Masuk Daftar
My Getplus

Media Komunikasi dalam Lagu

Lagu-lagu yang mengabadikan media komunikasi populer di eranya.

Oleh: Nur Janti | 04 Jan 2018
Ilustrasi sebuah telepon umum.

KECEWA lantaran sang kekasih manja, aktivis perempuan Sujatin langsung menulis surat. Dari Yogyakarta, dia mengirim surat itu ke Batavia, tempat sang kekasih berada. Lewat surat itu, hubungan cinta keduanya pun berakhir.

Pada 1930-an itu, surat menjadi andalan komunikasi jarak jauh orang dari berbagai tempat. Ia digunakan untuk beragam keperluan mulai dari urusan pribadi hingga pemerintahan maupun relasi antarnegara.

Popularitas surat sebagai media penyampai pesan itu menginspirasi banyak musisi untuk membuat lagu bertema surat atau menyertakan surat di dalam lirik-liriknya. Di Indonesia saja, lagu yang memuat surat tak terhitung jumlahnya. Lagu “Surat Cinta” Nur Afni Octavia (rilis tahun 1970-an), “Kau Tercipta Bukan Untukku” ciptaan Obbie Messakh yang dibawakan Ratih Purwasih (1980-an), atau “Kangen”-nya Dewa 19 (1990-an) hanyalah satu dari sekian banyak lagu bersurat dari tiap dekade.

Advertising
Advertising

Selain berkirim surat, orang-orang pra-era komunikasi satelit berkomunikasi dengan menggunakan telepon. Penggunaan alat komunikasi yang dikembangkan dari radio itu juga menginspirasi para musisi untuk menjadikannya sebagai tema lagu-lagu mereka.

Gombloh, musisi asal Surabaya yang beken pada 1980-an, salah satunya. Lewat lagu “Kugadaikan Cintaku”, yang dirilis pada 1986 dalam album Semakin Gila, dia tak hanya meraup sukses dengan meledaknya lagu itu tapi sekaligus menjadikan komunikasi telepon sebagai penanda zaman. “Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu. Kutelepon, di rumahmu, sedang apa sayangku,” demikian penggalan lirik lagu tersebut.

Bagi muda-mudi, penggunaan telepon untuk komunikasi dengan kekasih atau perempuan yang jadi incaran untuk dijadikan pacar amat penting dan mengasyikkan. Meski hanya bisa mendengarkan suara, suara gadis pujaan di telepon mampu membunuh rindu dalam kalbu.

Sampai pertengahan 1990-an, ketika pemerintah belum menggalakkan pemasangan telepon rumah, telepon umum pun jadi tempat tujuan banyak orang. Telepon umum koin mulai muncul di Indonesia pada 1981. Antara 1983-1988, Telkom memasang 5.724 unit di berbagai daerah. Setelah itu, Telkom mengembangkan dengan telepon umum kartu. Mulai dipasang pada 1988, telepon umum kartu awalnya hanya dipasang Telkom sebanyak 95 unit. Jumlah itu pun terus bertambah. Hingga 1993, jumlah telepon umum kartu telah mencapai 7.835 unit.

Di telepon umum-telepon umum itulah muda-mudi dari berbagai kota di Indonesia sering melepas rindu pada kekasih. Meski kerap harus mengantri, mereka rela demi mendengar suara pujaan hati.

Fenomena itu yang menginspirasi diciptakannya lagu “Telepon Umum” milik Wiwiek Sumbogo (1987). Lagu ini mengisahkan orang-orang yang menelepon untuk membunuh jenuh saat menunggu bis datang. Kebetulan, kala mengantri telepon umum, si penyanyi bertemu pujaan hati.

Kala radio panggil atau pager mulai booming pada akhir 1990-an, muncul pula lagu yang mengiringinya, “Tididit”. Lagu yang dinyanyikan grup Sweet Martabak ini liriknya berbunyi, “Tididit pagerku berbunyi, tididit begitu bunyinya.”

Menurut Warta Ekonomi, pada 1997 ada sekira 60.000 pelanggan yang dilayani PT Persada Komindo. Perusahaan yang dipimpin Hengky Liem ini mengelola Nusapage, operator pager yang bekerjasama dengan Motorola. Pada Februari di tahun yang sama, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave meresmikan PT Metro Media Raya. Perusahaan dalam negeri ini memproduksi radio panggil dengan merek Falcon. Harapannya, operator radio panggil dalam negeri akan bekerjasama dengan pabrikan dalam negeri dibanding pabrikan luar.

Meski tak masuk ke semua lapisan masyarakat, pager amat berguna bagi penggunanya. Aktivis HAM Usman Hamid dalam Digital Nation Movement mengingat, saat demo 1998 para mahasiswa menggunakan pager atau HT untuk memudahkan koordinasi.

Kejayaan pager tergusur begitu telepon seluler (ponsel) mulai dijual murah pada tahun 2000-an. Pada akhir 1990-an pager mampu bertahan karena ponsel di Indonesia masih mahal baik harga perangkatnya maupun biaya operasionalnya.

Pesan singkat atau SMS (Short Messages Service) sebagai salah satu fitur dalam ponsel menjadi media paling diandalkan untuk berkomunikasi jarak jauh karena berbiaya murah. Asa Briggs menulis dalam Sejarah Sosial Media, di Amerika Serikat layanan pesan singkat mulai dikenalkan tahun 2000. Meski awalnya SMS tak mendapat sambutan antusias, pada 2001, tulis Sunday Times, para remaja kecanduan untuk saling berkirim pesan singkat. Bahkan, seorang remaja bisa mengirim sampai 1000 SMS dalam sebulan.

Di Indonesia sendiri, pada 2006 pelanggan jasa telepon selular dengan berbagai platform dari semua operator mencapai 64 juta. Di tahun yang sama, lagu “SMS” yang dinyanyikan Ria Amelia muncul dengan lirik, “Bang, SMS siapa ini, Bang.”

Kemunculan Facebook pada paruh kedua 2000-an ikut mempengaruhi pola komunikasi di Indonesia. Dengan jumlah pengguna yang terus meningkat, dari 322 ribu orang pada 2008 menjadi 26,8 juta pada 2010, Facebook kini menjadi salah satu media komunikasi utama lintas-usia dan lintas-gender. Sebagai media komunikasi yang menandakan sebuah zaman, Facebook menginspirasi band Gigi merilis lagu berjudul “My Facebook” pada Agustus 2009. Lagu tersebut mengisahkan pertemuan mantan kekasih melalui Facebook.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Bukan Belanda Yang Kristenkan Sumut, Tapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik