Nama Mochtar Embut barangkali jarang disebut dalam sejarah musik Indonesia. Ia meninggal dunia pada usia yang relatif muda, 39 tahun, ketika karier musiknya sedang naik. Namun, karya-karyanya meninggalkan jejak sejarah tersendiri bagi pencipta lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan ini.
Mochtar Embut lahir pada 5 Januari 1934 di Makassar, Sulawesi Selatan. Sejak usia lima tahun, ia sudah belajar musik dari ayahnya. Kemudian pada usia sembilan tahun, ia menciptakan lagu anak-anak berjudul Kupu-Kupu di Tamanku. Bakat musiknya semakin terasah ketika remaja, menginjak usia 16 tahun ia mulai belajar piano dan menggubah lagu Percakapan dengan Alam.
Mochtar Embut pernah mengenyam pendidikan formal di Europeesche Lagere School (ELS) di Makassar. Namun, musik tampaknya telah menjadi panggilan jiwanya. “Setelah menyelesaikan Lagere School di Makasar, ia pindah ke Jakarta, dan memperdalam musik,” tulis Ensiklopedi Musik Volume 1.
Baca juga: Selayang Pandang Lily Suhairy
Di Jakarta, Mochtar Embut masuk di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengambil jurusan Bahasa Prancis. Sementara itu, ia justru tidak pernah mengenyam pendidikan musik secara khusus. Ia belajar musik secara otodidak dari buku-buku. Ia juga belajar langsung dari para musisi. Di Makassar, ia belajar dari pianis Ong Kian Giap, sedangkan di Jakarta ia menimba ilmu dari Nich Mamahit, seorang pianis jazz.
“Sepanjang hidupnya Mochtar banyak menimba ilmu mengenai musik secara otodidak berkat kegemarannya membaca,” tulis Aming Katamsi dalam Klasik Indonesia Komposisi untuk Vokal dan Piano.
Pada 1962, Mochtar Embut menolak tawaran mengikuti pendidikan musik di Jepang. Sementara itu pada 1971, karyanya With the Deepest Love from Jakarta atau Salam Mesra dari Jakarta justru mendapat penghargaan The Best Ten dalam World Popular Song Festival di Tokyo. Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin orkestra Nippon Hoso Kyokai (NHK) di Budokan Hall, Tokyo kala itu.
Di Indonesia, lagu-lagu ciptaan Mochtar Embut juga sering mendapat penghargaan, antara lain Pemilihan Umum dari Departemen Dalam Negeri, Keluarga Berencana dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana, Mars AURI dari Angkatan Udara Republik Indonesia, serta Gerbang Jakarta dan Jakarta Fair dari Gubernur DKI Jakarta.
Baca juga: Ismail Marzuki, Komponis dari Betawi
Sepanjang hidupnya, Mochtar Embut telah menciptakan lebih dari 200 lagu, terdiri dari lagu-lagu seriosa, Melayu, lagu perjuangan, anak-anak, dan karya musik instrumental untuk piano dan biola. Lagu-lagunya seperti Di Wajahmu Kulihat Bulan, Di Sudut Bibirmu dan Tiada Bulan di Wajah Rawan, masih dikenal hingga hari ini.
Sementara itu, karya-karya seriosanya yang cukup terkenal pada masanya antara lain Segala Puji, Setitik Embun, Srikandi, Kumpulan Sajak Puntung Berasap, Senja di Pelabuhan Perahu, Gadis Bernyanyi di Cerah Hari, Lagu Rinduku, Kasih dan Pelukis, Senyuman Dalam Derita, dan Sandiwara.
Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Mochtar Embut juga tercatat sebagai anggota Lembaga Musik Indonesia (LMI) yang berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1963, ia turut dalam misi kebudayaan bersama Ansambel Gembira ke Tiongkok, Vietnam, dan Korea.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
Dalam piringan hitam yang kemudian menjadi cenderamata dalam misi kebudayaan itu, tiga lagu diciptakan oleh Mochtar Embut, yakni Dari Rimba Kalimantan Utara, Api Cubana, dan Djamila. Ia sendiri juga berperan sebagai pianis mengiringi Ansambel Gembira.
Mochtar Embut menciptakan lagu Djamila terinspirasi sosok Djamila Bouhired, tokoh revolusi Aljazair yang cukup terkenal di Indonesia berkat serial tulisan Rosihan Anwar di harian Pedoman. Lagu Djamila juga dibuat sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan Aljazair dan negara-negara Asia-Afrika lainnya.
Pada 1964, Moctar Embut terpilih sebagai anggota presidium Konferensi Nasional Lembaga Musik Indonesia (LMI) Lekra. Ia duduk bersama Drs. Suthasoma, Adi Karso, Eveline Tjiaw, Gesang, Luther Sihombing, M. Arief, Ktut Putu, Juliarso, Ukuo Sen, Tjie Wing Hoo, Nj. Komara, M. Karatem, dan Hersad Sudijono. Sementara itu, ketua presidiumnya adalah Sudharnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila.
Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila
Jejak Mochtar Embut lainnya juga tercatat dalam Kumpulan Lagu Populer I yang memuat 27 lagu rakyat Indonesia dan sembilan lagu Barat yang ia susun sendiri. “Dengan buku ini saya ingin mengetengahkan kepada dunia luas bahwa Indonesia memiliki lagu-lagu rakyat yang cukup berbobot,” kata Mochtar Embut seperti dikutip Katamsi.
Di akhir perjalanan hidupnya, Mochtar Embut terserang penyakit lever dan kanker hati. Ia meninggal pada 20 Juli 1973 di Bandung.