempar dari panggung sejarah, kiri mapun kanan. Kritikus kanan Trisno Sumardjo, misalnya, menyebut Noto tidak membuat kesenian Indonesia.

“Dan buat Trisno Sumardjo tahun 56’ dia tulis, Noto Soeroto ini tak ubahnya kaum penjajah karena hanya tertarik mengkonservasi seni-seni klasik dan tidak membuka jalan bagi kebaruan,” ungkap Aminuddin.

Dari pihak kiri, kritikan terhadap Noto datang dari Bakri Siregar dari Akademi Sastra Multatuli. Ketika Bakri menyusun Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964), nama Noto Soeroto tak dimasukkan dalam daftar karena dianggap terlalu kebarat-baratan.

Baca juga: Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia

“Dia bilang bahwa Noto Soeroto ini lebih Barat dari orang Barat. Jadi ini kayaknya nggak penting juga kita bahas atau diletakkan di dalam perkembangan atau khazanah sastra,” terang Aminnudin.

Kesan Barat dan kolonialis tampaknya memang telah melekat pada Noto Soeroto. Padahal, sebelumnya ia telah mengkritik Raden Saleh dengan sematan serupa. Persoalan kebudayaan ini tampaknya juga bertautan dengan pemikiran politik Noto dan perselisihannya dengan tokoh-tokoh politik Indonesia saat itu.

Noto meninggal di Surakarta pada 25 November 1951 dalam kondisi miskin. Ia menderita penyakit liver, ginjal, dan busung lapar. Dua tahun sebelumnya, pada 1949, ia masih sempat menuliskan pemikirannya tentang kebudayaan Jawa dalam konteks Indonesia Serikat.

TAG

noto soeroto sejarah seni

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea