Perang Kemerdekaan meninggalkan beragam kesan bagi banyak rakyat Indonesia yang terlibat di dalamnya, termasuk M. Jasin (kelak pada 1970-1973 menjadi Wakasad). Pada masa itulah dia melangsungkan pernikahan dengan Siti Abesanti, tepatnya pada 31 Maret 1946. Pada masa itu pula dia mengalami berbagai pengalaman dari yang membahayakan hingga yang lucu-konyol.
Kejadian paling mengesankan bagi Jasin terjadi pada Agustus 1948, sekira sebulan sebelum Madiun Affair. Seperti biasa, Jasin pulang pada Kamis malam ke rumahnya di kota Madiun dari tempat tugasnya di Maospati. Saat itu Jasin bertugas di batalyon 40 di Maospati dan rangkap jabatan.
“Sejak 1947 sampai 1948 Kapten M. Jasin diangkat menjadi Kepala Staf III Resimen 31 Divisi 5. Setelah terbentuknya Divisi-divisi baru tersebut, M. Jasin diangkat menjadi Kepala Staf Mobile Batalyon 40 di bawah Divisi I, yaitu sampai bulan Desember 1948. Pada waktu yang bersamaan ia merangkap sebagai pejabat Komandan Batalyon tersebut,” tulis Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dalam Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Saat sedang berkumpul di rumahnya itulah Jasin mengalami kejadian mengerikan. Sekira pukul tiga dini hari, ketika sedang tidur bersama istri dan anak sulungnya yang baru satu tahun lebih, rumah mereka didatangi sepasukan tentara yang berafiliasi dengan FDR/PKI. Begitu pakaian dinas Jasin terlihat mereka di tempat penggantungan pakaian, peluru langsung dimuntahkan ke arah Jasin.
Baca juga: Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
Secara refleks, Jasin langsung melarikan diri ke kebun singkong halaman belakang rumahnya. Dia selamat karena peluru hanya mengenai sepatunya.
“Jenis peluru yang lazim dibuat sendiri waktu itu, mutunya jelek,” kata Jasin sebagaimana dikutip Nurinwa KS dkk. dalam otobiografi Jasin berjudul Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto.
Jasin bingung. Para penggedor rumahnya tetap berada di dalam rumah ketika mendapati buruannya lari. Maka Jasin bisa terus bersembunyi di kebun.
“Anehnya gerombolan itu tidak berusaha mengejar dan mencari saya. Rupanya mereka lebih tertarik pada harta benda yang ada di rumah saya,” sambung Jasin.
Ketika gerombolan itu telah pergi sekira subuh, Jasin melihat istrinya yang menggendong putra sulungnya sedang mencarinya di kebun belakang. Seketika itu Jasin keluar dari persembunyiannya karena keadaan dianggap telah aman. Mereka lalu kembali ke rumah yang keadaannya sudah berantakan.
Tak lama setelah itu, usai Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, Jasin kembali mengalami peristiwa nahas. Anak sulungnya diculik pasukan Belanda yang mencarinya. Anak itu direbut dari gendongan ibunya karena sang ibu tak mau menunjukkan di mana Jasin berada. Beruntung anak itu bisa ditemukan keesokan paginya oleh salah seorang penduduk yang kemudian mengantarkannya ke rumah carik Widodaren, tempat istri Jasin mengungsi.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Namun, pengalaman Jasin selama Perang Kemerdekaan ada pula yang berujung tawa. Itu terjadi di suatu hari di bulan Agustus 1947. Saat itu Letnan Satu Jasin sedang inspeksi lapangan ke batalyon resimennya yang dilibatkan di front Surabaya Barat. Dia ditemani kepala Seksi Intel Resimen 31 Kapten Soetarto Sigit dan Kopral Saimin. Dalam upaya mendekati sebuah kompi di barat Desa Kedamean, mereka beristirahat di sebuah warung. Ketika sedang santai di warung itulah mereka mendengar deru pesawat tempur dan gemuruh kendaraan lapis baja Belanda.
“Dari sumber-sumber Belanda yang kemudian berhasil kami gali, ternyata bahwa Pak Jasin dan saya terlibat dalam operasi Trackman oleh Brigade Marinier dengan kekuatan 1 Batalyon Infantri ditambah 1 Kie tank, 1 Kie Amtrack, 2 Batalyon Artilerie, dan 4 Grup pesawat-pesawat tempur,” kata Soetarto dalam kesaksiannya di otobiografi Jasin yang ditulis Nurinwa KS dkk.
Kedatangan pasukan Belanda sontak membuat Jasin dan dua rekannya panik. Jasin dan Soetarto segera menyeberang jalan dan bersembunyi di kebun singkong. Sementara, Saimin tertinggal di warung.
Baca juga: Cerita Lucu dari Pertempuran Surabaya
Dari kejauhan, Jasin dan Soetarto terus melihat warung tempatnya makan sambil terus cemas mengharapkan keselamatan Saimin. Keduanya terus berharap agar iring-iringan pasukan Belanda berjalan terus melewati warung itu.
Harapan mereka kandas. Iring-iringan berhenti tepat di depan warung. Beberapa prajurit Belanda kemudian masuk ke dalam warung. Jasin dan Soetarto hanya bisa pasrah menunggu suara letusan senjata menghabisi Saimin.
Namun, suara yang ditunggu-tunggu tak kunjung terdengar. Beberapa saat kemudian iring-iringan justru kembali bergerak. Ketika iring-iringan sudah jauh, Jasin dan Soetarto segera menuju warung. Hampir bersamaan dengan keduanya mencapai warung, Saimin muncul dengan wajah pusat.
“Bagaimana kamu bisa selamat?” kata Jasin kepada Saimin.
“Maaf Kapten, saya tidak sempat lari. Ketika Belanda itu masuk warung, saya bersembunyi di dalam kain perempuan pemilik warung tersebut, yang terus diam dan tidak bergerak ketika Belanda menanyainya dan memeriksa warung. Saya selamat bersembunyi di selangkang perempuan tadi!” jawab Saimin.