BENDA melingkar berbahan kuningan itu terukir dengan beberapa hiasan. Salah satunya menggambarkan sebuah crest atau lambang keluarga ternama Belanda. Rijksmuseum Belanda, yang mendapatkan benda itu pada 1881, mencatatnya sebagai kalung anjing meski ironisnya, acapkali dikenakan pelayan berkulit hitam di Belanda pada abad ke-17 yang datang sebagai budak.
Valika Smeulders dan Lisa Lambrechts dalam “Paulus: A ‘Moor’ in the Dutch Republic” yang termaktub di buku katalog Slavernij: Het verhaal van João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Tula, Dirk, Lohkay, mengidentifikasi guratan ukiran di kalung anjing itu. Crest-nya terlacak sebagai lambang keluarga Van Bieren, sementara inisial “B” dan “S” di sekitar tulisan “Het wapen van Nassov” menandakan kalung anjing itu berasal dari kediaman Anna Isabella van Bieren van Schagen, istri dari bangsawan Maurits Lodewijk I van Nassau-LaLecq.
“Di Belanda sendiri perbudakan tidaklah eksis walau hal itu tak mencegah orang Belanda manapun membeli (budak) dari luar Belanda dan mereka bawa kembali. Bicara hukum, setiap budak menjadi orang merdeka ketika menginjakkan kaki di Belanda namun masih jadi pertanyaan apakah mereka tetap diperlakukan sebagai budak,” tulis Smeulders dan Lambrechts.
Salah satu budak di Belanda adalah Paulus Maurus. Ia tercatat menjadi pelayan domestik paling disayang di kediaman keluarga tempat kalung anjing di atas berasal. Kisahnya beserta dokumentasi kalung anjing itu turut diselipkan di pameran bertajuk “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery” yang dihelat di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, 27 Februari-30 Maret 2023.
Baca juga: Untung Surapati Kunjungi New York
Budak Pelayan Lambang Status Sosial
Bila di masa sekarang status sosial seorang nyonya diukur dari banyaknya perhiasan busana, tas, ataupun sepatu kelas high-end, pada abad ke-17, utamanya di Belanda, tolok ukur utamanya adalah kepemilikan pelayan kulit hitam. Seperti Anna Isabella van Bieren-Schagen, yang memiliki Paulus dan banyak budak lain sebagai pelayan domestiknya.
Di sisi lain, sebagaimana umumnya budak, riwayat Paulus tak terlacak. Dari mana ia berasal, bagaimana kisahnya sampai ia jadi budak dan kemudian jadi “orang bebas” yang dipekerjakan di kediaman pasutri Anna Isabella-Maurits, semua tak diketahui. Hanya sedikit latar belakangnya yang bisa digali, yakni dari penyebutan nama belakangnya: Maurus.
Yang jelas, lanjut Smeulders and Lambrechts, nama itu mustahil berasal dari orangtua kandungnya. Nama Maurus, ungkap Smeulders dan Lambrechts, kemungkinan besar merujuk pada lema “Moor” yang acap jadi penyebutan orang Belanda kepada kalangan kulit berwarna atau non-Eropa.
“Penyebutan ‘Moor of’ di periode kolonial merujuk pada profesi (pelayan) di sebuah keluarga bangsawan. Dengan menyebutnya sebagai ‘Moor of’, Paulus Maurus dianggap sebagai (pelayan) milik istri Nassau LaLecq sebagai pembeda dari para pelayan lainnya,” imbuh Smeulders dan Lambrechts.
Baca juga: Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan
Untuk lebih membedakannya dari para pelayan asal bangsawan lain, namanya “berevolusi” menjadi Maurus, yang dimiripkan dengan nama tuannya: Maurits. Sedangkan nama depannya, Paulus, didapat ketika ia tercatat dibaptis di kantor urusan agama Den Haag pada 1674.
“Kita hanya bisa menerka kenapa budak muda ini alih-alih dipekerjakan di perkebunan, justru dipilih jadi pelayan di rumah orang Belanda. Kemungkinan karena kombinasi beberapa faktor, di antaranya usia, penampilan yang menarik, dan tingkat kecerdasan. Dan dengan memiliki Paulus Maurus di kediamannya, keluarga Nassau LaLecq memperlihatkan kepada dunia luar bahwa mereka merupakan keluarga yang kaya dan berorientasi kelas internasional,” lanjutnya.
Selain dibaptis untuk memeluk agama yang sama dengan majikannya, Paulus juga diberi pendidikan dasar dan pengetahuan umum. Semua itu membuatnya jadi simbol status keluarga Nassau LaLecq yang eksotis dan kadang berpengaruh dalam peningkatan level sosial si majikan dalam pergaulannya di circle elite.
Baca juga: Van Bengalen, Potret Para Budak dari Teluk Benggala
Dalam catatannya di Bulletin van het Rijksmuseum edisi ke-42 tahun 1994, “Een bezichtiging van het poppenhuis van Patronella Brandt-Oortman in de zomer van 1718”, Johannes Rein ter Molen menggambarkan bagaimana pelayan kulit hitam seringkali dijadikan “dekorasi” di kediaman seorang majikan. Ter Molen mendeskripsikannya dari beberapa lukisan karya Jacob Appel tahun 1710 yang melukiskan rumah boneka buatan Patronella Oortman.
“Oortman membuat pilihan yang mencolok terkait posisi (boneka) pelayan Afrika di beste kamer, sebuah ruang tamu paling prestisius dalam sebuah rumah. Pelayannya yang sedang berdiri memegang nampan, mengenakan pakaian mewah dan tak lupa sebuah kalung (anjing) berkilau di lehernya,” ungkap ter Molen.
Oleh karena berstatus sebagai pelayan, para budak kulit hitam, termasuk Paulus, menerima upah. Alhasil, mereka pun mengantongi sedikit harta untuk setidaknya bisa mencari perempuan untuk diperistri seperti umumnya orang-orang dari kalangan menengah ke bawah.
Baca juga: Kraspoekol dan Kontradiksi Dirk dalam Perbudakan
Paulus tercatat pernah menikah pada 11 Juni 1684. Ia menikahi seorang perempuan bernama Maria Sauls. Dalam sebuah arsip yang tersimpan di Nationaalarchief Den Haag, tak disebutkan asal-usul sang perempuan, juga apa apa warna kulitnya.
Saat menikah, Paulus tak lagi bekerja sebagai pelayan domestik di kediaman keluarga Nassau Lalecq. Ia tercatat sudah tergabung dalam dinas militer sebagai herpaucker atau penabuh drum di pasukan kavaleri.
Kendati begitu, Paulus dan istrinya tetap berhubungan baik dengan mantan tuannya. Bahkan, Anna-Isabella menjadi ibu angkat anak pasutri Paulus-Maria Sauls kala anak itu dibaptis dengan nama Maurice di sebuah kapel Katolik Romawi-Prancis di Den Haag pada 1690.
Baca juga: Ekspedisi Napoléon di Afrika Utara
Ketika sudah berada di dinas militer, pada 1684, nama belakang Paulus berubah lagi dari “Paulus Maurus” menjadi “Paulus Maurits”. Mengutip J. W. van Sypesteyn dan J. P. de Bordes dalam Bijdragen tot de staats-en krijgsgeschiedenis van het vaderland, Paulus dipilih menggantikan mendiang majikannya setelah majikannya wafat. Ia tetap sebagai harpaucker di pasukan kavaleri pengawal Raja Willem III.
“Nama belakang ‘Maurits’ dianggap lebih pantas bagi seorang militer di posisi itu ketimbang nama sebelumnya, ‘Maurus’ yang lebih cocok sebagai pelayan domestik,” ungkap van Sypesteyn dan de Bordes.
Terlepas dari ketiadaan jejak Paulus setelah menjadi harpaucker, Paulus tetap digambarkan mengenakan kalung anjing yang menandakan ia berasal dari kelas budak. Terlebih karakteristik fisiknya sama dengan budak, kendati ia sudah berubah status menjadi personil militer.
“Kehidupan Paulus di Belanda memang tak bisa dibandingkan dengan para budak di perkebunan Benua Amerika. Paulus bisa jadi anggota gereja, menikah, dan punya keluarga sendiri. Tapi meski menikmati hak yang sama dengan kalangan Eropa, penggunaan kalung anjing itu menunjukkan bahwa di era kolonial Belanda, tetap ada orang kulit hitam yang dicap demikian karena kalung itu adalah simbol perbudakan dan Paulus dikategorikan oleh orang-orang di sekitarnya sebagai ‘budak’,” tandas Smeulders dan Lambrechts.
Baca juga: Wally Bereaksi, Wally Dieksekusi