Masuk Daftar
My Getplus

Menjaga Marwah Pendidikan Sejarah

Rencana penyederhanaan kurikulum pendidikan di Indonesia berdampak pada mata pelajaran sejarah di sekolah menengah. Dianggap bisa merusak identitas kebangsaan.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 19 Sep 2020
Ilustrasi guru sedang mengajar. (123rf.com).

Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah mata pelajaran sejarah menjadi mata pelajaran pilihan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) menuai kritik. Sebagaimana diatur dalam Kurikulum 2013, sejarah seharunya menjadi salah satu mata pelajaran wajib seluruh siswa di jenjang SMA, baik jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maupun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Namun tahun depan hal itu tidak berlaku. Diberitakan CNN Indonesia, Kemendikbud berencana membuat mata pelajaran sejarah menjadi tidak wajib bagi siswa SMA/SMK sederajat. Tertuang dalam rencana penyederhanaan kurikulum yang akan diterapkan Maret 2021, sejarah untuk kelas 10 akan digabung dengan mata pelajaran IPS. Sementara untuk kelas 11 dan 12, sejarah hanya masuk dalam kelompok peminatan yang sifatnya tidak wajib.

“Saya berharap itu sekedar wacana dan akan dikaji lebih mendalam dari kementerian, perwakilan guru, maupun akademisi,” tutur Faizal Firdaus, guru sejarah SMA Negeri 3 Jakarta kepada Historia.

Advertising
Advertising

“Menurut saya jika diganti menjadi mata pelajaran pilihan, generasi muda selanjutnya akan kehilangan salah satu akses untuk mengenal bangsanya, membangun jiwa nasionalisme maupun kesempatan belajar dari masa lampau,” lanjutnya.

Baca juga: Penggerak Nasionalisme

Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) memberikan reaksi terkait rencana tersebut dengan membuat sebuah petisi. Dilansir Change.org, hingga Jumat (18/09/2020), sudah lebih dari 12 ribu orang menandatangani petisi “Kembalikan posisi mata pelajaran sejarah sebagai mapel wajib bagi seluruh anak bangsa” yang diajukan AGSI kepada Presiden Joko Widodo.

Dalam petisi itu AGSI menyebut jika bangsa yang tidak mengenal sejarah bisa diibaratkan sebagai seorang yang pikun atau sakit jiwa, yang akan kehilangan identitas atau kepirbadiannya. Menurut AGSI mata pelajaran sejarah merupakan media paling ampuh dalam proses penguatan jati diri dan karakter manusia, juga menjadi alat pemersatu sebuah bangsa. Sementara guru sejarah adalah ujung tombak, sekaligus benteng peradaban.

“Bagaimana memori kolektif kita sebagai sebuah bangsa dan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya ditransformasikan melalui pembelajaran serta keteladanan di ruang-ruang kelas,” tulis AGSI di dalam petisinya. “Mari kita selamatkan generasi muda kita dari amnesia sejarah, mari kita selamatkan bangsa ini dari gerbang kehancuran. Sesungguhnya belajar dari sejarah adalah sebuah keharusan, bukan merupakan pilihan!”.

Baca juga: Siapa Sebenarnya Bangsa Indonesia?

Rencana Kemendikbud itu pun menjadi perbincangan hangat masyarakat di jagat maya. Banyak yang menilai keputusan itu tidak tepat. Mereka khawatir jika sejarah menjadi mata pelajaran yang tidak wajib diajarkan, generasi muda akan kehilangan pengetahuan sejarah bangsanya. Mereka amat menyayangkan jika kisah-kisah heroik para pahlawan bangsa ini harus hilang.

Merespon hal itu, Kemendikbud menegaskan bahwa rencana penyederhanaan kurikulum pendidikan masih terus dikaji dengan berbagai pihak guna meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Melalui Siaran Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 264/Sipres/A6/IX/2020, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menegaskan bahwa kabar pelajaran sejarah keluar dari kurikulum tidak benar. Pelajaran sejarah, ujar Totok, akan tetap diajarkan dan diterapkan di setiap generasi.

