Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Panggung Sejarah Grammy Award

Trofi gramofon berlapis emas jadi simbol Grammy Award sebagai apresiasi tertinggi musik dunia. Sejak lama sarat kontroversi.

Oleh: Randy Wirayudha | 22 Mar 2021
Beyoncé Giselle Knowles mengukir sejarah dengan menjadi musisi perempuan dengan penghargaan Grammy Award terbanyak. (grammy.com).

SUDAH sepekan berlalu sejak perhelatan Grammy Award ke-63 pada 14 Maret 2021 di Los Angeles Convention Center. Tak hanya menghadirkan sejarah baru, penghargaan musik paling sohor itu masih menyisakan kontroversi.

Biduan Queen Bey alias Beyoncé Knowles yang mendapat sembilan nominasi, pulang dengan memenangkan empat penghargaan. Keempatnya di kategori Best R&B Performance untuk single “Black Parade”, kategori Best Music Video untuk tembang “Brown Skin Girl”, serta kategori Best Rap Performance dan Best Rap Song untuk lagu “Savage”.

Tambahan itu membuat Beyoncé punya koleksi 28 Grammy sejak awal berkarier, termasuk tiga di antaranya saat masih tampil sebagai trio di grup Destiny’s Child. Capaian tersebut membuatnya jadi musisi perempuan dengan koleksi penghargaan terbanyak dalam sejarah Grammy. Ia juga menyamai prestasi Quincy Jones dengan total penghargaan yang sama, serta hanya selisih tiga penghargaan dari komposer legendaris Georg Solti yang masih sebagai pemilik Grammy terbanyak (31 penghargaan).

Advertising
Advertising

“Sebagai seniman, saya percaya bahwa adalah tugas kita semua untuk bercermin pada perjalanan waktu dan belakangan ini masa itu adalah masa yang sulit. Seumur hidup saya sudah bekerja keras…(masa ini) sungguh merupakan malam yang magis,” ungkap Beyoncé, dikutip Richmond Free Press, 18 Maret 2021.

Mula Grammy Award

Anugerah musik beragam genre selevel Piala Oscar di bidang perfilman itu bermula dari sebuah gagasan yang tidak disengaja. Henry Schipper dalam Broken Record: The Inside Story of the Grammy Award menyingkap, kelahiran Grammy Award tak terlepas dari proyek legendaris Walk of Fame yang akan dibuat di Hollywood Boulevard, California, Amerika Serikat pada pertengahan 1950-an.

“Cerita tentang Grammy dimulai pada 1955 ketika sebuah komite kecantikan (dari Kamar Dagang Hollywood, red.) meminta para eksekutif dari lima perusahaan rekaman besar untuk menentukan siapa yang pantas atau tidak untuk mendapatkan sebuah bintang di Hollywood Walk of Fame,” tulis Schipper.

Baca juga: Karpet Merah Piala Oscar dalam Sejarah

Walk of Fame yang diinisiasi E.M. Stuart, petinggi Kamar Dagang Hollywood, ingin mempopulerkan Hollywood sebagai kawah candradimuka dunia hiburan dengan mengapresiasi para seniman (perfilman, pertelevisian, musik, dan radio) yang namanya diabadikan dengan simbol bintang perunggu.

Khusus untuk bidang musik, lanjut Schipper, Kamar Dagang Hollywood mempercayakan seleksi itu kepada para bos di lima perusahaan rekaman: Axel Stordahl, Paul Weston dan Doris Day (Columbia Records); Dennis Farnon (RCA Records); Sonny dan Milt Gabler (Decca Records); Lloyd Dunn dan Richard Jones (Capitol Records); dan Jesse Kaye (MGM Records). Kelimanya disertakan Kamar Dagang Hollywood dalam sebuah komite musik.

Trofi-trofi penghargaan Grammy Award. (grammy.com).

Komite tersebut pada 1957 bertransformasi menjadi National Academy of Recording Arts and Sciences (kini The Recording Academy). Dalam pertemuan dan tukar pikiran para petinggi lima perusahaan rekaman itu, muncul ide untuk mengadakan anugerah untuk para seniman musik sebagaimana Academy Awards atau Piala Oscar untuk seniman film dan Emmy Awards di industri televisi.

Weston dkk. Lalu membentuk komite-komite di dalam The Recording Academy di berbagai kota selain Los Angeles. Di antaranya di New York, Chicago, dan Memphis. Komite diisi para musisi macam Frank Sinatra, Bing Crosby, dan Nat King Cole.

Baca juga: Jejak-jejak Peranakan dalam Alunan Sejarah Jazz

Ide itu kemudian diejawantahkan dengan proses seleksi nominasi pada 1958. Malam puncaknya digelar pada 1959 dengan disponsori kelima perusahaan rekaman di atas.

