Pelukis Jadi Pahlawan Nasional
Pelukis masih absen dari daftar panjang Pahlawan Nasional. Padahal Raden Saleh layak jadi Pahlawan Nasional.
Sejak 1959, pemerintah Indonesia mulai memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi para tokoh bangsa yang dianggap berjasa. Orang pertama yang mendapat gelar itu ialah Abdoel Moeis, seorang pejuang sekaligus sastrawan asal Solok, Sumatra Barat. Pada tahun yang sama diangkat pula bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara dan kakaknya R.M. Soerjopranoto, si raja mogok.
Hingga 10 November 2020, Indonesia telah memiliki 191 Pahlawan Nasional. Namun, belum ada nama pelukis yang masuk dalam daftar itu. Isu inilah yang dipantik oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam Diskusi Publik Pra-Pameran Representasi #4 “Pahlawan Nasional dan Seni Rupa Tokoh Sejarah” yang diadakan oleh Pendhapa Art Space, Selasa, 7 September 2021.
Asvi menyebutkan, beberapa sastrawan dan komponis telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Abdoel Moeis, selain seorang pejuang juga sastrawan. Ada pula Amir Hamzah, penyair yang meninggal dalam revolusi sosial di Sumatra Timur. Kemudian ada Muhammad Yamin dan Buya Hamka, selain politisi juga sastrawan.
Baca juga: Abdoel Moeis, Pahlawan Nasional Pertama
Di bidang musik, ada komponis W.R. Soepratman yang sohor karena lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lalu ada Ismail Marzuki, komponis Betawi yang namanya bahkan diabadikan menjadi Taman Ismail Marzuki.
Sayangnya, di kancah seni rupa, belum ada pelukis yang namanya diganjar Pahlawan Nasional.
Menurut Asvi, pelukis yang layak menjadi Pahlawan Nasional ialah Raden Saleh Sjarif Boestaman. Pelukis yang memelopori seni lukis modern di Indonesia ini pernah diusulkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2012. Namun, namanya tak muncul dalam daftar Pahlawan Nasional hingga 10 November 2020.
“Sudah ada usulannya, sudah ada buku yang dibuat untuk itu,” kata Asvi.
Baca juga: Raden Saleh Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia
Salah satu lukisan Raden Saleh yang termasyhur adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Lukisan ini, menurut Asvi, memberi contoh bagaimana pelukis menjadi bagian dari perjuangan melawan kolonialisme.
Dalam lukisan itu, Raden Saleh memperlihatkan bahwa Diponegoro adalah sosok yang tegar dan dihormati. Dengan ini Raden Saleh menentang lukisan karya pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman, berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro (dibuat antara tahun 1830–1835) yang menggambarkan Diponegoro dan pengikutnya tak berdaya.
“Jelas sekali di sini, peristiwa yang sama, yang satu digambarkan secara nasionalis oleh Raden Saleh,” terang Asvi.
Baca juga: Lukisan Raden Saleh Digulung dan Disingkirkan
Asvi menyadari, pengangkatan Pahlawan Nasional memang bukan tanpa problem dan kepentingan. Pengangkatan Abdoel Moeis misalnya, menurut Asvi, berkaitan dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Abdoel Moeis sebagai orang Sumatra Barat diangkat sebagai Pahlawan Nasional agar menjadi teladan dan meredam pemberontakan di daerah-daerah.
“Itulah yang menyebabkan Sukarno kemudian mengadakan pengangkatan Pahlawan Nasional. Bahwa kita ini bersatu dan di setiap daerah, di setiap etnis, itu ada orang-orang yang patut dijadikan contoh, dijadikan teladan,” jelas Asvi.
Asvi mencatat, pemberian gelar Pahlawan Nasional paling banyak dilakukan pada 1964. Pemerintah mengangkat 14 tokoh sebagai Pahlawan Nasional sebagai representasi dari nasionalis, agama, dan komunis.
Sejak 1959 hingga 1998, jumlah Pahlawan Nasional mencapai 104. Daftar ini melonjak pasca Reformasi. Sebanyak 87 Pahlawan Nasional diangkat hingga tahun 2020. Sayangnya, Asvi menyebut, problem lain yang timbul adalah masalah representasi gender. Dari 191 Pahlawan Nasional, hanya ada 15 orang perempuan.
“Tentu ini menjadi pertanyaan juga, apakah perempuan tidak berjuang, apakah kurang jasanya, atau memang selama ini kita sangat patriarkis? Kita menganggap laki-laki itu yang pahlawan, perempuan tidak?” kata Asvi.
Beberapa Pahlawan Nasional perempuan juga tampaknya berada di bawah bayang-bayang suaminya. Misalnya Siti Walidah atau Nyi Ahmad Dahlan, istri KH Ahmad Dahlan; Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar; atau Fatmawati, istri Sukarno.
Baca juga: Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional
Representasi pelukis dalam daftar Pahlawan Nasional tampaknya juga menjadi isu sendiri. Pasalnya, para pelukis sejak era Raden Saleh hingga era revolusi juga memiliki segudang jasa bagi Republik.
Menurut Asvi, pengangkatan pelukis sebagai Pahlawan Nasional harus terus diperjuangkan oleh kalangan seniman dan pegiat seni rupa. Pasalnya, pemberian gelar Pahlawan Nasional meliputi proses yang kompleks dengan berbagai kepentingan.
Asvi mencontohkan, ketika tokoh Katolik I.J. Kasimo diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, berbagai cara dilakukan untuk mendukungnya. Berbagai seminar tentang I.J. Kasimo juga diadakan untuk mendukung pengakatannya. Harian Kompas bahkan secara masif memberitakan kisah dan jasa-jasa I.J. Kasimo hingga ia benar-benar diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 2011.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar