Masuk Daftar
My Getplus

Kiai NU dan Daging Babi

Ketika para kiai NU melucu. Dari soal makan babi sampai Jawa tanah kiai.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 08 Agt 2019
K.H. A.bdul Wahid Hasyim. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

SORE itu, menjelang 1943, Saifuddin Zuhri (mantan menteri agama era Sukarno dan Soeharto) dan beberapa kawannya mengunjungi kantor Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pimpinan Hasyim Asy’ari di Taisodori (kini Tugu Kunstkring Paleis di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat).

Saifuddin bermaksud mencurahkan kegelisahan dari aktivitas yang sedang dikerjakannya. Ia bersama beberapa tokoh Islam saat itu sedang ikut dalam program penggemblengan ulama berjiwa Nippon yang dibuat pemerintah Jepang. Mereka dipersiapkan untuk membantu Jepang memenangkan perang melawan Sekutu.

Sesampainya di Taisodori, Saifuddin bertemu dengan Kiai Abdulwahab Hasbullah dan K.H. A. Wahid Hasyim yang sedang berbincang dengan beberapa orang di sana. Kantor Masyumi itu memang menjadi langganan berkumpulnya tokoh-tokoh Islam, sebut saja Haji Agus Salim, Mr. Mohammad Roem, K.H. Abdul Kahar Muzakir, K.H. Farid Ma’ruf, dan lain-lain.

Advertising
Advertising

Cukup lama berada di sana, keresahan yang sedari tadi menghinggapi Saifuddin perlahan hilang setelah ia diberi banyak nasihat oleh para ulama. Dalam otobiografinya, K.H. Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren, ia menuliskan percakapannya bersama para tokoh di kantor Masyumi tersebut.

Baca juga: Saifuddin Zuhri yang Mengusulkan Nama Gelora Bung Karno

Di sela-sela perbincangan yang serius, Wahid Hasyim menceritakan pengalamannya berurusan dengan orang Jepang. “Logika orang-orang Nippon itu kadang-kadang kita rasakan aneh, sebab itu seringkali kita tidak mudah memahami cara berpikir mereka.”

Pernah suatu hari, Wahid Hasyim bersama para pengurus Nahdlatul Ulama diundang makan malam oleh para pembesar militer Jepang. Merasa kebingungan dengan makanan yang perlu dihidangkan, mereka akhirnya menanyakan makanan apa yang disukai.

“Apakah Tuan suka makanan ala Barat?” tanya seorang perwira Jepang.

“Asal jangan daging babi,” jawab Wahid Hasyim.

“Mengapa tak mau daging babi?” tanya si perwira keheranan.

“Sebab agama saya melarangnya,” terang Wahid Hasyim kembali.

Baca juga: Jihad ala NU

Mendengar jawaban itu, perwira Jepang tersebut mulai bercerita. “Dulu orang Manchukuo (Manchuria) juga tak suka makan daging babi. Namun setelah insaf, mereka menyukainya. Nanti kalau orang Islam sudah insaf, mereka akan menggemari makanan daging babi.”

Astagfirullah!” terdengar salah seorang dari rombongan NU beristigfar.

“Saya juga geli dibuatnya,” Wahid Hasyim melanjutkan ceritanya. “Sampai sekarang kalau saya mendengar orang bilang ‘insaf’ saya jadi ingat orang Jepang itu.” Semua orang di ruangan itu sontak tertawa.

"Makanya aku keheran-heranan beberapa hari ini, tiap kali aku mengucapkan kata 'insaf', Gus Wahid menimpali dengan katanya: Ya'kul khinzir," ucap Abdulwahab Hasbullah sambil tertawa. Ya'kul khinzir artinya makan daging babi.

"Iya, habis seperti diceritakan si Nippon itu, setelah orang Manchuria menjadi 'insaf', mereka kan lalu ya'kul khinzir," kata Wahid Hasyim yang diikuti gelak tawa semua orang di ruangan itu.

Baca juga: Babi dan Masyarakat Islam Nusantara

Pembicaraan pun kembali berlanjut pada persoalan yang lebih serius. Saifuddin bertanya kepada semua yang hadir mengenai kabar pembubaran Putera (Pusat Tenaga Rakyat) oleh pemerintah Jepang. "Apakah Nippon bermaksud akan menjadikan Masyumi satu-satunya wadah perjuangan buat bangsa Indonesia?"

"Tidak. Sukar bagi Nippon untuk hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor objektif yang ada pada golongan Islam dan nasionalis tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman Majapahit sampai Demak," Wahid Hasyim menanggapi pertanyaan itu. "Saya berhasil mengorek informasi dari sumber yang sangat boleh dipercaya bahwa pada kwartal pertama tahun 1944 akan berdiri sebuah badan pengganti Putera yang akan diberi nama Jawa Hokokai."

Namun, obrolan yang serius itu lagi-lagi diakhiri dengan candaan oleh para tokoh Masyumi tersebut. Kali ini giliran Abdulwahab Hasbullah yang menanggapi ucapan Wahid Hasyim.

"Jawa Hokokai itu bakal menjadi Jawa Haqqu Kiai," Abdulwahab cepat menginterupsi. Jawa Haqqu Kiai artinya Jawa tetap akan menjadi tanah miliki kiai. Ucapan Abdulwahab Hasbullah itu kembali memecah suasana yang sendu pada sore itu.*

TAG

nahdlatul ulama wahid hasyim

ARTIKEL TERKAIT

Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret