Masuk Daftar
My Getplus

Humanisme Sesungguhnya

Universalisme Eropa hanya selubung bagi penindasan kolonial. Di tanah jajahan, dia menemukan humanisme sesungguhnya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 10 Agt 2010

DALAM salah satu acara makan malam di Paris, Emilie menjadi pusat perhatian. Semua orang membicarakan rencana Emilie pergi ke Hindia Belanda. Negeri jauh ini, mereka bilang, masih penuh dengan horor: manusia memakan manusia, ibu memakan anaknya. Yang lain mengoreksi, bahkan menyebut orang Jawa sangat halus, sopan; tak mengeluh sekalipun dicambuk karena menganggap orang Belanda sebagai tamu yang layak dihormati.

Emilie terperangah mendengar percakapan yang tak sepenuhnya dia pahami. Dia tak suka dengan arogansi khas kota Paris ini. Emilie malah kagum dengan cerita sepupunya suatu ketika.

“Emilie, apakah Anda telah mendengar tentang seni modern?” tanya sepupunya, “… Pemerintah Belanda mengirimkan kain baru ini, namanya batik, dari Pulau Jawa. Ya, jenis kain yang sangat diminati dewasa ini. Motif dan warnanya sudah dipakai di mana-mana, mulai dari desain interior, seprai, taplak meja. Di Belanda, para ibu rumah tangga katanya hanya membeli kopi arabika, yang juga berasal dari Jawa. Dan bahkan konon, komponis kita, Debussy, mengagumi musik orang Jawa dan mengakui secara terbuka bahwa dia memperoleh inspirasi darinya.”

Advertising
Advertising

Kekaguman akan eksotisme Pulau Jawa mengalahkan cerita horor tentang kanibal di Jawa. Emilie kian mantap pergi ke sana, mendampingi suaminya, Lucien Bernieres, yang mendapat jabatan di Departemen Dalam Negeri dan Keamanan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Pulau Jawa.

Saat kisah Emilie berlangsung, kolonialisme memuncak. Sesuai kesepakatan Kongres Berlin 1895, bangsa-bangsa Eropa membagi wilayah-wilayah seberang yang masih “bebas”. Pergolakan berkobar di mana-mana. Di Nusantara, Belanda tengah berusaha keras mematahkan perlawanan Aceh dan menyiapkan serangan ke Bali.

Di negeri para penjajah, kolonialisme bukanlah tanpa perdebatan di kalangan politikus, cendekiawan, serikat buruh, dan pemilik modal. Sebagian sepakat kolonialisme, dengan mengatasnamakan kejayaan bangsa, kepentingan ekonomi negara, atau hasrat avonturir. Tapi, pada zaman dan di lingkungan asal Emilie, yang mengemuka justru mereka yang mendukung ekspansi kolonial atas nama panggilan sejarah: The White Man’s Burden atau upaya mengadabkan bangsa-bangsa terbelakang.

Emilie dibesarkan dan dididik oleh ayahnya, seorang saudagar kaya, berhaluan politik Republikan-Radikal, pengagum aliran positivis August Comte, dan memihak pada pandangan universalisme. Dia meyakini bahwa melalui kolonialisme, humanisme akan terwujud di belahan negeri manapun. Emilie mewarisi prinsip universalisme itu dan ingin membawa misi itu ke negeri jauh. Tapi selama perjalanan, dan begitu sampai di Jawa, dia menemukan sisi lain dari kolonialisme. Dan pergulatan itu merupakan tema utama novel ini.

Penulisnya, Catherine van Moppes, adalah seorang wartawan dan penulis asal Prancis. Dia lahir dari seorang ibu Rusia dan ayah Belanda asli Portugis. Dia menikah dengan Marc Menguy, pensiunan diplomat Prancis. Selama 30 tahun terakhir dia malang melintang di negara-negara Asia: China, Indonesia, Laos, Singapura, dan Vietnam sebagai reporter lepas untuk majalah Elle, Marie Claire, Realities, dan France Soir. Dia juga membuat dokumenter TV, foto, dan laporan mengenai keseharian dan revolusi kebudayaan di China serta Vietnam dan Laos pascaperang. Dunia film tak asing baginya. Di masa mudanya dia sempat berkutat di Cinematheque Francaise, berkenalan dengan Orson Welles, Bunuel, dan Kurosawa.

Isu-isu gender dan perbedaan budaya menjadi perhatian utamanya. Novel pertamanya, Drole d’Amerique, berkisah tentang gadis Prancis di Amerika yang menggelandang menyaksikan kekerasan terhadap para penentang Perang Vietnam. Sementara dalam novel ini, Moppes menghadirkan kontradiksi-kontradiksi atas pandangan yang membenarkan kolonialisme.

Di akhir cerita, Emilia akhirnya menyadari bahwa universalisme Eropa pada galibnya hanya selubung bagi penindasan kolonial. Pemahaman itu dia peroleh dalam perjalanan dan setelah sampai di Jawa.

Semasa tinggal di Belanda, dia bersentuhan dengan kaum Hindia Belanda dan mulai memahami paradoks zamannya. Di Singapura, dia diselamatkan dari preman jalanan oleh tokoh China Baba, yang menyadarkannya akan muslihat Inggris di kota itu. Setiba di Batavia, ketika Jawa mulai bergolak dan Politik Etis merebak, dia tak segan-segan bergaul dengan siapa saja: orang Indo, China, pribumi, bahkan aktivis perjuangan. Dia juga mengenal gagasan Multatuli dan Raden Ajeng Kartini. Semakin banyak bergaul, dia semakin menyadari kontradiksi dalam konsep universalisme anutan ayahnya, dan lantas berangsur-angsur tercerahkan.

Sebaliknya, Lucien kian menghayati perannya selaku pejabat kolonial. Dia semakin menerima wacana kolonialisme sebagai sarana mengadabkan bangsa-bangsa lain. Sadar berbeda keyakinan dengan suaminya, Emilie menjadikan seksualitas sebagai sarana pemberontakan politiknya. Seks, baginya, bukanlah petualangan hedonis, melainkan sarana eksplorasi jati diri. Dia mulai merasakan kehampaan dan teringat cinta masa remajanya bersama Sarah, pengasuh pribadinya dari Inggris. Dia juga mengkhianati Lucien dan menjalin hubungan dengan seorang seniman aktivis dari Solor, Anendo, yang membawanya ke puncak kesadaran politiknya.

Perlahan tanah jajahan bukan lagi tanah yang dijanjikan sebagaimana Emilie ketahui di masa remajanya, melainkan tanah perjuangan bagi humanisme yang sesungguhnya. Dan yang jelas di tanah perjuangan itu tak ada manusia yang memakan manusia.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky