Masuk Daftar
My Getplus

Mengenang Ansambel Gembira

Ansambel yang berjaya pada era Sukarno. Jadi langganan Istana Negara hingga pentas di negara-negara sahabat. Meredup pasca 1965.

Oleh: Andri Setiawan | 28 Agt 2020
Tuti Martoyo, anggota Ansambel Gembira sejak 1963 hingga 1965. (Andri Setiawan/Historia).

Mudji Astuti Martoyo masih berusia 16 tahun ketika diajak Putu Oka Sukanta mengisi program baca puisi dan cerita pendek di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1963. Di kantor radio inilah ia bertemu Sudharnoto, komponis kondang pencipta lagu "Garuda Pancasila". Oleh Sudharnoto, ia lalu diminta bergabung dengan paduan suara paling sohor di ibukota: Ansambel Gembira.

Ansambel Gembira didirikan oleh Sudharnoto, Bintang Suradi, dan Titik Kamariah atau Titik Subronto pada 3 Februari 1952. Idenya muncul sejak mereka pulang dari Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia di Berlin tahun 1951. Paduan suara yang bernafaskan semangat muda-mudi itupun dibentuk.

“Pak Sudharnoto menanyakan apa nama paduan suaranya. Bu Titik terus bilang, ah enteng-enteng sajalah, ‘Gembira’. Disetujui bertiga itu, ‘Gembira’. Terus mengumpulkan anak dari teman-temannya Bu Titik, dari teman-temannya Pak Dharnoto, gitu,” kata perempuan yang kerap dipanggil Tuti Martoyo ini kepada Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra

Menurut Bintang Suradi, seperti ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Ansambel Gembira memiliki asas mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan nasional, rasa cinta tanah air, perdamaian dan cinta kepada rakyat sedunia. Selain itu, Ansambel Gembira juga mencoba memperkenalkan lagu-lagu Indonesia maupun luar negeri yang memiliki nilai-nilai kemerdekaan, setiakawan, dan perdamaian.

Ansambel yang bermula dari tiga orang itu kemudian berkembang pesat dan hingga pada 1965 memiliki 50 anggota. Musikus-musikus ternama seperti Subronto K. Atdmojo, Kondar Sibarani hingga Mochtar Embut kemudian juga turut memperkuat Ansembel Gembira. Banyak pentolannya juga merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), lembaga yang memiliki segudang seniman ternama pada masanya.

“Awalnya hanya rombongan paduan suara, kemudian meningkat menjadi Ansabel Nyanyi dan Tari pada Mei 1954. Sebagai sebuah ansambel tertua, Lekra mendorong terus ansambel ibukota ini agar berbuat lebih banyak lagi untuk mengobarkan semangat revolusi yang sedang berlangsung,” tulis Rhoma dan Muhidin.

Tuti mengingat, setiap ada tamu negara yang datang ke Istana, Ansambel Gembira seringkali diundang oleh Bung Karno. Untuk menyambut tamu luar negeri, biasanya mereka akan membawakan satu lagu dari negera asal tamu, satu lagu keroncong, dan satu lagu nasional atau lagu daerah.

“Oh ada tamu negara dari Ceko umpamanya, terus kami diundang supaya kami menyanyikan lagu Ceko,” kenang Tuti.

Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila

Untuk menyanyikan lagu negara lain, Ansambel Gembira biasanya hanya punya waktu empat kali latihan sebelum tampil di depan tamu negara. Namun karena sudah jadi langganan menyambut tamu asing, Ansambel Gembira selalu sukses menyanyikan lagu-lagu itu.

“Pernah kami menyanyikan lagu Jepang. Jadi lagu itu menceritakan ketika Hiroshima dibom. Orang Jepangnya sampai menangis ketika kami menyanyikan lagu itu,” ungkapnya.

Selain itu, Ansambel Gembira juga menjadi favorit Bung Karno untuk menyanyikan lagu-lagu keroncong. Sedangkan lagu yang bertempo mars, biasanya diberikan kepada Ansambel Maju Tak Gentar dari Medan yang juga sering dipanggil ke Istana.

