Masuk Daftar
My Getplus

Sudjojono, Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia

Jika Sukarno-Hatta proklamator kemerdekaan, maka seni rupa Indonesia juga punya proklamator: S. Sudjojono.

Oleh: Andri Setiawan | 22 Jul 2020
Lukisan pelukis S. Sudjojono. (ivaa-online.org).

Pelukis Sindudarsono Sudjojono hidup dalam empat zaman berbeda. Dari zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Orde Lama, hingga Orde Baru. Perannya dalam dunia seni rupa Indonesia juga cukup penting. Ia sudah menulis wacana-wacana seni rupa Indonesia sejak muda dan melahirkan gagasan seni rupa Indonesia modern.

Peneliti seni Aminudin TH Siregar dalam dialog sejarah “Seni dan Politik: Riwayat Sudjojono dan Karya-karyanya” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa, 21 Juli 2020, menyebut bahwa berkat perannya itu, Sudjojono diibaratkan sebagai proklamator seni rupa modern Indonesia.

“Pak Djon ini harus kita tempatkan sebagai, kalau dalam konteks politik, beliau itu seperti seorang proklamator. Beliau itu Sukarnonya seni rupa Indonesia. Dia yang pertama memproklamasikan keberadaan seni lukis Indonesia. Itu dia lakukan di tahun 1939,” kata Aminudin.

Advertising
Advertising

Menggantikan Mooi Indie

Tulisan-tulisan Sudjojono sejak 1939 terhimpun dalam buku Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman yang terbit pada 1946. Buku ini kemudian menjadi rujukan para sejarawan untuk memahami konteks lahirnya seni rupa modern Indonesia. Lebih jauh, jika Raden Saleh didapuk sebagai pelopor, melalui manifestonya Sudjojono adalah proklamator.

Dalam tulisannya yang terbit dalam Majalah Keboedajaan dan Masjarakat pada Oktober 1939, Sudjojono mengimbau pelukis-pelukis Indonesia untuk tidak melukis dengan gaya mooi indie. Mooi indie sendiri kala itu tengah populer dan memiliki corak yang khas yang menggambarkan pemandangan Hindia Belanda yang molek.

Baca juga: Mooi Indie Diserang Lalu Disayang

Sebagai gantinya, laki-laki kelahiran Kisaran, Sumatera Utara pada 1913 ini menganjurkan para seniman fokus pada persoalan-persoalan kebangsaan. Tentang kesadaran bahwa saat itu rakyat berada dalam penjajahan.

“Sudjojono saat itu mengatakan bahwa kita harus keluar dari gaya ini (mooi indie). Itu menjadi sangat terkenal sekali karena tulisan ini seperti manifesto atau seperti proklamasi,” kata Aminudin.

Namun, menurut Aminudin, hal ini sering kali disalahpahami oleh para sejarawan. Banyak yang mengira Sudjojono memaksakan atau mengharuskan realisme. Padahal, Sudjojono justru menawarkan gagasan tentang bagaimana membangun corak seni lukis Indonesia baru.

Bukan Melawan Barat

Kesalahpahaman tenyata tak hanya sampai di situ. Aminudin menyebut bahwa sering kali mooi indie sendiri sering diidentikkan dengan seni rupa Barat. Hal ini kemudian memunculkan kesimpulan bahwa Sudjojono melawan seni rupa Barat. Menurut Aminudin, kesalahan awal para sejarawan ini disebabkan oleh pembacaan terhadap Sudjojono tanpa melihat konteks. Padahal, tiap tulisan Sudjojono yang berbeda-beda tahun terbitnya memiliki konteks masing-masing.

“Ada dua artikel ditulis di zaman Jepang. Itu sudah beda. Kemudian ada beberapa artikel ditulis di zaman Belanda. Satu artikel ditulis tahun 1946. Sudjojono sudah berubah cara berpikirnya. Nah, tapi sejarawan atau siapapun seringkali menyamaratakan, seakan-akan buku ini satu (bagian) sekaligus,” kata Aminudin.

Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono

Jika dibaca konteksnya, Sudjojono sendiri tidak pernah bermasalah dengan seni rupa Barat. Pasalnya, menurut Aminudin, seniman Indonesia saat itu tidak bisa memberikan alternatif artistik untuk melawan seni lukis Barat atau Eropa yang dominan di Hindia Belanda khususnya Batavia saat itu.

“Melawan dengan apa? Melawan dengan gambar wayang? Nggak mungkin. Sudjojono nggak mau itu. Sudjojono itu nggak mau banget menggambar wayang. Dia justru megatakan bahwa keindonesiaan dalam seni lukis hanya bisa dihasilkan dengan cara kita mempelajari Barat,” kata Aminudin.

Menangkap Modernitas

Sudjojono menegaskan bahwa dengan mempelajari Barat, seniman Indonesia akan memahami apa itu Timur. Sementara itu, menganggap Timur itu otentik justru akan berbahaya.

Kala itu, sering kali seniman-seniman Barat di Batavia mendatangi museum untuk melihat karya-karya seni Nusantara dan menjadikannya inspirasi. Hal ini yang juga ditentang Sudjojono jika dilakukan oleh seniman-seniman Indonesia. Menurutnya, meski karya-karya itu warisan kesenian Indonesia, perlu adanya kekinian sebagai representasi zaman.

“Kekontemporeran kita itu hanya bisa didapat, kata dia, kemodernan kita itu kalau kita melihat realitas itu sendiri. Apa realitas itu, yaitu kata dia, para pemuda yang ada di jalanan, sepatu orang kaya, mobil. Itu scenery modern saat itu di Hindia Belanda. Itulah kemodernan yang mau dia tangkap,” kata Aminudin.

Baca juga: Melacak Maestro Lukis Indonesia

Visi modernitas itu kemudian juga dibarengi dengan semangat belajar yang tak membedakan mana Barat dan Timur. Aminudin mencontohkan, dalam lukisan yang berjudul Cap Go Meh, Sudjojono terpengaruh oleh lukisan Carnival in Flanders dan Intrigue karya pelukis Belgia James Ensor. Kedua lukisan Ensor itu pernah dipamerkan oleh kolektor Maurice Raynal antara tahun 1935 hingga 1940-an di Kunstkring, Batavia.

“Dia (Sudjojono) melihat pameran itu dan kemudian dia mencoba meramu. Saya kira itu yang dia bilang, kita jangan segan-segan belajar sama Barat untuk menemukan ini (identitas) kita,” kata Aminudin.

Sudjojono juga percaya, tema-tema yang diangkat oleh pelukis Barat akan tetap berbeda jika dibuat oleh pelukis-pelukis Indonesia. Hal inilah yang terlihat dalam lukisan Cap Go Meh yang dilukis dengan cara dan warna khas Sudjojono sendiri.

Baca juga: Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia

Sudjojono juga mengagumi pelukis Jerman, Marc Chagall. Lukisan Sudjojono berjudul Di Depan Kelambu Terbuka disebut Aminuddin terinspirasi secara artistik dari lukisan Bella in Green karya Chagall.

Modernitas yang ditawarkan Sudjojono serta anjurannya untuk belajar dari Barat agar dapat menemukan identitas seni lukis Indonesia inilah yang kemudian hari melambungkan nama Sudjojono. Namun, perjalanannya sebagai pelukis masih panjang melalui zaman Jepang, Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru kelak.

TAG

sudjojono pelukis seni rupa

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Sudjojono Dipecat PKI Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Ratu Elizabeth II dan Lukisan Sunda Kelapa Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman Pelukis Jadi Pahlawan Nasional Melihat Lebih Dekat "Lukisan" Kehidupan Margaret Keane Ç'est la vie, Tedjabayu! Kala Perempuan Memberi Pelajaran Tuan Perkebunan