Masuk Daftar
My Getplus

Membaca Catatan Kulinari

Resep masakan mendokumentasi perjalanan kulinari dalam berbagai interaksi budaya.

Oleh: Mira Renata | 01 Agt 2011
Manuskrip Apicius (sekitar 900 M) dari biara Fulda di Jerman yang diakuisisi oleh Akademi Kedokteran New York pada 1929. (Wikimedia).

Orang Romawi menyebut makanan pencuci mulut “bellaria”. Almond, anggur, kurma, manisan buah, dan kue kerap menjadi sajian penutup, seperti tertulis dalam Dictionary of Greek and Roman Antiquities karya William Smith (1870).

Dalam salah satu buku resep masakan tertua Romawi, Apici Caeli de Re Coquinaria, bellaria merupakan bagian dari 478 resep masakan. Identitas penulis buku itu hingga kini masih menjadi perdebatan. Salah satu orang yang diasumsikan sebagai penulisnya adalah Marcus Gavius Apicius, seorang pencinta makanan bergaya hidup mewah pada masa pemerintahan Kaisar Agustus dan Tiberius. Walau identitas penulisnya belum pasti, sebagian besar peneliti menyepakati bahwa buku itu ditulis sekitar abad ke-3-4.

Untuk masakan penutup soufflé buah pir (Patina De Piris), tulis de Re Coquinara, potongan buah pir diolah dalam adonan liquamen, passum, telur dan madu, dengan bumbu lada dan jintan yang dipanggang. Liquamen (saus ikan atau sering disebut garum) dan passum (saus anggur kental) merupakan dua bahan dasar utama masakan Romawi. Bumbu dasar lainnya adalah sejenis tanaman fennel (silphium), yang kini telah punah.

Advertising
Advertising

“Masakan Romawi, yang didasari pengaruh Yunani seperti umumnya kesenian mereka, merupakan pilar perkembangan masakan Eropa. Bangsa Italia belajar dari Romawi dan bangsa Prancis mengakui pengaruh Italia,” tulis Helen Lovell dalam “An Old Roman Cookbook” yang dimuat The Classical Journal Vol 21, Maret 1926.

Baca juga: Karya Abadi Koki Jadoel

Dokumentasi masakan kelompok elit masyarakat juga melatarbelakangi penulisan Kitab al-Tabikh karya Muhammad bin Hasan al-Baghdadi, kumpulan resep masakan Arab pada abad ke-13. Charles Perry, peneliti sejarah makanan sekaligus penerjemah Kitab al-Tabikh dalam bahasa Inggris versi 2005 (A Baghdad Cookery Book, terjemahan awal terbit 1939) menyebutkan bahwa kumpulan resep ini berawal dari seorang pangeran bernama Saif al-Dawlah Al Hamdani pada abad ke-10. Sang pangeran menginginkan sebuah koleksi resep masakan “para raja, kalifah, bangsawan dan pemimpin.” 

Al-Baghdadi pun menyusun resep-resep masakan dari berbagai generasi khalifah. Kumpulan resep ini terbagi dalam sepuluh bab berdasarkan jenis masakan, termasuk  jawadhib (puding dengan daging panggang). Dia juga membagikan pandangannya tentang seorang pemasak yang baik dalam bab pendahuluan “Apa Yang Harus Diketahui”.

“(Orang bijak berkata) seorang pemasak harus memiliki pengetahuan dan wawasan tentang prinsip-prinsip masakan serta terampil memasaknya. Ia juga sebaiknya menjaga kerapian kuku-kuku jarinya agar tak cedera dan tak membiarkannya tumbuh panjang sehingga debu-debu kotor menempel di bawahnya…,” tulis al-Baghdadi di awal paragraf. 

Ukuran, waktu, dan temperatur dalam proses memasak tak terdeskripsi dengan jelas, baik dalam de Re Coquinaria maupun al-Tabikh. Ketika menerjemahkan al-Tabikh, Perry menginterpretasi ulang beberapa sistem pengukuran. Misalnya pengukuran dengan jari. Jari bisa digunakan untuk mengukur potongan beberapa jenis sayuran atau secara spesifik seberapa tinggi bahan-bahan dasar di dalam panci “… hingga mereka bertumpuk setinggi bentangan lebar empat atau lima jari,” tulis Perry.

