Masuk Daftar
My Getplus

Dukun Beranak Ditelan Zaman

Kisah seorang dukun beranak yang hampir hilang ditelan zaman. Kini, dia harus bermitra dengan bidan.

Oleh: Nur Janti | 20 Okt 2017
Nek Ipat, seorang dukun beranak, sedang memijat bayi di rumahnya. Foto: Nur Janti/Historia.

NEK IPAT, panggilan sehari-hari Fatimah, baru saja pulang dari membantu orang bersalin. Di rumahnya, Bekasi, Jawa Barat, sudah menunggu para ibu yang ingin memijatkan bayinya. Sudah sekira 40 tahun Nek Ipat menjadi dukun beranak. Profesi ini sudah turun-temurun, ibu dan buyutnya dulu juga dukun beranak.

“Mama saya 100 tahun jadi dukun bayi. Umurnya sampai 150 tahun. Uyut saya juga dulunya dukun beranak,” kata Nek Ipat kepada Historia.

Sekira tahun 1960, Nek Ipat saat umur 20-an, magang pada ibunya untuk membantu orang melahirkan. Sebagai asisten ibunya, dia membantu keperluan dukun beranak seperti mengambilkan air, menyiapkan jamu, membantu memandikan bayi sambil diajari cara menangani orang melahirkan.

Advertising
Advertising

Setelah ibunya merasa Nek Ipat cukup siap menjadi dukun beranak, dia diharuskan puasa selama 120 hari. Dia menyebutnya tapa pati geni. Pada empat puluh hari pertama, dia hanya diperbolehkan makan dedaunan, empat puluh hari berikutnya hanya boleh makan ubi-ubian, dan empat puluh hari terakhir tidak boleh minum sama sekali. Puasa ini dilakukan menjelang bulan Maulid. Baru setelah berhasil menjalani puasa yang cukup berat ini, Nek Ipat dianggap lulus dan boleh menangani pasien sendiri.

Akhir tahun 1970-an, ketika umurnya 35 tahun, Nek Ipat mulai menjadi dukun beranak. Beragam proses kelahiran juga pernah dia jumpai, misalnya bayi lahir sungsang atau ari-ari tertinggal. Setelah menangani persalinan, Nek Ipat merawat ibu dan bayinya selama 15 hari. Dia membuat nangkring jala, jamu, dan peparem (ramuan untuk dibalurkan ke tubuh ibu yang baru melahirkan).

Nangkring jala buat jaga kalau lahir biar gampang. Sekarang sudah nggak bikin. Jamu juga kalau sekarang orang pada beli,” kata Nek Ipat.

Untuk mandi si ibu, Nek Ipat menyiapkan air mandi yang dicampur rebusan tanaman obat jeringau (dlingo) dan bengle. Dukun beranak juga bertugas memandikan si bayi sampai mencuci kotoran bekas melahirkan.

“Nenek pernah nanganin orang sampai ke Rawa Lumbu, Tambun, Tanjung Priok juga pernah tahun 80-an. Soal duit mau ada duitnya mau enggak, ditolong sama kita biar selamat dulu. Nanti kalau dia ada rejeki juga bakal ingat sama kita,” kata Nek Ipat.

Awal 1990-an Nek Ipat menerima pelatihan dari puskesmas Tambun, Bekasi. Dia diberi alkohol, gunting, sarung tangan, dan alat lain untuk membantu orang bersalin. Alat ini diberikan supaya para dukun beranak membantu persalinan dengan lebih steril.

“Dulu kita motong pusar pakai awi (bambu tajam). Obat pusar pakai abu sama asem. Pas ikut pelatihan ke Tambun dikasih gunting juga alkohol,” kata Nek Ipat.

Sri Suharyanti, bidan yang pernah bertugas di Puskesmas Kecamatan Makasar, Jakarta Timur pada 1980-an, menceritakan pelatihan yang pernah dia jalankan. Sasarannya, para dukun beranak yang ada di lingkungannya. Dinas Kesehatan memerintahkan para bidan dan staf puskesmas untuk melakukan penataran seminggu sekali kepada dukun beranak di lingkungannya.

“Seminggu sekali kita kasih penataran. Kita juga melihat lagi alat yang kita berikan. Kalau masih baru terus berarti nggak dipakai,” kata Sri yang memberikan pelatihan kepada tiga dukun beranak berusia di atas 50.

Pada 2008 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 828. Dalam keputusan tersebut memuat kemitraan bidan-dukun. Kemitraan bidan dan dukun menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan peran dukun dari penolong persalinan menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi pada aspek non-medis. Sejak aturan ini dikeluarkan, Nek Ipat tidak lagi menjadi dukun beranak yang menangani sendiri pasiennya.

Pernah suatu kali ada yang meminta Nek Ipat untuk membantu persalinan seorang diri tanpa dampingan bidan, namun dia menolak. “Soalnya kalau sekarang lahiran gua sendiri yang nanganin didenda 1,5 juta. Orang yang lahir sama gua aja ada yang ngasih ada yang enggak. Ikhlas saja. Ada malah setelah lahiran seharian belum makan, kan kasihan. Gua kasih makan, keluar deh duit dari dompet gua,” kata Nek Ipat.

Di umurnya yang sudah lanjut usia, teman-teman Nek Ipat sesama dukun beranak sudah jauh berkurang. Nek Ipat juga tidak memiliki penerus. Anak-anak dan cucunya tidak tertarik untuk meneruskan profesi keluarga mereka sebagai dukun beranak.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik ADARI Klaim Bung Karno Nabi