“Kemendikbud mengutamakan sejarah sebagai bagian penting dari keragaman dan kemajemukan serta perjalanan hidup bangsa Indonesia, pada saat ini dan yang akan datang,” ucapnya. “Sejarah merupakan komponen penting bagi Indonesia sebagai bangsa yang besar sehingga menjadi bagian kurikulum pendidikan. Nilai-nilai yang dipelajari dalam sejarah merupakan salah satu kunci pengembangan karakter bangsa.”

Membangun Identitas Bangsa

Menanggapi rencana Kemendikbud tersebut, Ikatan Alumni Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan webinar berjudul “Matinya Sejarah: Kritik atas Rancangan Kurikulum 2020” pada Kamis (17/09/2020). Di sana berkumpul para akademisi yang mengkritisi rencana pemerintah terhadap pendidikan sejarah di Indonesia.

Guru Besar Pendidikan Sejarah UPI, yang juga Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 Said Hamid Hasan mengatakan bahwa banyak alasan yang menjadikan pembelajaran sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Di antaranya sejarah bisa menjadi alat untuk mengembangkan jatidiri bangsa, menjadi wadah bagi ingatan kolektif berbagai peristiwa yang pernah dilalui masyarakat Indonesia, membangun nasionalisme, serta memberi teladan dari perjuangan para tokoh.

Baca juga: Mencari Arah Pendidikan Sejarah

Menurut Said, sejarah bisa memberi inspirasi. Dengan mempelajarai berbagai peristiwa sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana para tokoh berjuang, dan cara menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hal itu juga nantinya akan mengembangkan kepedulian sosial bangsa dalam menghadapi beragam peristiwa.

“Para guru sejarah harus sadari dari apa yang sudah mereka (para pahlawan) lakukan bisa mengembangkan kreativitas kita sehingga dalam menghadapi peristiwa sekarang ini kita bisa menyelesaikannya,” ujar Said.

Menurut Edy Suparjan dalam Pendidikan Sejarah untuk Membentuk Karakter Bangsa, dalam proses pengembangan karakter keberadaan sejarah amat penting. Sejarah bisa menjadi media untuk mewarisi seluruh akhlak baik para pendahulu bagi kemajuan dan pembentukan mental bangsa. Melalui kisah-kisah heroik para pahlawan di masa perjuangan, generasi muda bisa belajar soal pentingnya hak asasi manusia, patriotisme, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

“Selain pengetahuan kesejarahan, pembelajaran sejarah juga menyimpan pendidikan nilai untuk pembentukan kesadaran sejarah, kepibadian bangsa, dan sikap,” tulis Suparjan.

Membangun Minat Sejarah

Upaya bangsa Indonesia dalam menjaga identitas melalui sejarah sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Secara resmi para akademisi yang menaruh fokus pada sejarah berkumpul. Di Yogyakarta tahun 1957, kegiatan formal itu mencoba menghasilkan pada yang disebut sebagai “sejarah nasional Indonesia”, yang berisi kisah-kisah sejarah milik bangsa Indonesia.

Baca juga: Pemuda Aceh Raih Sartono Kartodirdjo Award

“Permasalahan sudut pandang dalam kaitannya dengan wawasan kebangsaan menjadi masalah mendesak, yang pada waktu itu masih dihadapkan pada kenyataan dominannya peredaran tulisan-tulisan mengenai sejarah berbagai kerajaan di Indonesia oleh para sejarawan Belanda, yang secara sengaja ataupun tidak sering kali menampilkan visi kolonial dalam melihat sejarah kita,” tertulis dalam Kongres Nasional Sejarah 1996.

Tahun 1970, para akademisi kembali berkumpul di Yogyakarta untuk mengadakan acara Seminar Sejarah Nasional II. Melalui kepemimpinan sejarawan Sartono Kartodirdjo, didirikan organisasi profesi bagi sejarawan. Pada kesempatan itu pula permasalahan periodisasi sejarah Indonesia dibahas secara khsus. Usaha nyata dilakukan dengan perencanaan pembuatan buku yang menjadi referensi utama sejarah Indonesia, yang diterbitkan beberapa tahun setelahnya.

TAG

pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan