JUMAT malam, 7 Agustus 1959. Kota Bandung geger. Kali ini bukan karena Westerling masuk kota, melainkan artis cantik Titin Sumarni yang berjalan telanjang kaki menyusuri jalanan kota. Mengenakan baju merah muda dengan bawahan hitam, dia berjalan diiringi puluhan sepeda motor dan penarik becak. Sekira 7 kilometer sudah dia tempuh. Lalu lintas kota tersendat karena ulahnya berjalan di tengah jalan raya.
“Rupanya saya saat itu terlalu sedih dan bingung. Saya tak ingat lagi dimana persisnya kantor polisi karesidenan Priangan. Saya tidak tahu apakah saya saat itu berjalan di tengah seperti yang dikatakan orang. Tapi saya tahu pula bahwa di belakang saya mengarak puluhan kendaraan. Di pertigaan jalan raya barat dan jalan Garuda, seorang polisi menghentikan saya. Saat itu saya sudah sangat letih, lalu diantarkan olehnya menggunakan truk ke rumah famili saya,” ujar Titin dikutip harian Pikiran Rakjat, 10 Agustus 1959.
Keesokan harinya, 8 Agustus 1959, Titin sampai di kantor polisi. Dia melaporkan Muhammad Jahja Ali, seorang pengusaha dari Bandung.
“Saya sudah cukup bersabar dan telah berusaha mendapatkan penyelesaian secara langsung darinya, namun dia berusaha mengelak. Karena itu terpaksa saya melaporkannya kepada yang berwajib, dengan risiko besar karena masyarakat menjadi tahu hal ini. Namun hal itu sudah saya pikirkan masak-masak,” ujar Titin.
Kecantol Pengusaha
Titin Sumarni, yang oleh penggemarnya dijuluki Marilyn Monroe, sudah tiga tahun absen dari dunia film. Film terakhirnya, Janjiku produksi Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia) milik Djamaludin Malik. Setelah itu, dia dikabarkan menjalin kisah asmara dengan beberapa pria, namun media tak menggubrisnya. Baru pada medio 1959, kisah asmaranya dengan Muhammad Jahja Ali menjadi pemberitaan media massa. Pengusaha ini adalah kolega ayahnya.
Jahja mengaku mengenal Titin sejak tahun 1939. Saat itu, dia adalah karyawan Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) yang bertugas di Surabaya.
“Nyonya Titin Sumarni saat itu berumur 7 tahun. Sejak tahun 1945, saya dan istri saya mengenal nyonya Titin Sumarni. Dia juga sering datang ke rumah saya dan berteman baik dengan adik istri saya. Setelah nyonya Titin Sumarni bersuami dan pindah ke Jakarta, saya jadi jarang berjumpa,” ujar Jahja dikutip harian Pikiran Rakjat, 13 Agustus 1959. Dari sini, nampak perbedaan usia antara Titin dan Jahja yang jauh.
Perjumpaan selanjutnya antara Titin dan Jahja terjadi pada Desember 1958 di studio Persari. Saat itu, Jahja sedang mengerjakan gedung-gedung milik Djamaludin Malik, pengusaha dan produser film.
Pemberitaan menyoal aduan Titin kepada Jahja cukup menyita perhatian. Pikiran Rakjat, media di Bandung, merekam perseteruan Titin dan Jahja pada medio Agustus 1959.
Titin menuding Jahja tak bertanggungjawab atas kehamilannya. Bahkan, saat dia mengalami pendarahan yang mengakibatkan kematian bayinya, Jahja tak kunjung datang.
“Waktu itu, hati saya menjerit-jerit. Bayi akan dikuburkan, dia tak ada. Sedang saya sendiri masih belum bisa berjalan karena selain melahirkan juga karena pendarahan. Sungguh anak yang malang, dia dikuburkan tanpa disaksikan ayahnya,” ujar Titin dalam Pikiran Rakjat, 11 Agustus 1959. Titin pun akan menuntut ganti rugi sebesar Rp5 juta kepada Jahja.
Jahja akhirnya buka suara. Dia menampik sebagai ayah biologis dari anak Titin yang baru meninggal dan pertemuan terakhirnya dengan Titin terjadi pada April 1959.
“Titin sedang mengandung dari suaminya yang kedua dan mengajukan cerai di pengadilan agama Surabaya,” kilah Jahja.
Perseteruan Titin dengan Jahja mendapat perhatian dari Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Jawa Barat. “Apa yang terjadi pada Titin Sumarni dan Muhammad Jahja Ali adalah kesalahan perkawinan. Seharusnya, jika dijumpai kemacetan, yang tidak bisa membahagiakan kedua belah pihak, maka diperbolehkannya bercerai dengan cara baik-baik,” ujar Abdurrauf Hamidie, ketua BP-4 sekaligus kepala Kantor Urusan Agama Jawa Barat, dikutip Pikiran Rakjat, 14 Agustus 1959.
Tidak jelas bagaimana akhir perseteruan Titin-Jahja.
Menurut Tanete Pong Masak dalam Sinema Pada Masa Sukarno, kisah asmara Titin tak berhenti di situ. Dia masih terlibat urusan asmara dengan beberapa pria lain, seperti Enoch Danubrata, kepala polisi Jawa Barat; Entje Senu Abdul Rachman; dan terakhir dengan Sampetoding, saudagar dari Makassar.
“Dia menemui ajalnya secara tragis pada tahun 1966 setelah dirawat di rumah sakit karena TBC. Kata orang, kematiannya disebabkan oleh racun yang didatangkan dari luar rumah sakit, pekerjaan salah seorang dari tujuh mantan suaminya,” tulis Tanete.