Masuk Daftar
My Getplus

Subronto K. Atmodjo, Komponis Sukarnois

Komponis Lekra yang sering membuat lagu dari pidato-pidato Sukarno. Dibuang ke Pulau Buru pasca-1965.

Oleh: Andri Setiawan | 29 Okt 2020
Subronto K. Atmodjo. (Hersri Setiawan/Medium).

Selain Sudharnoto, Bintang Suradi, dan Titik Kamariah, di Ansambel Gembira ada nama Subronto Kusumo Atmodjo yang tak bisa dilewatkan. Subronto sering kali membuat lagu untuk Ansambel Gembira dan sempat memimpin ansambel ini hingga kejatuhannya pada 1965.

Astuti Martoyo, mantan anggota Ansambel Gembira, menyebut bahwa Subronto adalah sosok yang cerdas. Selain sebagai pelatih, ia juga komponis sekaligus konduktor. Lagu-lagu ciptaannya sering kali menjadi lagu andalan Ansambel Gembira.

Astuti mengenal Subronto jauh sebelum ia bergabung dengan Ansabel Gembira. Astuti mengenang, lagu “Suburlah Tanah Airku” ciptaan Subronto adalah lagu yang hampir pasti bisa dinyanyikan anak sekolah pada waktu itu.

Advertising
Advertising

“Beliau itu sangat pandai karena ia membuat lagu yang massal. Lagu massal yang gampang dinyanyikan,” kata Astuti Martoyo kepada Historia.id.

Baca juga: Mengenang Ansambel Gembira

Subronto lahir dari keluarga petani di Kabupaten Pati pada 1929. Ayahnya menginginkan Subronto menjadi petani, namun musik tampaknya menjadi panggilan jiwanya. Ketika melanjutkan pendidikan di SMA Taman Siswa Yogyakarta, Subronto justru gandrung dengan gamelan. Semua instrumen gamelan pun dikuasainya.

Ketika menjadi Ketua Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia di Semarang, untuk pertama kalinya ia menonton pertunjukan Sudharnoto yang sudah sohor namanya. Ketika pindah ke Jakarta, kepada Sudharnotolah ia banyak belajar tentang musik. Subronto bergabung dengan Ansambel Gembira pada 1952.

“Waktu itu ia belum kerja, masih luntang-lantung. Malah, katanya, pernah mengombrengkan baju dengan bersama Mas Dharnoto,” sebut Koesalah Soebagyo Toer dalam Ke Langit Biru, Kenangan tentang Gembira.

Di Ansambel Gembira, Subronto menjadi salah satu anggota yang menonjol baik sebagai penyanyi maupun dalam urusan organisasi. Dia juga yang mengusulkan agar Ansambel Gembira tidak hanya mementaskan lagu-lagu perjuangan melainkan juga lagu rakyat atau lagu daerah.

Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra

Koesalah yang juga sempat bergabung dengan Ansambel Gembira menyebutnya sebagai orang paling berjasa di Ansambel Gembira selain tiga pendirinya.

“Itu tidak hanya karena kedudukannya sebagai Penanggungjawab Kesenian, melainkan juga karena ketokohannya sebagai pendidik, pembimbing, dan panutan pemuda,” kenang Koesalah.

Selain tenar sebagai pemimpin Ansambel Gembira, Subronto juga dikenal karena sering membuat lagu yang terinspirasi dari pidato-pidato Sukarno.

“Setiap statemen politik Bung Karno yang disampaikan kepada masyarakat dibikinkan (Subronto) lagu,” kata Titik Kamariah seperti dikutip Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam tulisannya “Bersama Lekra dan ansambel: melacak panggung musik Indonesia: 1950-1965”, termuat dalam Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia, 1950-1965.

Pidato-pidato Sukarno menjadi inspirasi Subronto. Dua lagu di antaranya ialah “Nasakom Bersatu” dan “Resopim”, yang sering dibawakan Ansambel Gembira dari panggung ke panggung.

Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila

Subronto memang tidak pernah menempuh pendidikan musik, namun ia belajar kepada banyak orang. Selain kepada Sudharnoto, ia juga sering mendatangi Amir Pasaribu dan Sudjasmin. Nasib membawanya kuliah di jurusan Kepemimpinan Paduan Suara dan Ansambel Kesenian di Sekolah Tinggi Musik Hanns Eisler, Berlin. Subronto lulus pada Agustus 1965.

Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebut Subronto adalah orang yang menemukan bahwa pelog, tangga nada diatonik dalam musik Jawa, ternyata berasal dari Gereja Phrygia di Asia Minor. Pelog masuk melalui Surabaya dan tersebar ke seluruh Jawa dengan beragam modifikasi. Sementara pelog yang masih mendekati aslinya disebut masih bertahan di Madura.

Di luar Ansambel Gembira, Subronto bekerja sebagai karyawan di Departemen Pendidikan, Pengamatan, dan Kebudayaan (PPDK). Selain itu, ia juga aktif menulis di media massa dan menjabat sebagai redaktur majalah Pemuda. Beasiswa di Berlin juga didapatnya dari penugasan Departemen PPDK.

Baca juga: Jejak Komponis Mochtar Embut

Subronto sempat bekerja di Kedutaan Cekoslovakia. Pada 1953, ia mengikuti Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia di Bukares, Rumania. Kemudian pada 1957, ia menjadi Ketua Seksi Kesenian delegasi Pemuda/Mahasiswa pada Festival Pemuda dan Mahasiswa Demokratik se-Dunia di Moskow.

Kiprah Subronto di Ansambel Gembira berakhir ketika pada 1968 ia ditangkap karena menjadi pimpinan Ansambel Gembira sekaligus komponis ternama Lekra. Ia berpindah dari penjara ke penjara sebelum dibuang ke Pulau Buru. Namun, pembuangan tak mematikan jiwa musiknya. Menurut Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru, Subronto memimpin grup musik Bandko, singkatan dari Band Markas Komando.

Setelah bebas dari Pulau Buru pada 1977, Subronto diajak oleh Alfred Simanjuntak untuk bergabung dengan Yayasan Musik Gereja. Sejak itu, ia mulai sering menciptakan lagu-lagu rohani Kristen. Namun, lagunya yang terkenal “Kantata Bintang Bethlehem” sebenarnya telah diciptakan di Pulau Buru. Subronto meninggal dunia di Bekasi pada 12 November 1982.

TAG

musik komponis lekra pulau buru

ARTIKEL TERKAIT

Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Apotek yang Melahirkan Band Rock Legendaris Indonesia Berkah Ditolak Jadi Tentara Yok Koeswoyo Bicara Sukarno Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven Muslim Penting dalam Musik Pop Kisah di Balik Alat Musik Kesayangan Squidward Sebelum Ahmad Albar Sukses di Indonesia Di Balik Lagu “Nuansa Bening”