Masuk Daftar
My Getplus

Menengok Remaja Lewat Film Sezaman

Remaja ideal berubah dari masa ke masa sebagaimana digambarkan oleh empat film berbeda.

Oleh: Nur Janti | 08 Feb 2018
Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea (Vanesha Prescilla) dalam Dilan 1990. Sumber: trailer Dilan 1990.

DENGAN baju seragam tak dimasukkan ke celana, Dilan (Iqbaal Ramadhan) masuk ke kelas Milea (Vanesha Prescilla) saat jam pelajaran. Dia memberi Milea bungkusan plastik sebagai kado ulang tahun.

Saat dibuka Milea di rumah, bungkusan itu berisi buku Teka-Teki Silang (TTS) yang sudah diisi. Aneh! Tapi Milea tertawa terbahak ketika membaca surat Dilan yang mengatakan bahwa dia tak ingin Milea pusing mengisi TTS itu, maka Dilan melakukannya.

Itulah cuplikan film Dilan 1990 yang rilis 25 Januari 2018. Diangkat dari novel Pidi Baiq dengan judul sama, Dilan 1990 menambah deretan film bertema remaja yang diangkat dari novel. Seperti Ali Topan Anak Jalanan (1977), Gita Cinta dari SMA (1979), dan Lupus, Tangkaplah Daku Kau Kujitak (1986), Dilan 1990 juga menjadi gambaran kehidupan remaja di eranya.

Advertising
Advertising

Ratna Noviani dalam artikel “Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia”, termuat di Jurnal Kawistara April 2011, menulis bahwa film remaja menggambarkan konsep remaja ideal yang berubah dari masa ke masa. Di tahun1970-an, remaja ideal digambarkan lewat sosok Galih (Rano Karno) dalam Gita Cinta dari SMA. Galih remaja pintar, anak basket, dan terampil berkesenian mulai dari main gitar, mencipta lagu, sampai membuat puisi.

Gambaran itu kebalikan dari sosok macam Ali Topan (Junaedi Salat). Meski pintar, Topan menjadi gambaran remaja nakal lantaran suka merokok, berkelahi, dan anak motor. Kepintarannya tak mampu membuat publik mencapnya positif.

Tapi stigma Topan belum tentu miring bila dia hadir pada 1980-an, saat konsep remaja ideal berubah jadi lebih santai. Ikon remaja ideal 1980-an, Lupus (Ryan Hidayat), merupakan sosok nakal dan jahil. Tapi karena cerdas dan berprestasi dengan bekerja sambilan sebagai wartawan majalah remaja Hai, Lupus bisa diterima masyarakat.

Dilan pun sama. Meski anak motor seperti Topan, Dilan lebih diterima oleh lingkungannya karena zaman tempatnya tumbuh sudah lebih permisif. Tak heran bila penerimaan orangtua cewek gebetan Topan dan Dilan terhadap kedua tokoh itu berbeda. Saat menghadiri ulangtahun Anna (Yati Octavia), Topan langsung diusir ibunya Anna sedangkan Dilan diterima dengan hangat oleh ibunya Milea. Status sama, nasib beda.

Adanya perubahan dalam menanggapi perilaku remaja terlihat jelas dari ketiga film. Dilan, Topan, dan Lupus mendapat respon berbeda ketika melawan guru mereka. Topan langsung dipanggil kepala sekolah lalu diskors selama sebulan akibat melawan. Topan hanya bisa pasrah menerima hukuman itu. Sementara, Lupus hanya mendapat nasehat halus dari kepala sekolah setelah tertangkap basah berusaha kabur dari razia rambut gondrong di sekolah. Namun di masa Dilan, justru guru yang lebih lunak dari murid. Amukan kasar Dilan karena kerah bajunya ditarik guru Suripto (Teuku Rifnu Wikana) justru berbalas tanggapan tenang kepala sekolah. “Berbeda dengan dekade sebelumnya, remaja pada film remaja 1980-an ditampilkan lebih aktif, enerjik, dan berani berdebat serta bernegosiasi termasuk dengan orang tua,” tulis Ratna.

Sebagai film bertema remaja, ketiga film jelas menampilkan kisah asmara berikut jurus-jurus mendekati pujaan hati para tokoh utama. Namun, film-film sebelum Dilan 1990 lebih realistis. Lupus, misalnya, batal mengapel Poppy (Nurul Arifin) lantaran lupa menanyakan alamat rumah Poppy ketika janjian dan tak punya nomor telepon rumah si gadis. Keteledoran yang membuahkan omelan Poppy itu selain menghadirkan humor, biasa terjadi pada orang yang sedang dimabuk asmara.

Namun, Dilan 1990 menampilkan banyak adegan “ujug-ujug”. Dilan digambarkan selalu menelepon Milea lewat telepon umum, tapi dari mana dia mendapat nomor telepon rumah Milea tak pernah jelas. Dilan juga tahu alamat rumah Milea meski tak pernah bertanya atau diberitahu. Yang lebih tak realistis, Dilan tahu loper koran yang biasa ke rumah Milea meski tak pernah bertanya atau diberitahu. Bukankah mengerikan ketika orang lain tahu hal mendasar tanpa pernah bertanya?

Ketidakcermatan dalam menangani fakta jelas terjadi pada Dilan 1990. Saat berulangkali menelepon Milea via telepon umum, Dilan tak pernah mengantri. Dilan bahkan kerap mendapati keadaan sepi di mana hanya ada dia dan telepon umum. Padahal, di masa telepon selular belum ada itu telepon umum merupakan satu-satunya alat komunikasi jarak jauh langsung yang ada di masyarakat. Antrian mengular biasa terjadi di berbagai telepon umum. Fenomena itu bahkan sampai diabadikan Wiwiek Sumbogo lewat lagunya “Telepon Umum” (1987).

Dilan 1990 juga berupaya mengemas hal mengerikan menjadi manis. Itu ditampilkan antara lain dalam dialog saat Dilan menelepon Milea.

“Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu,” kata Dilan.

“He he he. Kenapa?” tanya Milea.

“Nanti, besoknya orang itu akan hilang!”

Kalimat rayuan Dilan itu identik dengan kalimat penguasa Orde Baru. Rezim militeristik itu selama berkuasa gemar mengedepankan intimidasi. Hal itulah yang mungkin merasuk ke alam bawah sadar Dilan. Kebetulan, dia merupakan anak seorang prajurit TNI AD. Kalau bukan hendak menampilkan sosok remaja di masa militeristik berkuasa, Dilan 1990 jangan-jangan membawa pesan bahwa remaja ideal adalah remaja seperti Dilan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa