ORANG Belanda yang tinggal dan bekerja di Hindia memiliki cara tersendiri untuk memamerkan kekayaannya. Selain dari besarnya tanah dan megahnya rumah, jumlah budak juga menjadi parameter kekuatan ekonomi mereka. Semakin banyak budak, maka status yang dimilikinya pun dianggap tinggi. Hal itulah yang membuat perdagangan budak di kota-kota besar masih sering dijumpai hingga abad ke-18.
Sebagian dari orang-orang Belanda itu ternyata sudah begitu tergantung dengan keberadaan para budak. Ketika mereka kembali ke negeri Belanda kebiasaan tersebut tidak begitu saja bisa dihilangkan. Sehingga banyak dari mereka yang membawa serta budak peliharaannya. Ada yang hanya membawa satu, namun tidak sedikit yang membawa lebih.
Namun kehadiran para budak dari Hindia itu tidak diterima oleh pemerintah dan masyarakat Belanda. Dalam tulisannya, “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Para Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, C. van Dijk menyebut banyak budak yang ditinggalkan begitu saja oleh majikannya setelah tinggal sebentar di Belanda.
Baca juga: Batavia Kota Budak
“Dalam banyak hal, Belanda telah terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada, yang dulunya telah dilakukan oleh kaum bangsawan dan orang Portugis. Tidak hanya dalam penggunaan budak dalam kehidupan kota, tetapi juga dalam hal perdagangan budak,” tulis Anwar Thosibo dalam Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan abad XIX.
Kelakuan para pedagang itulah yang membuat pemerintah Belanda jengkel. Mereka pun akhirnya enggan memberi izin para pedagang dari Hindia untuk membawa dan memelihara budak di negerinya.
Peraturan Pada Budak
Pada September 1636, pejabat VOC mengeluarkan peraturan yang melarang para pedagang membawa budak dari Hindia. Jika melanggar, budak-budak itu akan disita untuk kemudian dipulangkan ke tanah airnya.
“Jumlah budak itu agaknya tidak banyak, tapi cukup menimbulkan kesulitan bagi VOC di Negeri Belanda, terutama ketika VOC terancam harus menanggung perawatan budak-budak yang ditinggalkan oleh pemiliknya,” terang van Dijk.
Peraturan itu ternyata tidak mampu mengikat orang-orang Belanda untuk tidak membawa budak dari Hindia. Mereka bahkan melayangkan protes. Akhirnya VOC mengganti peraturannya menjadi pembatasan jumlah budak yang bisa dibawa. Para pelanggarnya pun tidak hanya dihukum penyitaan tetapi pemotongan gaji selama tiga bulan.
Baca juga: Seorang Raja di Sulawesi Selatan Menentang Perbudakan
Meski peraturan telah diubah dan hukumannya diperberat, pelanggaran terus saja terjadi. Agaknya para pedagang itu lebih melihat keuntungan dari penyelundupan budak-budak ini ketimbang beratnya hukuman yang akan mereka terima.
“Orang yang mengetahui terjadinya pelanggaran, tetapi tidak melaporkannya juga diancam hukuman,” ucap van Dijk.
Pemerintah pun terus berusaha menghentikan gelombang kedatangan para budak ini. Sejak 1644 sampai 1657 peraturan demi peraturan silih berganti diterapkan, dengan hukuman yang terus diperberat. Tahun 1657, hukuman yang diterima para penyelundup adalah denda uang sebanyak 1.000 gulden. Sementara jika yang melakukan pelanggaran itu pegawai VOC maka mereka tidak akan mendapatkan kompensasi uang perjalanan ke Hindia, yang saat itu bisa menghabiskan ribuan gulden.
Disertasi berjudul The Personnel of the Dutch East India Company in Asia in the Eighteenth Century karya Frank Lequin, menyebut jika kegiatan membawa budak ke Negeri Belanda bukanlah sebuah hal baru, tetapi telah menjadi kebiasaan yang aneh.
Lebih lanjut Lequin menerangkan, dari sekian banyak budak Hindia yang tinggal di Belanda, umumnya meminta untuk dikembalikan ke tanah airnya. “Setiap hari pejabat VOC menerima banyak kunjungan. Mereka sangat direpotkan dengan permintaan budak laki-laki dan perempuan yang minta dipulangkan”.
Baca juga: Perbudakan di Nusantara
Tetapi tidak banyak permintaan yang dikabulkan, namun bukan berarti ditolak. Pejabat VOC memperhitungkan kemungkinan terburuk jika para budak terus tinggal di Belanda, namun mereka juga enggan kalau harus mengeluarkan uang untuk para budak yang mereka pandang rendah itu.
Akhirnya dibuatlah sebuah peraturan yang tidak membebankan pemerintah pada 1657. Jika orang Belanda di Hindia ingin membawa budak, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang ketika masih berada di Batavia. Uang itu nantinya akan disimpan oleh pemerintah Belanda, dan digunakan saat para budak meminta pulang atau dipulangkan oleh majikannya.
Pada 1700, VOC menetapkan jumlah budak yang boleh dibawa, yakni 2 orang. Sementara untuk uang perjalanan pulang masih dalam aturan sama, harus dibayar sebelum sampai di Negeri Belanda. Pada 1743, peraturannya sedikit diubah. Jumlah maksimal budak yang boleh dibawa disesuaikan dengan kedudukannya. Misal pejabat tinggi VOC boleh membawa maksimal 5 orang. Sedangkan pejabat rendah hanya boleh 2 orang saja.
Kondisi Para Budak
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana para budak diperlakukan oleh majikannya. Namun dari begitu banyaknya budak yang meminta pulang, pejabat VOC menduga mereka tidak mendapat penghidupan yang layak dari tuannya. Walau begitu tidak semua budak mengalami pengalaman yang sama.
Seperti Eva misalnya, budak perempuan yang dahulu dibeli oleh pejabat Belanda, Catharina Vonck. Sebelum sang majikan meninggal dunia, Eva diberi warisan berupa uang sebesar 600 gulden untuk biaya hidup dan pulang ke negaranya. Bahkan tidak hanya Eva, putranya pun mendapat 300 gulden dari Catharina.
Baca juga: Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia
“Sesudah dibebaskan, kadang-kadang budak terabaikan. Tapi kadang-kadang pula bekas pemilik budak mengambil langkah-langkah agar budak yang sudah dibebaskan itu tetap terjamin secara material,” tulis van Dijk.
Para budak yang sudah dibeli akan diberi nama baru oleh majikannya. Karena tidak ingin bersusah-susah, biasanya mereka dinamai sesuai dengan tempat kelahiran atau tempat mereka dibeli. Seperti “Eva van de Coromandel”, berarti seorang budak bernama Eva yang dibeli di Koromandel. Namun ada juga yang hanya terdiri dari satu kata, misal “Coridon”, “Claes”, dan “Aaltje”.
“Dalam perdagangan tampaknya budak Hindia dianggap sebagai benda mati yang disamakan dengan barang seperti mebel dan rumah,” kata van Dijk.