Kamp Tanah Merah, Boven Digul, adalah neraka bagi orang-orang buangan. Namun, pengasingan di tengah belantara Papua itu tak menghalangi dua insan yang ingin menyatukan cinta. Mereka adalah Wiranta dan Nyi Cacih, pengantin pertama di kamp para pembangkang kolonial itu.
Wiranta dan Nyi Cacih ikut dalam rombongan pertama yang dikirim pada Desember 1926. Keduanya dari Bandung. Wiranta seorang guru dan wartawan, sedangkan Nyi Cacih adalah anak gadis berusia 14 tahun yang turut dibuang bersama ayahnya, Sukanta Atmaja, seorang pegawai kereta api di Bandung.
Bersama sekitar 300 orang mereka berlayar dari Tanjung Priuk menuju Surabaya, transit di Makassar dan Ambon, lalu ke muara Sungai Digul di Merauke. Dari muara, mereka menyusuri sungai hingga ke hulu yang jaraknya 300 km. Barulah mereka sampai di Tanah Merah.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Hampir sebulan di atas kapal yang membosankan itu, justru mendekatkan Wiranta dengan Nyi Cacih. Mereka pun saling jatuh cinta.
Di Tanah Merah, Wiranta merupakan tahanan yang cukup aktif. Ia memimpin organisasi kesenian, olahraga, dan sepak bola yang diberi nama Kunst, Sport en Voetbal Vereeniging Digoel (KSDV). Sementara itu, cintanya dengan Nyi Cacih terus bersemi dan tak bisa dibendung lagi.
“Delapan bulan setelah berada di Digul, Wiranta menghadap Asisten Residen, meminta izin untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Cacih. Ternyata Asisten Residen kebingungan karena di sana belum membentuk Dinas Agama (Islam),” tulis Pikiran Rakyat, 6 Agustus 1977.
Sebab itu, Harun Al-Rasyid, seorang buangan asal Surakarta yang juga murid Haji Misbach, ditunjuk sebagai penghulu. Sementara itu, dua orang kawan Wiranta, Uton dan Dasri yang juga berasal dari Bandung, menjadi saksinya. Akhirnya, hari itu, 10 Agustus 1927, Wiranta dan Nyi Cacih menjadi pasangan pertama yang menikah di kamp pembuangan Tanah Merah.
Baca juga: Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
Menurut Sunaryo Mangunadikusumo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul, pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada kantor pencatat nikah. Selain karena tidak adanya kantor pencatatan, tindakan itu merupakan salah satu bentuk pembangkangan.
“Pernikahan tidak tercatat di kantor pencatatan nikah pemerintah kolonial ini sebenarnya diajurkan dan dilakukan oleh orang-orang Sarekat Islam. Pendirian Sarekat Islam ini terus dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya yang dibuang ke Digul,” tulis Sunaryo dkk.
Pernikahan di Boven Digul cukup dilakukan di hadapan kiai sebagai penghulu dan dua orang saksi di muka keluarga pengantin wanita. Cara ini sebenarnya sama dengan yang dilakukan penganut agama Islam sebelum adanya kantor pencatatan nikah.
Pernikahan Wiranta dan Nyi Cacih tak hanya sampai di situ. Pada malam harinya diadakan pesta oleh seluruh penghuni kamp. “Asisten Residen mengirimkan satu peti bir dan kue-kue. Ia turut bergembira. Untuk pertama kalinya di Digul berlangsung satu pesta,” tulis Pikiran Rakyat.
Baca juga: Digulis Jadi Artis
Saat itu, hanya ada dua alat musik yakni biola dan gitar yang dibawa oleh salah seorang tahanan. Kedua alat musik itu akhirnya digunakan untuk mengiringi seorang tahanan yang merupakan penyanyi asal Medan yang dikenal sebagai Samaudin Kacamata. Lagu Keroncong Kemayoran menjadi lagu favorit malam itu. Acara pun berlangsung hingga pagi.
Akibat acara semalam suntuk itu, Asisten Residen Boven Digul dicopot. Ia dianggap terlalu memanjakan tahanan dan dituduh telah melakukan persekongkolan. Selain itu, anggaran pemerintah kolonial untuk Boven Digul juga terkuras.
Sementara itu, rumah tangga Wiranta dan Nyi Cacih bertahan hingga mereka bebas dari Boven Digul. Mereka dikaruniai tiga orang anak dan telah memiliki 17 cucu saat memperingati 50 tahun perkawinan mereka pada 10 Agustus 1977 di Bandung.
Wiranta juga masih sempat menulis ketika di Boven Digul. Tulisannya yang berjudul “Antara Hidup dan Mati” atau “Buron dari Boven Digul” diterbitkan dalam Cerita dari Digul yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer.