Masuk Daftar
My Getplus

Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng

Pelukis rakyat yang sering turun ke bawah kala muda. Orang sekarang mengenalnya karena lukisan "celeng".

Oleh: Petrik Matanasi | 14 Agt 2023
Djojo Pekik (bentarabudaya.com)

WAKTU sekelompok prajurit Angkatan Darat (AD) menculik jenderal-jenderal Staf Umum Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965, Djoko Pekik masih seorang pelukis muda –kelahiran Grobogan, 2 Januari 1937– berusia 28 tahun. Ia aktif di Sanggar Bumi Tarung yang dicap kiri. Lantaran itulah kemudian Djoko Pekik dijadikan tahanan politik (tapol) oleh rezim Orde Baru meski tak sampai ditahan di Pulau Buru.

Djoko Pekik adalah kawan dari Amrus Natalsya, seorang perupa di Sanggar Bumi Tarung dan juga menjadi tapol. Bumi Tarung karib dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya doyan turun ke rakyat bawah (turba). Djoko Pekik dan Amrus, menurut Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra, pernah hidup berbulan-bulan bersama para transmigran di Lampung, yang hidupnya menderita. Dengan rakyat sekitar Bantul pun dia juga pernah hidup.

Militansi seniman maupun aktivis “kiri” dan kedekatan mereka dengan rakyat jelas mengusik rivalnya dalam kancah perpolitikan nasional, Angkatan Darat (AD), yang juga menebar cengkeramannya hingga ke pelosok lewat komando teritorial. Maka ketika isu sakitnya Presiden Sukarno merebak, persaingan AD-PKI kian meruncing untuk memperebutkan posisi paling “sah” sebagai pengganti Sukarno.

Advertising
Advertising

Baca juga: Djoko Pekik dan Trilogi Celeng

Gerakan 30 September menjadi titik balik rivalitas AD-PKI itu. Posisi yang tadinya setara, seketika berubah dengan AD sebagai pihak superior usai gerakan berdarah pimpinan Letkol Untung itu digulung. Semua orang PKI ataupun yang dicurigai punya hubungan dengannya, termasuk dekat dengan organisasi-organisasi “satelitnya”, langsung diburu. Seniman tak menjadi pengecualian.

Djoko Pekik yang dekat dengan Lekra jelas terkena imbas. Ia kemudian dtangkap dan dikurung dari November 1965-1972 di Benteng Vredeberg, warisan VOC yang pernah jadi instalasi militer untuk mengawasi keraton Yogyakarta.

Rupanya seniman adalah golongan yang sebisa mungkin tidak dihabisi sekitar pembantaian 1966. Seperti diceritakan komandan Corps Polisi Militer (CPM) bernama Mas Subagyo kepada Pekik, seperti dicatat Gunawan Muhammad dalam kolom “Catatan Pinggir”-nya (2013), Presiden Sukarno pernah bilang “menghasilkan seniman itu lebih susah.”

Baca juga: Pelukis Jadi Pahlawan Nasional

Entah ada hubungannya dengan ucapan Sukarno atau tidak, Orde Baru punya kebiasaan cukup unik kepada seniman yang sedang menjadi tapol, yakni mengkaryakan mereka. Djoko Pekik tak menjadi pengecualian. Menurut Misbach Tamrin dalam Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Djoko Pekik dan Amrus pernah “dibon” (diambil sebentar dari tahanan) untuk disuruh melukis di rumah perwira.

Setelah dibebaskan, Djoko Pekik sempat menjadi penjahit pakaian untuk bertahan hidup bersama keluarga barunya. Dia baru saja menikahi Tini Purwaningsih, yang dikenalnya waktu di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dulu.

Kendati dikucilkan oleh Orde Baru, sekitar 1989 Djoko Pekik rupanya pernah pameran di Amerika Serikat. Entah bagaimana ceritanya sampai ia bisa lolos begitu di tengah screening ketat aparat Kopkamtib.

Baca juga: Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat

Di zaman Orde Baru pula apa yang pernah mempengaruhi Djoko Pekik sejak kecil muncul lagi untuk digambarkan dalam karyanya. Itu adalah celeng alias babi hutan.

“Menurut pengakuannya, Pak Pekik mendapat inspirasi melukis celeng sejak dari bangku SD,” catat Romo Budi Susanto dalam Menjadi Merdeka 1945-2020.

Bagi sebagian orang, celeng dalam karya Djoko Pekik dianggap sebagai gambaran Orde Baru atau keserakahan. Orde Baru dianggap banyak orang merupakan penguasa serakah lantaran hanya memperkaya diri sendiri dan tak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Sementara, dalam dunia fauna, sifat keserakahan dimiliki oleh babi hutan ataupun tikus. Dua hewan itulah yang sering dijadikan simbol keserakahan oleh para seniman. Djoko Pekik memilih babi hutan (celeng) sebagai simbol keserakahan.

“Djoko Pekik memang memetaforakan pemimpin Orde Baru sebagai celeng yang diburu,” kata Triyanto Triwikromo dalam Ora Mung Bebendu Ora Mung Ngaku-aku Gusti Allah.

Baca juga: Jejak Sejarah Pelukis Dullah

Pada 1996, saat Orde Baru memasuki tahun-tahun terakhirnya, Djoko Pekik berhasil merampungkan lukisannya yang berjudul Susu Raja Celeng. Lukisan bertema celeng itu ternyata masih berlanjut. Beberapa bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto, Djoko Pekik melukis lagi sebuah lukisan, masih tentang celeng. Judulnya Berburu Celeng. Pada 17 Agustus 1998, setelah Soeharto lengser, lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik laku Rp 1 Milyar dalam sebuah pameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Djoko Pekik dan celeng pun jadi berita besar di banyak media dan dia dijuluki sebagai Pelukis Celeng.

Dari hasil melukis, Djoko Pekik akhirnya punya lahan luas di Sembungan, Bangunjiwo, Bantul. Lahan tersebut dialiri sebuah sungai kecil. Di pelataran rumahnya, pernah diadakan konser jazz. Selain bisa punya lahan yang asri dan nyaman untuk ditinggali, Djoko Pekik punya sebuah bis kecil yang dilukiski celeng. Jika bis itu melintasi kota Yogyakarta, orang akan tahu itu milik Djoko Pekik Si Pelukis Celeng.*

TAG

lekra pelukis djoko pekik

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman Pelukis Jadi Pahlawan Nasional Melihat Lebih Dekat "Lukisan" Kehidupan Margaret Keane Jejak Sutradara Kotot Sukardi Affandi yang Tak Pernah Pergi Subronto K. Atmodjo, Komponis Sukarnois Jejak Sejarah Pelukis Dullah Mengenang Ansambel Gembira