Resep-resep yang ditulis al-Baghdadi, menurut Perry, jauh berbeda dari masakan Arab modern seperti pilaf, hummus, atau kibbe. Sejumlah resep masakan kini asing bagi telinga umum. Namun ada beberapa resep yang melewati batas ruang dan waktu, mengalami modifikasi, dan hingga sekarang masih digemari. Buran, misalnya, awalnya adalah terong yang digarami, dibumbui, dan digoreng. Ia merupakan salah satu hidangan dalam jamuan pernikahan seorang putri bangsawan yang memiliki nama kesayangan, buran, dengan Khalifah al Mamun.

Baca juga: Menjejaki Sejarah Kuliner Nusantara

Meski kini terlihat sederhana, Alan Davidson dan Tom Jaine dalam Oxford Companion to Food (2006) menyebutkan bahwa pada masa itu terong merupakan komoditas eksotis dari India (badhinjan). Mereka juga mencatat, sepanjang abad ke-13 hingga 15, selain mengalami perubahan nama menjadi buranniyah, popularitas masakan terong goreng meluas dan mulai dipadu dengan masakan serupa semur daging di Spanyol, Maroko, Algeria, dan Syria. Perubahan ini berlanjut di Mesir dan Syria yang kemudian menamainya burani serta mengganti terong dengan sayuran lain seperti bayam atau zucchini.

Modifikasi resep juga terjadi dalam teknik mengolah dan memasak, seperti terjadi pada penganan kue gurih idli di India. Bagi masyarakat Tamil Nadu di India, idli merupakan salah satu masakan tradisional. Cerita rakyat setempat mengisahkan kebaikan hati seorang ibu yang memberikan idli kepada pandita sebagai ungkapan belas kasihan.  Seorang raja India, Someshwara III, mencatat resep awal idli dalam kumpulan tulisannya, Manasollasa, yang merupakan ensiklopedi tentang berbagai topik kehidupan pada abad ke-12. Resep idli tradisional dalam Manasollasa menggunakan tepung lentil hitam dengan bubuhan lada dan asafoetida (serupa sylphium pada masa Romawi, berasal dari spesies ferula). Adonan idli tradisional kemudian digoreng. 

Memasuki abad ke-17, beras menjadi salah satu bahan utama idli serta cara memasaknya pun berubah menjadi dikukus. K.T. Achaya, penulis dan peneliti sejarah dan perkembangan kulinari India, menyimpulkan perubahan ini terjadi setelah kedatangan para koki yang menyertai kunjungan raja-raja Hindu di Nusantara ke India. Teknik fermentasi dengan beras serta mengukus dari para koki ini kemudian diadopsi masyarakat selatan India untuk memasak idli. Sampai sekarang, idli merupakan menu sarapan atau cemilan favorit di India dan disantap bersama acar kelapa dan sambhar (dal dengan sayuran).

Baca juga: Budaya Kuliner Tionghoa-Nusantara

Buku resep masakan mulai mendapat respon yang lebih luas pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika. Reay Tannahil dalam Food in History (1973) menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah perempuan yang mampu membaca di wilayah-wilayah ini merupakan salah satu penyebabnya. Faktor lain, tambahnya, kemunculan kelas menengah serta keinginan untuk menyelenggarakan jamuan makan yang mencerminkan status mereka, yang tidak selalu dapat disajikan pelayan di rumah. 

Para penulis buku resep masakan berasal dari beragam latar belakang. Dari chef utama Ratu Victoria, Charles Edme Francatelli, yang menulis The Modern Cookbook (1845); seorang ibu rumah tangga di Inggris bernama Maria Eliza Rundell, yang awalnya menuliskan resep masakan untuk putrinya, dalam Domestic Cookery (1806); hingga seorang ahli masakan Prancis, Louis Eustache Audot, yang menekankan memasak  hidangan Prancis tak selalu identik dengan harga mahal dalam La cuisinière de la campagne et de la ville: ou nouvelle cuisine économique (1818). Namun di antara buku resep masakan yang terbit pada periode itu, deskripsi pengukuran bahan-bahan masakan, menurut Tannahil, kali pertama tercatat secara jelas dalam buku The Boston Cooking-School Cook Book (1896) karya Fannie Merritt Farmer. 

Kini, buku resep masakan lebih dari sekadar dokumentasi kulinari. Ia menjadi bagian fungsional dari kehidupan sehari-hari berbagai kalangan. Isinya pun beragam. Dari petunjuk memasak praktis hingga langkah-langkah mengolah masakan tradisional, otentik maupun fusion, untuk acara-acara istimewa maupun sehari-hari.

TAG

buku kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Kontes Memasak Tempo Dulu Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang Jejak Langkah Gusmiati Suid Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop