Melalui siaran Radio Domei oleh Jusuf Ronodipuro, proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 berhasil mengudara hingga ke luar negeri. Namun, sebelum proklamasi dibacakan jam 10.00 hari itu, usaha-usaha menyiarkannya telah dilakukan pemuda-pemuda di Jakarta. Salah satunya oleh regu Dajal dari kelompok Prapatan 10.
Kala itu, pemuda-pemuda di Jakarta tergabung dalam beberapa kelompok, seperti Menteng 31, Cikini 71, hingga Prapatan 10. Nama-nama kelompok ini diambil dari lokasi markas mereka. Prapatan 10 menjadi julukan untuk kelompok mahasiswa yang tinggal di Asrama Prapatan no. 10, dekat Stasiun Senen. Pentolannya antara lain Eri Sudewo, Sudarpo Sastrosatomo, dan Sudjatmoko.
Menurut Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi, Asrama Prapatan 10 telah dibuka sejak Oktober 1943 untuk mahasiswa kedokteran Ika Daigaku, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba. Asrama ini dihuni oleh mayoritas mahasiswa asal luar Jakarta.
Baca juga: D.N. Aidit di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
Pada 17 Agustus pagi, di Prapatan 10 telah dibentuk regu-regu dengan pekerjaan masing-masing. Ada regu penggempur untuk mengamankan proklamasi, ada pula regu palang merah yang bersiap jika terjadi pertumpahan darah.
“Tidaklah sukar mengatur mahasiswa-mahasiswa yang baru keluar dari latihan ketentaraan Peta. Tugas telah diberikan dan diterima. Sebagian yang masuk barisan penggempur sudah berangkat ke Pegangsaan Timur 56, tempat dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Selain regu penggempur dan palang merah, ada regu dengan nama yang menarik: Regu Dajal. Tak diketahui mengapa dinamai Regu Dajal, yang jelas tugasnya adalah melakukan propaganda dan menjaga asrama sebagai markas komando.
Selain itu, ada tugas khusus untuk Regu Dajal, yakni merebut gedung radio Hosokyuku agar proklamasi dapat disiarkan secara langsung. Empat orang dari Regu Dajal yang diutus yakni Radja Tjut Rachman, Rahadi, Usman, dan Ridwan. Masing-masing dibekali sebuah pistol.
“Kedatangan regu mahasiswa itu memang sudah diatur sebelumnya oleh buruh dan pegawai yang bekerja di tempat itu. Mereka masuk melalui jalan belakang dan seperempat jalan menjelang jam 10.00 sudah berada di gang depan kamar siaran,” tulis Sidik.
Baca juga: Mencari Mikrofon Proklamasi
Sayangnya, rencana penyerobotan radio ternyata telah bocor. Mereka diketahui petugas kemananan Jepang sehingga kemudian terjadi keributan. Mobil lapis baja dan sepasukan kempeitai datang tak lama kemudian. Usaha menyiarkan proklamasi secara langsung pun gagal.
Menurut Soejono Martosewojo dalam Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdian 1, kegagalan misi itu juga disebabkan oleh jatuhnya pistol Ridwan. Karena menimbulkan bunyi keras, mereka pun panik dan akhirnya mundur.
“Kelompok mahasiswa ini lari meninggalkan studi radio, akhirnya pulang ke asrama dengan penuh rasa kecewa. Sesampainya di asrama para mahasiswa ini segera melaporkan kegagalan tugas yang dibebankan kepada mereka sehingga perlu diusahakan penyiarannya melalui cara lain,” tulis Soejono.
Karena kegagalan itu, regu Dajal juga kehilangan satu mobil yang diparkirkan di dekat kantor radio. Beruntung mobil pengganti berhasil didapatkan dan kemudian dipakai untuk membawa Sukarno ke rapat besar di Lapangan Ikada.
Baca juga: Detik-Detik Usai Proklamasi
Tugas Regu Dajal selanjutnya adalah menyebarkan pamflet-pamflet propaganda kemerdekaan. Pamflet distensil di kantor Domei lalu disebarkan ke khalayak sambil berteriak, “Indonesia telah Medeka!”
Malamnya, mereka juga mencorat-coret tembok dengan tulisan berbahasa Indonesia dan Inggris serta karikatur. Selain tembok, mereka menyasar trem kota, gerbong kereta api. “Merdeka atau mati!” Sekali merdeka tetap merdeka!”, “Indonesia never again the lifeblood of any nation,” begitu bunyi tulisan para pemuda itu.