Trofinya yang desain dan namanya sudah dipikirkan sejak 1957, kemudian disepakati berupa bentuk gramofon berlapis emas. Gramofon dianggap jadi penemuan paling berpengaruh dalam industri musik. Trofi Grammy yang didesain tim The Recording Academy dibuat berdimensi 18,5 x 8 cm dan pengerjaannya dilakukan di Billing Artworks di Ridgway, Colorado.

“Kami sedang membuat trofinya dan sebuah komite penghargaan juga sedang memikirkan namanya,” ungkap Weston kepada suratkabar The Deseret News edisi 9 Agustus 1957.

Inagurasi Grammy Award pertama di Hotel Hilton, Beverly Hills, California pada 1959. (grammy.com).

Komite itu, sambung suratkabar tersebut, juga sempat berdiskusi alot soal penamaan penghargaannya. Beberapa anggota sempat mengusulkan nama “Eddie Award” yang mengacu pada nama Thomas Alva Edison, penemu gramofon pada 1877. Namun akhirnya disepakati anugerah itu dinamai “Grammy” sebagai kependekan sebutan gramofon.

Trofi akan diperebutkan dalam inagurasi Grammy Award pertama yang digelar pada 4 Mei 1959 di dua tempat sekaligus: pesisir barat di Hotel Hilton di Beverly Hills, California dan pesisir timur di Hotel Sheraton Park, New York. Tak hanya di-cover media cetak dan radio, inagurasinya juga direkam kamera televisi NBC walau belum disiarkan langsung. Siaran live baru dilakukan di puncak penganugerahan Grammy Award ke-13 (1971).

Baca juga: Balada Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody

“Gelaran pertamanya menampilkan nominasi-nominasi yang dipilih oleh anggota-anggota (komite) dengan bantuan perusahaan-perusahaan rekaman. Terdapat 28 kategori, dimulai dari kategori rekaman, album, lagu, sampai rekaman anak-anak, penampilan klasik, dan sampul album terbaik,” demikian dilaporkan suratkabar Ocala StarBanner, 8 April 1959.

Dari sejumlah seniman musik yang mendapat penghargaannya, biduan Ella Fitzgerald, Count Basie, Domenico Modugno, Ross Bagdasarian, dan Henry Mancini langsung menorehkan sejarah dengan masing-masing memenangi dua penghargaan. Dari masa ke masa, Grammy Award pun selalu menambah kategorinya. Dari 28 kategori pada hajatan pertamanya (1959), Grammy ke-63 tahun ini sudah memiliki 83 kategori.

Sarat Kontroversi

Dari tahun ke tahun, Grammy meninggalkan sejumlah kontroversi. Salah satunya gelaran itu masih belum “bersahabat” dengan karya-karya musisi Asia. Salah satu contohnya, pengalaman boyband Korea Selatan (K-Pop) BTS. Single mereka, “Dynamite”, masuk nominasi Best Pop Duo/Group Performance, namun dikalahkan duet Lady Gaga dan Ariana Grande dengan tembang “Rain on Me”.

Jutaan BTS Army (sebutan fans fanatik BTS) pun mencak-mencak. Mereka  melantangkan sindiran “Scrammy” di beragam media sosial. Mereka tak terima “Dynamite” bisa kalah kendati merajai top chart di mana-mana, termasuk mendapat lebih dari 945 juta viewers di Youtube sejak dirilis 21 Agustus 2020. Alhasil BTS  gagal mencetak sejarah sebagai musisi Asia pertama yang memenangi Grammy.

“Kami yakin Army merasakan emosi yang sama, jadi kami akan kembali dengan karya yang lebih hebat, penampilan yang bagus, dan bahkan musik yang lebih baik. Jadi kami akan lebih bekerja keras tahun ini dan kami akan kembali dengan musik dan penampilan lebih bagus yang bisa kalian semua nantikan,” kata BTS, dilansir Esquire, 15 Maret 2021.

Baca juga: Alunan Sejarah K-Pop

Boyband K-Pop, BTS yang gagal menang meski nyaris punya satu miliar viewers di Youtube. (grammy.com).

Musikus Zayn Malik ikut mengkritik Grammy di akun Twitter-nya, @zaynmalik, pada 15 Maret 2021. Menurutnya, problem transparansi yang sama masih terjadi dari masa ke masa dan terjadi pada sejumlah musisi lain, tak hanya BTS.