Ansambel Gembira tampil di Gedung Kesenian Jakarta. (Repro Heirs to World Culture 1950-1965).

Ansambel Gembira tak hanya jago kandang. Mereka kerapkali tampil di luar negeri, seperti Tiongkok, Vietnam, Korea ,dan negara-negara di Eropa Timur. Lagu-lagu yang dibawakan biasanya bertemakan solidaritas Asia-Afrika seperti "Dari Rimba Kalimantan Utara", "Api Cubana", "Djamilah" (Mochtar Embut), "Asia Afrika Bersatu" (Sudharnoto) hingga "Persahabatan Tiongkok-Indonesia" (Szuma Wensen-Make).

Jika di era Sukarno Ansembel Gembira menikmati masa jayanya, tahun 1965 menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Tuti mengenang terakhir kali Ansambel Gembira tampil di atas panggung pada pembukaan Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Hotel Indonesia pada 17 Oktober 1965.

“Itu udah, Bung Karno mukanya udah sedih banget. Mukanya udah enggak garang gitu. Kita melihatnya Bung Karno udah loyo di situ,” ingat Tuti.

Baca juga: Jejak Komponis Mochtar Embut

Pasca-pentas terakhir itu, Ansambel Gembira tak kedengaran lagi suaranya. Banyak anggotanya tergabung dalam LEKRA menjadi salah satu alasannya. Subronto K Atmodjo, misalnya, ditangkap dan ikut dibuang ke Pulau Buru. Sementara, Sudharnoto meski tetap bermusik, ia sempat menjadi supir taksi dan berjualan es balok.

Ketika tahun 1980-an tahanan politik Pulau Buru telah dibebaskan, Tuti bertemu dengan Joebaar Ajoeb dan Oei Hay Djoen. Kedua eks-tapol Orde Baru itu meminta Tuti untuk mengumpulkan kembali anggota-anggota Ansambel Gembira.

“Ah saya nggak berani, saya takut,” kata Tuti.

“Emang takut kenapa?” tanya Oei.

“Ya saya takut, dulu kan dianggap Gembira itu LEKRA,” jawab Tuti.

“Enggak, enggak usah takut kamu!” sergah Oei.

Keinginan untuk menumpulkan kembali anggota-anggota Ansambel Gembira itu ternyata baru terwujud pada 1990. Tuti bertemu Sudharnoto dan menyampaikan ide agar Ansambel Gembira berkumpul kembali. Maka pada 5 September 1990 sebagian anggotanya berkumpul lagi dengan nama ATANG (Ansambel Tari dan Nyanyi Gembira).

Baca juga: Cornel Simanjuntak, Komponis yang Bertempur

Nama ATANG dipakai karena mereka masih khawatir jika memakai nama Ansambel Gembira masih terstigma LEKRA. Namun pada 1995, karena nama itu dianggap tidak enak didengar, Sudharnoto menggantinya dengan nama Suara Bineka.

“Suara Biduan Nenek Kakek, katanya gitu dan kami setuju. Karena tahun 90-an itu kami ketemu lagi sebagian dari kita itu sudah menjadi nenek dan kakek, gitu,” terang Tuti.

Suara Bineka lalu tampil kembali membawa nuansa nostalgia dari para anggotanya. Tujuannya memang satu, menghadirkan kembali kegembiraan yang dulu pernah tercipta oleh Ansambel Gembira. Namun perjalanan Suara Bineka harus terhenti lima tahun kemudian. Pada 11 Januari 2000, Sudharnoto meninggal dunia dan Suara Bineka tak aktif lagi.

TAG

ansambel gembira lekra

ARTIKEL TERKAIT

Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Jejak Sutradara Kotot Sukardi Subronto K. Atmodjo, Komponis Sukarnois Jejak Komponis Mochtar Embut Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila Alkisah Cenderamata Lekra Sang Konglomerat dan Pelukis Rakyat Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina