PUTU Oka Sukanta mengenang dirinya sebagai anak dari keluarga petani dan menulis sajak sejak usia 16 tahun. Ia kelahiran Singaraja, Bali, pada 29 Juli 1939. Lingkungan dari kelas petani ini mempengaruhi tema-tema awal sajaknya. Dia suka menulis karena suka baca koran. Lucunya, sebelum dia masuk Lekra, seorang penyair Bali pernah bilang bahwa puisi-puisi Putu pasti dianggap karya seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia. “Sudah, pokoknya kamu Lekra,” katanya.
Di Bali, Putu aktif di berbagai kegiatan sastra, antara lain mengisi ruang sastra di RRI Singaraja dan RRI Denpasar. Pada akhir 1950-an, waktu pindah pindah ke Yogya, puisi-puisinya sudah dimuat di media. Baru pada awal 1960-an karyanya dimuat di Harian Rakyat dan Zaman Baru, dua media yang berafiliasi dengan Lekra.
Di Jakarta, selain menulis, dia mengajar di sebuah sekolah Tionghoa. Putu Oka tak pernah dengan sengaja mengaitkan hidup berkeseniannya dengan Lekra. Ia tak pernah melalui prosedur keorganisasian masuk Lekra secara resmi. Hanya karena minatnya pada persoalan sosial dan orang-orang kecil, yang tercermin dalam tulisan-tulisannya, ia kemudian tertarik pada program-program Lembaga Sastra, sebuah divisi di Lekra. Dan Putu Oka pun kemudian dikenal sebagai salah seorang penyair Lekra.
Situasi politik Jakarta 1960-an mengubah banyak kehidupan kelompok kiri. Pada dini hari 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal Angkatan Darat. Partai Komunis Indonesia dituduh militer sebagai satu-satunya dalang peristiwa tersebut. Aksi kekerasan meluas di daerah-daerah. Orang-orang yang dianggap atau simpatisan komunis ditangkap serta dibunuh. Seniman, akademisi, buruh, perempuan, petani, pejabat desa, anak-anak –singkatnya, satu generasi Indonesia– dibekukan dengan cara seperti fasisme Nazi mendiskriminasi kaum Yahudi. Istilah Sukarno dalam satu pidatonya, kupas-tumpas macam ini seperti “membakar rumah” hanya untuk mencari seekor tikus. Ratusan dari mereka yang hidup dibawa ke Pulau Buru di Maluku.
Di Bali sendiri, tempat kelahiran Putu Oka, sebagaimana Soe Hok Gie mencatat, 80.000 orang terbunuh. Jumlah ini merupakah kisaran angka yang “paling konservatif.”
Dia diciduk pada 1966. Mula-mula dibawa ke Komando Distrik Militer, lalu penjara Salemba lantas Tangerang. Namun dalam penjara, Putu juga cemas terhadap para tahanan yang menganggapnya mata-mata. Pada saat itu, untuk menggali nama-nama yang masih “berkeliaran” di luar, militer sering menyusupkan seorang yang mengaku “teman” di dalam penjara. Saat ditanya, Putu menjawab sebagai anggota satu organisasi yang masuk dalam jaringan Nasakom. Beruntung suatu hari seorang pemuda menyapanya. Dia Malon Tampubolon, wartawan Harian Rakjat. Mereka kenal saat Putu mengajar penulisan di koran tersebut. Tampubolon bilang kepada para tahanan bahwa dia “mengenal” Putu
Di penjara pula Putu berkenalan dengan seorang sinsei, namanya Lie Tjwan Sien, kelahiran Korea. Sien tinggal di Mangga Besar, ditangkap karena aktivisme istrinya dalam Gerakan Wanita Indonesia, sebuah organisasi kaum perempuan mandiri berhaluan kiri. Lie Tjwan Sien inilah yang mengajarkan pengobatan akupuntur kepada Putu.
Pada 1976, Putu dibebaskan. Ini tahun dimana rezim Soeharto melakukan gelombang pembebasan para tahanan politik, sedikit-banyak karena tekanan komunitas internasional. Namun, semua eks-tapol masih dikenakan wajib lapor rutin dan KTP mereka bertanda “ET”.
Meski demikian, Putu bertekad tak mau menyerah pada prosekusi yang menimpanya. Caranya, dia mulai serius belajar akupuntur, pergi ke Tiongkok bahkan Hong Kong. Pelan-pelan dia tak cuma dikenal sebagai pengarang Lekra. Ia sempat memiliki empat klinik tapi kemudian dipaksa tutup oleh militer, dianggap “meracuni dan menularkan nilai-nilai komunis.” Bahkan Yayasan Pengobatan Tradisional Indonesia, organisasi yang didirikan Putu bersama-sama tahanan politik lain pada 1980, juga dilarang militer.
“Saya disetrum lagi, dipukul lagi...,” ujar Putu.
Putu tak menyerah. Pada 1990, dia menerima warisan dari keluarga besarnya di Bali. Dia lantas membeli tanah di Cipaku, Bogor Selatan, dan mulai mengembangkan pembibitan tanaman herbal bersama Suhendah Lasmadiwati, istrinya dari Solo. Nama “Taman Sringanis” gabungan dari nama ibu serta budenya: Ni Ketut Taman serta Ni Ketut Sringanis. Keduanya orang yang sangat dihormati Putu. Sosok perempuan yang mandiri namun penyayang tergambar dalam novelnya, Keringat Mutiara.
Ia juga menulis pengalaman traumatisnya selama dipenjara dalam Merajut Harkat, yang ia tulis setelah duapuluh tahun keluar dari penjara. Kemudian beberapa karya lainnya lahir dari tangannya, fiksi maupun nonfiksi. “Saya menulis untuk menjadi manusia lagi,” ujarnya.
Kini, setelah perlakuan diskriminasi terhadap korban ‘65 mulai longgar usai kejatuhan Soeharto pada 1998, apakah dia merasa dendam?
“Ada yang hakiki jika anda membenci, dalam proses yang lebih lanjut, bangunan kejiwaan Anda menjadi takut.” Karena takut, menurut Putu, manusia akhirnya menjadi apriori. Sikap ini selanjutnya mengekalkan pihak luar sebagai “musuh.” Dengan kata lain, sikap itu ikut membunuh satu karakter kehidupan.