“@recordingacad melangkah hanya satu inci ke depan sementara kami butuh mereka melangkah dalam ukuran mil. Saya terus mendesak dan memperjuangkan transparansi dan inklusi. Kita harus pastikan bahwa kita dihormati dan merayakan kreativitas secara keseluruhan. Akhiri komite rahasia. Sampai semua itu dilakukan…#fuckthegrammys,” cuit Zayn.

Kontroversi Grammy sejatinya sudah muncul sejak Grammy Award pertama. Kontroversi itu meliputi soal rasisme hingga transparansi dalam sistem voting oleh 12 ribu anggota untuk menentukan nominasi, dan kemudian pemilihan pemenang oleh komite kecil yang disebutkan Zayn Malik sebagai “komite rahasia”.

Baca juga: Demam Drama Korea Lintas Zaman

Soal diskriminasi rasialisme, disuarakan para musisi kulit hitam. Mereka menyoroti fakta bahwa sejak 1959 hingga 2017 hanya ada 10 musisi kulit hitam yang memenangi Grammy Award untuk kategori album terbaik. Kasus paling kentara adalah tidak masuknya album Michael Jackson bertajuk Off the Wall (1979) dan album Prince bertajuk 1999 (1982) di nominasi kategori album terbaik. Kedua album tersebut sekadar masuk  Grammy Award Hall of Fame pada 2008. Khusus album Michael Jackson, masih relevan lantaran jadi inspirasi para musisi kekinian seperti Justin Bieber, The Weeknd, hingga Beyoncé.

“Album (Off the Wall) menahbiskan dirinya sebagai musisi dengan talenta luar biasa dan layak mendapatkan bintang paling bersinar untuk disematkan pada dirinya sendiri. Itu adalah album visioner, sebuah rekaman yang menemukan cara menembus batas (genre) disko dan membuka pintu lebar ke dunia baru di mana beat-nya tak terbantahkan lagi,” tutur kritikus Stephen Thomas Erlewine yang dikutip Jean-Pierre Hombach dalam Michael Jackson King Of Pop.

Album Off the Wall karya Michael Jackson (kiri) dan 1999 yang dirilis Prince. (Epic Records/Warner Bros).

Selain rasialisme, diskriminasi terhadap musisi perempuan juga masih jadi kanker di internal The Recording Academy. Paling mencolok adalah catatan sepanjang 2013-2018, di mana dari 899 nominasi, hanya 10 persen diisi musisi perempuan. Bukannya memaparkan alasan logis, Presiden The Recording Academy Neil Portnow malah balik menyindir para musisi perempuan.

“Perempuan yang punya kreativitas, yang ingin jadi musisi, teknisi, produser dan ingin jadi bagian dalam industri (musik) di level eksekutif (mereka) harus melangkah ke depan karena saya pikir mereka akan diterima,” ujarnya, disitat Vulture, 29 Januari 2018.

Baca juga: Freddie Mercury yang Tiada Dua

Portnow pun kebanjiran kritik akibat komentarnya itu hingga mengundurkan diri pada Agustus 2019. Untuk meredam kritik itu, The Recording Academy mengangkat presiden pengganti dari kalangan perempuan, Deborah Dugan. Namun, Deborah hanya bertahan selama enam bulan lantaran jelang gelaran Grammy Award ke-62, 16 Januari 2020, ia dinonaktifkan dan resmi dipecat pada 2 Maret.

Kasus itu terjadi tak hanya gegara Deborah melaporkan (dugaan) pelecehan seksual terhadapnya oleh seorang penasihat umum senior di The Academy Award bernama Joel Katz. Tetapi juga klaim bahwa sistem voting untuk nominasi dan pemenang pada Grammy Award ke-61 (2019) adalah hasil yang korup dan sarat kepentingan.

“Sistem (voting) harus transparan dan bahwa memang ada beberapa kejadian konflik kepentingan yang menodai hasilnya. Lebih parah lagi, dewan (komite voting) mengizinkan penambahan nominasi musisi yang bahkan tak masuk dalam daftar 20 (yang diseleksi anggota) organisasi. Biasanya, para anggota dari 12 dewan dan komite rahasia memilih musisi yang punya hubungan bisnis atau pribadi dengan mereka. Tahun ini, 30 musisi yang sebelumnya tak dipilih (anggota) justru ditambahkan oleh komite ke daftar nominasi,” kata Deborah kepada Good Moring America, 23 Januari 2020.

TAG

musik

ARTIKEL TERKAIT

Eric Carmen dan "All By Myself" Komponis dari Betawi God Bless di Mata Roy Jeconiah Ray "The Doors" Prajurit Rock n’Roll Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina Alkisah Bing Slamet Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Orba Benci Musik Cengeng Anak Presiden Main Band