Masuk Daftar
My Getplus

Menonton Indonesia dalam Film Berita

Gambaran Indonesia dalam film berita. Sering disebut film propaganda.

Oleh: Andri Setiawan | 22 Agt 2019
Seorang pengunjung menonton kompilasi fragmen-framen Dunia Wanita. (Andri Setiawan/Historia).

Pada awal kemerdekaan, ketika belum banyak media massa, pemerintah Indonesia menggunakan film berita sebagai salah satu media komunikasi. Karena dominan akan muatan agitatif dan politis, film berita sering dikatakan sebagai film propaganda.

Sebelumnya, film berita juga telah diproduksi oleh pemerintah Jepang di Indonesia dan digunakan untuk propaganda militer yang diputar melalui layar tancap di desa-desa.

Kemudian pasca Proklamasi 1945, kelompok Berita Film Indonesia mulai mengambil alih produksi film-film berita. Periode revolusi (1945-1949) menjadi tema utama film-film berita masa itu. Kelompok ini membuat tiga film berjudul Berita Film Indonesia No. 1-3.

Advertising
Advertising

Produksi film berita berlanjut pasca penyerahan kedaulatan pada 1949. Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi film berita bertajuk Gelora Indonesia, mulai 5 Januari 1951 hingga tahun 1976. Rekaman-rekaman Gelora Indonesia saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Berangkat dari hal itu, ARKIPEL Bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival mengadakan pameran film berita bertajuk Kultursinema #6: Gelora Indonesia di Museum Nasional yang digelar selama tujuh hari, 18-25 Agustus 2019. Acara ini bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ANRI, Perum Produksi Film Negara, dan Museum Nasional.

Baca juga: Film, Teror Negara dan Luka Bangsa

Pameran ini menyajikan 61 edisi film berita Gelora Indonesia yang bertujuan untuk menunjukan salah satu media pemerintah pada era tersebut serta apa dan bagaimana informasinya disampaikan. Pengunjung dapat menyaksikan kembali narasi-narasi film berita yang buat sejak era Sukarno hingga Soeharto melalui enam layar proyektor serta beberapa layar LCD.

"Karena keluaran pemerintah, mereka menyiarkan kira-kira, satu mungkin mereka bikin semacam laporan sebagai negara baru, apa-apa saja yang dilakukan di negara ini sekarang. Kemudian juga ada gambaran citra yang diberikan untuk membangkitkan semangat supaya punya cita-cita kolektif dan bersatu buat revolusi," kata Dini Adanurani, salah satu kurator pameran, kepada Historia.

Pameran ini juga dibuat sebagai alternatif media pembelajaran sejarah yang selama ini didominasi oleh buku-buku pelajaran di sekolah. “Saya kira bakal sangat menarik dan edukatif buat masyarakat terutama anak-anak yang masih sekolah. Itu untuk bisa melihat secara langsung negara punya pesan apa dan medianya bagaimana serta bagaimana cara mereka menyampaikannya,” kata Dini.

Pameran ini dikuratori oleh Mahardika Yudha, Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashati Wilujeng Putri, Robby Ocktavian, dan Wahyu Budiman Dasta.

Dini menyoroti konten Dunia Wanita dalam Gelora Indonesia. Melalui tajuk tersebut, Gelora Indonesia telah memberi ruang representasi khusus bagi perempuan. Hal ini berbeda dengan narasi sejarah Indonesia secara umum, terutama pada awal-awal pendiriannya, yang secara politis didominasi tokoh-tokoh laki-laki.

Baca juga: Film Nasional Rasa "Asing"

Meski demikian, representasi perempuan dalam film berita, masih perlu dikaji lagi. Pasalnya, terutama pada Gelora Indonesia, meski orang di belakang layar adalah anonim, pada suara narator misalnya, hampir semua laki-laki. Dini hanya mendapati satu segmen dengan suara narator perempuan. Di mana dan bagaimana perempuan direpresentasikan kemudian menjadi penting untuk ditinjau.

“Para perempuan di masa kebangkitan hanya diceritakan melalui mata dan mulut yang maskulin. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri,” kata Dini.

Berangkat dari hal itu, Dini membuat kompilasi fragmen-fragmen edisi Gelora Indonesia untuk menampilkan bias-bias narasi terhadap perempuan tersebut.

Sementara itu, Afrian Purnama, membingkai ulang transisi-transisi visual yang digunakan sebagai jembatan antar rekaman peristiwa. Menurutnya, transisi membawa penonton Gelora Indonesia masuk dalam ruang di mana politik tidak tampak, tempat yang hanya berisi bentuk visual yang paling dasar; tanpa tokoh juga narasi propaganda sehingga keberadaannya mungkin bias juga dilihat untuk menempatkan penonton dalam kondisi default selama sementara waktu (kurang dari satu detik), menyelamatkan penonton dari kepungan visual dan narasi politik Gelora Indonesia.

Kurator Prahasti Wilujeng Putri, menyajikan bagaimana Gelora Indonesia membingkai dan mengkoreografi massa. Dia juga menghilangkan suara narator untuk menunjukan bagaimana visual bekerja.

Baca juga: Menengok Remaja Lewat Film Sezaman

Kurator Wahyu Budiman Dasta membahas bagaimana film berita Gelora Indonesia menampilkan narasi sepakbola dalam konten Olahraga, serta bagaimana sang narator bekerja untuk membawa pemirsa seperti menonton pertandingan aslinya.

Produksi film berita Gelora Indonesia melewati dua periode pemerintahaan yakni era Sukarno dan Soeharto. Hal itu kemudian ditilik oleh Luthfan Nur Rochman melalui segmen pembangunan. Dia membandingakan bagaimana, baik Sukarno maupun Soeharto, menarasikan pembangunan.

Propaganda film berita Gelora Indonesia juga dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan mengenai kapal perang, pesawat tempur serta teknologi mutakhir pada masa itu. Hal ini menjadi perhatian Robby Ocktavian. Dia juga menunjukan bagaimana Gelora Indonesia, dengan alat rekamnya menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilihat penonton pada satu waktu maupun kejadian yang tidak bisa diulang, seperti balap motor atau gedung runtuh.

TAG

Film

ARTIKEL TERKAIT

Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon