Para perempuan di Batavia (sekarang Jakarta) keluar rumah dengan diikuti para pelayan yang membawa payung, buku doa, kipas, kotak sirih, dan baskom untuk meludah. Kebiasaan menyirih yang menjadi budaya timur rupanya dilakukan pula oleh orang-orang Belanda.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana menjelaskan hampir semua kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki kebiasaan menginang atau menyirih. Kebiasaan ini dilakukan para perempuan zaman dulu untuk mempercantik diri agar bibirnya bisa menjadi merah.
“Kalau laki-laki di dalam getah pinangnya itu, bila dicampur injit (kapur sirih) bisa membuat rileks, tapi itu bukan nikotin,” ujar Margana kepada Historia.
Kebiasaan menyirih kemudian menular kepada orang-orang Belanda melalui pernikahan campuran. Pada masa VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), perempuan Belanda belum diperbolehkan datang ke Batavia.
“Jadi, umumnya pejabat VOC menikah dengan perempuan Indonesia atau orang India, budak yang dimerdekakan, atau orang Indo. Orang yang memiliki darah campuran antara Belanda-Indonesia, biasanya ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Belanda, merekalah yang ikut nginang atau nyirih,” kata Margana.
Menurut sejarawan University of New South Wales Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, setiap orang yang datang dari Eropa mengomentari kebiasaan mengunyah sirih yang merangsang air liur dan meninggalkan warna merah sebagai hal yang menjijikkan.
Jean mengutip catatan penjelajah Prancis, Jean-Baptiste Tavernier, yang berkunjung ke Batavia pada abad ke-17. “Laki-laki dan perempuan selalu mengunyah (sirih) ketika mereka pergi ke luar, bahkan ketika di gereja ... Mulut mereka dipenuhi air liur merah, seakan-akan mulut mereka habis ditinju,” tulis Tavernier.
Bagi Jean munculnya kebiasaan menyirih di kalangan orang Belanda menjadi penanda pembauran ras dan suatu bentuk adopsi terhadap kesenangan Asia.
Ketika Inggris berkuasa di Batavia pada awal abad ke-19, istri Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamme Raffles merasa jijik dengan kebiasaan menyirih para perempuan di Batavia. Dia memerintahkan untuk membuang semua tempat ludah dari kediaman resmi gubernur. Dia tidak menawarkan sirih kepada perempuan-perempuan yang menemaninya berpesta selama kurang lebih dua minggu.
Ketidaksukaan Olivia diikuti oleh orang-orang Inggris lain di Batavia. Pendatang-pendatang baru dari Inggris yang memiliki posisi tinggi ingin gaya hidup mereka dicontoh oleh kelompok elite Batavia. Jean menulis bahwa para perempuan yang datang ke pesta yang diselenggarakan orang Inggris dilarang untuk membawa kotak sirih.
“Karena kesadaran ras dan kelas orang mulai meninggalkan tradisi-tradisi pribumi yang dianggap merendahkan derajat mereka. Lama-kelamaan kebiasaan menyirih hilang kemudian muncul rokok ketika tembakau mulai berkembang di Hindia Belanda. Perempuan juga meninggalkan kebiasaan menyirih dan berganti menjadi rokok,” tulis Jean.