Masuk Daftar
My Getplus

Di Negeri Penjajah

Meski lahir dan tumbuh di negeri terjajah, dia tak mau cita-citanya terkubur begitu saja. Dia memilih bekerja untuk Jepang, negara yang menjajah negerinya. 

Oleh: Budi Setiyono | 03 Mei 2010
Hue Yong (Huyung) alias Hinatsu Eitaroo.

Jalan hidupnya memang unik sekaligus kontroversial. Namanya tercatat dalam sejarah tiga negara: Korea, Jepang, dan Indonesia; sebagai Hue Yong, Hinatsu Eitaroo, dan Huyung. Demi cita-citanya sebagai sutradara film, dia mengambil pilihan yang bisa membuatnya dicap sebagai seorang kolaborator, pembelot, pahlawan, atau semata orang yang naif dan pragmatis.

Hue Yong, nama aslinya, lahir di Hamgyong, Korea, pada 21 September 1908. Tak ada catatan tentang keluarga dan masa kecilnya. Ketika beranjak dewasa, dia ingin jadi sutradara, dan mewujudkannya jadi soal sulit jika dia tetap berada di tanah airnya. Sejak 1910, dua tahun setelah dia lahir, Korea menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang. Tak sedikit warga Korea yang bermigrasi ke Jepang. 

Hue Yong memutuskan pergi ke Jepang untuk belajar film. Usianya masih 17 tahun. Di Tokyo, dia bekerja dengan menggunakan nama Hinatsu Eitaroo di studio film Makino Shozo, bapak perfilman Jepang. Tapi masalah keuangan memaksa studio itu tutup pada 1931. Hinatsu lalu bekerja sebagai asisten sutradara di perusahaan film Shochiku. Pada periode ini pula Hinatsu bertemu lalu menikah dengan gadis Jepang, Hanako. 

Advertising
Advertising

Hanako lahir di Shimane, sebuah provinsi yang juga dikenal sebagai Kyoto-kecil. Ayahnya seorang pengusaha sukses yang terpandang di daerahnya. Wajahnya cantik. Hanako lulus dari sekolah khusus perempuan di Tokyo (Tokyo joshi gakko) pada 1934, lalu menjadi tokoh sweet girl di Morinaga yang melejitkan namanya. 

Baca juga: Huyung Guru Para Sineas Indonesia

Hinatsu sendiri lagi menanjak kariernya. Sebagai asisten sutradara yang menonjol, masa depannya cerah. Pada 1933, dia juga menghasilkan karya film musikal yang berjudul Nure Tsubame. Tapi sebuah peristiwa nyaris menenggelamkan kariernya. 

Suatu hari, di musim semi 1937, Hinatsu membuat adegan ledakan di depan istana Himeji untuk film panjang Summer Battle of Osaka (Osaka Natsu No Jin) yang disutradarai Teinosuke Kinugasa. Dia salah memperhitungkan jumlah bubuk mesiu. Dia terluka. Sebagian bangunan istana, yang dianggap warisan budaya nasional, rusak. Polisi menggiring Hinatsu ke kantor polisi dan menginterogasinya selama berjam-jam. Identitasnya sebagai orang Korea terbuka. Pekerjaannya hilang. Dia dinyatakan bertanggung jawab atas ledakan itu dan dihukum masa percobaan. 

Di Tokyo dia sempat bekerja di perusahaan Shinke Kinema, membantu beberapa produksi film, dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Waseda. Setelah itu dia pulang ke Korea untuk membuat sebuah drama berdasarkan kisah hidup Yi In-suk, seorang tentara sukarelawan Korea yang menjadi martir saat bertugas membela Kekaisaran Jepang. Dari sini saja orientasi hidupnya sudah mulai terbentuk, yang makin terlihat ketika dia membuat film (propaganda) Jepang.

Baca juga: Jagat Sinema Orde Lama

Di Korea, dia mendapat tawaran untuk membuat You and I (Kimi to boku). Film ini dirancang sebagai “Proyek Kerjasama Film untuk Unifikasi Ibu Pertiwi dan Korea” dengan bantuan Kantor Gubernur Jenderal Korea dan Seksi Informasi Balatentara Jepang. Tanabe Masatomo, kepala Divisi Edukasi Pemerintah Kolonial Korea sekaligus temannya, memperkenalkannya dengan sutradara film terkemuka Jepang, Tasaka Tomotaka. Sebelum produksi film dimulai, Tanasaka yang semula setuju menyutradarainya tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan pribadi. Akhirnya film itu dikerjakan oleh Hinatsu, sebagai penulis skenario maupun sutradara.

Syuting film dilakukan di Koryo Film Studio yang seadanya, menggunakan kamera lawas dan peralatan tata pencahayaan yang didapat dengan susah-payah dari tentara kolonial dan studio film lainnya. “Orang-orang di Ibu Pertiwi (Jepang) tak akan bisa membayangkan kondisi sederhana yang biasa dilakukan di sini untuk membuat film,” ujar Hinatsu seperti dikutip Peter B. High dalam The Imperial screen: Japanese film culture in the Fifteen years′ war, 1931-1945.

Film ini jadi awal keterlibatan Hinatsu dalam program kebijakan film Jepang menjelang Perang Pasifik. Dan tokoh dalam You and I, bernama Kaneko Eisuke, ibarat cerminan dirinya. Eisuke seorang sukarelawan di kamp pelatihan militer di dekat Keijo, Seoul. Eisuke memilih jadi sukarelawan karena, “Pada saat krisis seperti ini, tak adil meletakkan semua tanggung jawab di pundak saudara-saudara kita di Ibu Pertiwi. Kita, pemuda Peninsula, juga harus memikul senjata untuk mengabdi pada Kekaisaran.”

Baca juga: Jejak Film dalam Poster

Tapi motif Hinatsu mungkin tak semata pengabdian. Melihat cita-citanya, pilihan ini adalah jalan logis untuk meningkatkan karier. Selain itu, tulis Peter B. High, Hinatsu punya motif lain: "psikologi" penjajah –dalam satu periode hidupnya dia tampil sebagai ultranasionalis Jepang. Sementara Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan, lebih melihat Hae Young sebagai hasil dari kebijakan imperialisasi Jepang di Korea, sama seperti karakter Eisuke ciptaannya.

Baskett juga menulis, sumber-sumber (dokumen) Jepang dan Korea pascaperang memiliki pandangan berbeda tentang You and I. Sejarah film Jepang menyebut film itu meraih sukses besar, sementara sejarah film Korea menganggapnya sebagai propaganda buruk yang gagal. Namun kedua sumber tersebut setuju bahwa film itu jadi katalisator yang memotivasi Hinatsu untuk meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia.

Hinatsu meninggalkan Hanako, istrinya yang berusia 25 tahun dan telah memberinya dua anak. Anak laki-laki mereka meninggal di usia 10 tahun. Anak perempuan mereka, Moeko, sedang beranjak dewasa. Hanako melanjutkan hidup dengan bisnis rumah makan dan sukses. "Seniman itu dingin. Kamu nikah sama orang biasa saja ya!” Ya, ayah memang melakukan semuanya demi impiannya menjadi pembuat film," ujar Hanako kepada Moeko seperti terekam dalam www.k5.dion.ne.jp/~moeko/index.html.

Hinatsu tiba di Jawa pada musim semi 1942.

TAG

film sutradara

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer Senna Si Raja Lintasan Basah The Children’s Train dan Nasib Anak-anak Korban Perang di Italia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy