Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Lagu-lagu Ben

Semula Ben membawakan lagu-lagu pop Barat, larangan lagu ngak-ngik-ngok oleh Presiden Sukarno bikin dia banting setir.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Jul 2010

Banyak pemusik dan penyanyi memutar haluan ke lagu pop Indonesia. Sebagian lagi ”lari” ke keroncong. Pada masa pendudukan fasis Jepang (1942-1945), dilarang keras segala bentuk lagu yang beraroma Barat. Sehingga musik keroncong mengalami masa jayanya, meskipun hanya seumur jagung.

Tapi Ben ”menjejak bumi”, dia membawakan lagu irama Betawi (gambang kromong). Suatu langkah yang penuh tantangan, karena dicibir banyak orang. Ben tetap di wilayah ”musik kampungan” itu. Malah kemudian menciptakan lagu Gambang Kromong yang modern, diiringi musik tradisi yang diperkuat organ, trompet, gitar listrik, dan lain-lain. Lagu Gambang Kromong modern ala Ben tidak hanya disukai warga Betawi, tapi juga masyarakat luas.

“Ledakan” pertama terjadi lewat Si Jampang (1969), disusul oleh Kompor Mleduk (1970), Ondel-ondel (1971), dan lain-lain. Padahal, di awal 1960-an malah muncul pembawa lagu Betawi ala Gambang Kromong, Lilis Suryani yang berduet dengan Suhairi Mufti. Mereka diminati publik berkat lagu Sayur Asem, Hujan Gerimis, dan lain-lain. Tapi Ben berhasil ”menyalip” melalui Tukang Kredit (1970) dan lagu-lagunya yang lain.

Advertising
Advertising

Dalam bernyanyi, Ben membawakannya dengan ala lenong yang memberi kebebasan sepenuhnya untuk nyelonong dan nyeletuk, sehingga candaan lisan keluar dengan spontan. Walaupun terkadang terdengar kampungan, kasar, nakal, dan ceriwis, namun di sisi lain juga cerdik. Ucapan yang terdengar kasar tapi mengena, tetap memberikan kesan lucu dan tidak diucapkan dengan niat yang jahat.

Para penonton lenong tahu kalau semuanya hanya permainan dan buat ditertawakan. Humor yang dibawakan Ben adalah humor khas Betawi yang sampai sekarang pun masih terus lestasi. Sementara itu, menjadi lebih berwarna karena dikombinasikan dengan unsur-unsur musik lainnya.

”Ciri-ciri lagu Betawi adalah sengga’annya. Dalam sengga’an itulah terletak kelucuan Bens,” kata SM. Ardan, tokoh kesenian Betawi yang pernah menjabat sebagai Kepala Sinematek Indonesia, sebagaimana yang ditulis Wahyuni dalam karangannya Kompor Mleduk Bensyamin S: Perjalanan Karya Legenda Seni Pop Indonesia.

Lagu-lagu Ben akan terdengar datar bila tidak diselingi dengan omong-omong yang kadang menggerundel dan ngaco. Misalnya, perdebatan antara bapak dan anak dalam lagu Kawin Paksa, dimana Ben jadi bapak dan Rossy jadi si anak. Yang disisipi dengan kata-kata kesal.

Dikit-dikit cinte, dikit-dikit cinte!
Lu boleh gegares tuh cinte! atau
Sekarang pinter ngebalikin, ye?!
Entar gue geprak ame sapu lu!

Sebagian besar lagu-lagu Ben umumnya menertawakan kesialan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang sepele. Misalnya dalam lagu Takut. Ceritanya Ben berpapasan dengan kuntilanak yang keras kepala. Atau peristiwa-peritiwa lucu yang melibatkan nasib sial orang lain, seperti dalam lagu Ondel-ondel, yang menceritakan suasana menonton ondel-ondel. Ketika salah seorang penonton iseng menaruh puntung rokok di atas kepala anak yang main:

Tangan iseng jailin
Kepale anak ondel-ondel
Ditaroin puntungan
Rambut kebakaran
Anak ondel-ondel jejingkrakan
Kraaak kepalenye, nyale bekobaran, wuur
Nyang ngarak pade kebingungan, nguung
Disiramin air comberan, byuuur!

(horeee...horeee...kocak...palanye licin horeee!!!)

Mirip dengan lagu Ondel-ondel adalah Main Panjat-Panjatan. Lagu ini menceritakan panjat pinang, atraksi yang masih sering diadakan dalam peringatan 17 Agustus, dimana orang-orang bertanding memanjat batang pinang yang tinggi dan licin untuk merebut hadiah yang diikatkan di puncaknya. Kali ini ceritanya berputar pada nasib sial si Mamat, anak yang sudah berhasil ke puncak, berhasil merebut kain yang tergantung di atas, tapi:

Kegirangan sampe lupe
Lepas tangan due-duenye
Tangan singkel pate tige

Lirik lagu yang bercerita tentang segala sesuatu yang khas Jakarta itu pun dapat didengar dalam lagu Digusur, yang terkadang membuat tersenyum Ali Sadikin, Gubernur Jakarta kala itu. Dalam lagu ini, Ben menceritakan nasib orang yang tergusur oleh proyek-proyek jalan raya DKI Jakarta. Lirik semacam ini sangat mengena di hati masyarakat ibukota. Di lagu yang lain, Ben bertutur tentang motor butut dalam lagu Asal Mogok Genjot, atau tentang kebakaran dalam lagu Kompor Mleduk.

Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Rumah saya kebakaran...nak...
Gara-gara kompor mleduk
Ane jadi kebingungan
Wara wiri keserimpet
Rumah saya kebanjiran...nak...
Gara-gara got mampet
Ati-ati kompor mleduk
Ati ane jadi dag dig dug
Ayo-ayo bersihin got
Jangan pada kalang kabut
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Galunggung juga meleduk
Gara-gara lagi batuk

Cerita lain yang tidak kalah serunya adalah lagu Nangke Blande. Lirik lagunya begitu sarkastis, tapi menggelitik. Kenapa lagu Nangke Belande tercipta? Bagaimana perasaan janda-janda mendengarnya?

Nangke blande dienjot-enjot jande
Jande ga laku ketiban nangke Blande
Yang mane jande yang mane ikan pede
Gue perhatiin due-duenye same

Pada tahun 1975, Ben mendapat protes keras pemirsa karena menyanyikan lagu ini di sebuah stasiun televisi. Protes itu dikirim seseorang bernama Soeseno ke surat pembaca Kompas.

Ben kemudian meminta maaf sekaligus menjelaskan bahwa lagu Nangke Blande aslinya terdapat di dalam film “Ratu Amplop”, yang ketika itu belum beredar. Lagu Nangke Blande muncul dalam film itu untuk menyerang seorang tokoh janda yang doyan menghina orang.

Dari cerita beberapa lagu Ben di atas, telihat bahwa setiap lagu yang tercipta memiliki makna yang dibalut canda tawa. Karena itu, Ben melegenda.

TAG

bang ben

ARTIKEL TERKAIT

Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Riwayat Jackson Record Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself"