Masuk Daftar
My Getplus

Pedihnya Hidup dalam Belenggu Perbudakan dan Pergundikan

Kisah hidup Catharina van Bengalen sebagai orang gadaian dan gundik menggambarkan bagaimana jerat perbudakan dan pergundikan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 07 Agt 2023
Budak dari Bali di Batavia tahun 1700. (Cornelis de Bruin/Wikimedia Commons).

PERBUDAKAN merupakan hal lumrah dalam masyarakat kolonial di masa VOC. Keberadaannya dibutuhkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti menjadi pelayan, juru lampu, tukang cuci, penjahit hingga juru masak. Tak sedikit pula budak yang dipekerjakan pihak kompeni untuk menggali kanal, membangun jalan, mendirikan gedung-gedung baru hingga menjadi tukang besi dan kayu di bawah pengawasan ahli pertukangan dari Eropa pada bengkel di kastil Batavia.

Pentingnya peran budak tak hanya terlihat dari pekerjaan mereka, tetapi budak juga menjadi tolok ukur kekayaan seseorang, khususnya penduduk Eropa. Sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun menyebut sebagian besar budak milik orang Eropa umumnya dijadikan sebagai pengiring untuk memamerkan kekayaan. “Orang yang paling kaya dapat memiliki seratus budak atau lebih,” sebut Susan.

Baca juga: Batavia Kota Budak

Advertising
Advertising

Kondisi itu membuat budak menjadi komoditas yang banyak dicari oleh penduduk di wilayah koloni. Iklan penjualan budak atau informasi mengenai budak yang akan dilelang tak sulit ditemukan. Para budak dilelang dengan harga bervariasi tergantung pasaran. Namun, menurut Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, ada sejumlah kriteria yang menjadi acuan dalam menentukan harga seorang budak.

“Budak-budak yang memiliki keahlian khusus seperti kemampuan merawat kuda, memotong rumput dan memelihara tanaman umumnya dihargai lebih tinggi,” tulis Dukut. “Sedangkan yang wanita, selain dilihat dari tampilannya, dapat dihargai tinggi bila memiliki keahlian dalam masak-memasak atau jahit-menjahit.”

Meski memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, kehidupan para budak berbanding terbalik dengan para pemiliknya. Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur menulis kebanyakan budak meninggal dalam status sebagai budak, kekurangan gizi, serta tidak memiliki tempat tinggal yang layak dan kekurangan pakaian.

Baca juga: Toko Merah dan Sejarah Kelam Perbudakan di Batavia

Mereka juga tak jarang mendapat hukuman berat karena melanggar peraturan atau melawan majikannya. Hanya beberapa budak yang diberi gaji tambahan di luar jatah makan mereka, dan sebagian kecil di antara mereka yang memiliki gaji dapat membeli kebebasannya. Meski begitu ada pula yang dibebaskan karena belas kasihan dari pemiliknya.

“Budak yang bebas berada di bawah kekuasaan pemerintah seperti halnya penduduk bebas. Mereka membutuhkan izin untuk tinggal, menikah, dan memiliki kewajiban untuk bergabung dengan milisi sipil,” tulis Taylor.

Namun, kondisi masyarakat Eropa yang didominasi imigran laki-laki memunculkan harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi sejumlah budak perempuan. Di tahun-tahun awal permukiman Belanda, bagi beberapa perempuan Asia, perubahan dari budak menjadi nyonya rumah dapat terjadi dengan cepat. Harapan itu tak sepenuhnya menghilang, walau pada tahun-tahun berikutnya para laki-laki Eropa lebih memilih menikahi perempuan Eurasia atau wanita-wanita Eropa di negara asalnya, yang kemudian berlayar ke wilayah koloni untuk hidup bersama suaminya.

Sayangnya, menurut Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, hidup sebagai orang gadaian dan gundik jarang sekali memberi jaminan jangka panjang. “Sering kali hidup seperti itu penuh kejutan dan keadaan yang berubah-ubah,” tulis Niemeijer.

Baca juga: Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan

Gambaran betapa nasib begitu mudah mempermainkan kehidupan seseorang dapat dilihat dari kisah hidup Catharina van Bengalen di Batavia. Catharina menceritakan kepada para hakim bahwa ia dibeli sebagai budak seharga 60 ringgit oleh Claes Perera, seorang letnan barisan peronda para mardijker tahun 1660. Selama setahun wanita itu menjadi pembantu rumah tangga Perera hingga sang letnan memaksanya untuk membayar ongkos kuli 20 sen setiap hari.

“Ketika selama empat bulan berturut-turut Catharina tidak dapat membayar uang itu, sang letnan membolehkannya hidup sendiri, tidak lagi di rumahnya, tetapi ia harus membayar setiap bulan tiga ringgit,” tulis Niemeijer.

Catharina tertarik dengan tawaran tersebut namun gagal karena ia diambil oleh Passchier, seorang kepala pemintal tali yang bekerja untuk kompeni. Pria itu membayar kepada Perera untuk pekerjaan yang dilakukan Catharina. Namun, ketika Passchier menikah dengan wanita lain, Catharina terpaksa menjadi tukang cuci pakaian.

Baca juga: Derita Hidup Seorang Gundik

Garis nasib kemudian mempertemukan Catharina dengan Romeyn Martensz, seorang pembuat topi. Lelaki Belanda itu bersedia menjadikannya istri kedua, bahkan ia telah mendapat persetujuan dari istri pertama. Martensz membayar kepada Claes Perera tiga ringgit setiap bulan yang merupakan gaji seorang istri sewaan.

Namun, kondisi itu tak bertahan lama, Martensz kemudian mengetahui bahwa Catharina mengidap penyakit kelamin. Oleh karena itu, ia meminta kembali uang ringgit yang sudah dibayarkannya. Hidup selama dua bulan dengan gundiknya membuat Martensz harus mengeluarkan tujuh real untuk biaya pengobatan.

Menurut Niemeijer, apa yang dilakukan oleh Passchier dan Martensz itu sering terjadi dalam masyarakat Batavia di abad ke-17. “Sangat mudah untuk mengatur agar mendapatkan seorang perempuan Asia, dan bagi beberapa perempuan menjadi gundik lebih baik daripada harus membayar upah kuli atau menjajakan makanan. Hidup sebagai gundik dari seorang warga bebas Belanda dapat membuat seorang budak atau perempuan bebas hidup dengan baik selama bertahun-tahun,” tulis Niemeijer.*

TAG

perbudakan pergundikan

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Perlawanan Dandara Akhir Pelarian Seorang Gundik Derita Hidup Seorang Gundik Kalung Anjing Identitas Budak di Belanda Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati! Wally Bereaksi, Wally Dieksekusi Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan Van Bengalen, Potret Para Budak dari Teluk Benggala Kraspoekol dan Kontradiksi Dirk dalam Perbudakan Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João