KETIKA datang ke tanah Hindia, orang-orang Belanda tak bisa lain harus menyesuaikan selera makan mereka. Mula-mula yang berperan dalam pembiasaan itu adalah perempuan pribumi yang mereka kawini alias nyai. Sementara para pejabat tinggi Belanda, kendati membawa istri mereka, mempercayakan urusan dapur kepada juru masak pribumi. Ketika kaum perempuan Eropa mulai berdatangan ke Hindia sekira awal abad ke-20, peranan para koki tetap tak tergantikan.
“Koki adalah orang yang berkuasa di dapur. Bagaimana ia mengatur dan menyiapkan semuanya merupakan teka-teki bagi banyak nyonya,” tulis Willem Walraven, pengarang-cum-wartawan Belanda dalam Brieven, Aan Familie en Vrienden, 1919-1941.
Dari para koki itulah perempuan Belanda dan Indo belajar menyerap masakan pribumi. Beberapa di antaranya menerbitkan buku dengan jejak para koki terkubur di dalamnya.
Salah satu buku masakan yang terkenal adalah Kokki Bitja atau Kitab Masak Masakan India jang Bahroe dan Sempoerna, terbit perdana pada 1857, karya Nona Cornelia. Siapa Cornelia tak jelas. Dalam kata pengantarnya dia menyebut para kontributor resep-resepnya: Mevrouw Sarondeng, Mejjuffrouw Sesate, Njonja Smoor, Nona Lalawar, Marokki, Karmanatji dan Embok Kottelet.
Baca juga: Klaim kuliner Indonesia oleh Malaysia dianggap menggelikan bukan menggelisahkan
Dalam Jejak Rasa Nusantara, Fadly Rahman menduga, berbagai nama samaran itu menunjukan Cornelia mendapatkan resep-resepnya melalui pergaulan dengan berbagai kalangan: pribumi, Eropa atau Indo, dan Tionghoa.
Sama seperti Cornelia, Nyonya Johanna juga bergantung pada para contributor untuk menyusun bukunya, Boekoe Masakan Baroe, pada 1897. Buku ini disusun oleh lima koki: Kokki Anih, Kokki Shanghay, Kokki Njonja Betawi, dan Kokki Bitjah. Tak jelas siapa sosok di balik nama koki-koki tersebut. Tapi khusus untuk Koki Bitjah, tampaknya Johanna merujuk pada Nonna Cornelia. Artinya, buku yang ia tulis merujuk kepada karya Cornelia.
Anak-anak Indo memainkan peran yang sangat penting dalam melanggengkan pengaruh pribumi dalam urusan masak memasak. Menurut Fadly Rahman dalam karya lainnya, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870-1942, para perempuan Indo dikenal pandai memasak dan di antara mereka menulis buku-buku resep yang beredar di Jawa sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 seperti Ny.G.G. Gallas, Catenius-van der Meijden, dan E.W.K. Steinmetz.
Baca juga: Resep masakan mendokumentasikan perjalanan kulinari dalam berbagai interaksi budaya
Catenius-van der Meijden misalnya, adalah seorang gastronom yang menulis banyak buku memasak. Dia juga dikenal sebagai seorang jurumasak dan menguasai keahlian membuat puluhan jenis sambal yang dituangkan dalam buku karyanya Makanlah Nasi! (1922).
Kalangan Tionghoa juga memiliki andil dalam melestarikan ragam kuliner. Salah satunya perempuan paruh baya bernama Tjoa Tjoen Goan. Dia pemilik pabrik hunkwee tjap Boenga di kawasan Cicurug, Sukabumi, yang didirikan awal abad ke-20. Dia juga dikenal sebagai ahli pembuat kue ternama dan karyanya jadi rujukan para koki pembuat kue.
“Ia membuat buku-buku kecil dalam Bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu untuk mempromosikan produknya sekaligus berbagi ilmu tentang pembuatan kue,” tulis Andreas Maryoto, wartawan Kompas dalam Silang Budaya Kuliner Nusantara.
Baca juga: Persentuhan budaya masakan memperkaya kuliner Nusantara