Masuk Daftar
My Getplus

Kontroversi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia

Dari berbagai sudut pandang, hari kemerdekaan Indonesia tidak tunggal. Tapi, maknanya tetap sama, bebas dari penjajahan serta mewujudkan negeri yang adil dan sejahtera.

Oleh: Martin Sitompul | 19 Agt 2022
Sukarno membacakan Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jl. Pegangsaan Timur 56. (Perpusnas RI).

Sampai saat ini, hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945) tidak pernah diakui oleh Belanda secara resmi. Negara eks penjajah itu selalu mengklaim 27 Desember 1949 sebagai titimangsa kedaulatan pemerintah Indonesia. Saling silang pengakuan ini kerap memantik polemik dalam hubungan sejarah kedua negara.

“Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada17 Agustus 1945 itulah yang kita punyai. Bahwa Belanda tidak mau mengakui, itu urusan lain. Itulah yang menyebabkan terjadinya perang. Dan perang itu yang dipaksakan Belanda kepada kita,” kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi sejarah secara daring bertajuk “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Dilema Belanda”  pada 17 Agustus 2022.

Dari sudut pandang Belanda, kemerdekaan Indonesia ditandai lewat perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Alih-alih mengakui Proklamasi kemerdekaan yang dideklarasikan Sukarno dan Hatta, Belanda malah menuding keduanya sebagai kolaborator Jepang. Dengan segala muslihat dan tipu-tipu, Belanda menjajah kembali Indonesia. Pertempuran dan kejahatan perang yang dinyalakan Belanda inilah yang mewarnai periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam historigrafi Indonesia, masa ini dikenal dengan zaman Revolusi Fisik 1945-1949.

Advertising
Advertising

Baca juga: Derita Serdadu Belanda di Indonesia

Menurut Anhar, pikiran kolonialisme Belanda tidak pernah berubah. Dalam perundingan KMB Belanda terlihat masih berupaya “mengangkangi” Indonesia. Dibuktikan dengan klausul utang-piutang sebesar 4.6 milyar Gulden yang dibebankan kepada Indonesia. “Padahal, itu dipakai untuk memerangi kita,” imbuh Anhar.

Kemudian, penundaan membicarakan masalah Papua setahun setelah KMB. Penolakan itu terus berlangsung hingga awal 1960-an. Anhar mengatakan itulah dua hal yang sangat menyakitkan di pengujung kolonialisme Belanda.

“Bahkan sampai sekarang, sebagian besar dari mereka juga seperti itu pikirannya, masih aneh. Kita sudah 77 tahun merdeka, mereka masih menganggap Indonesia merdeka pada tanggal yang mereka inginkan,” katanya.

Sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi sejarah “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Dilema Belanda”. (Tangkapan layar IDLC).

Mengenai kejahatan perang Belanda pun tidak ada keraguan. Anhar menuturkan, ayah dan kedua kakaknya menjadi korban pembunuhan akibat keganasan operasi militer Belanda di Makassar, Sulawesi Selatan. Jika dihitung, sekira 40-50 anggota keluarga besarnya tewas ditangan pasukan yang dipimpin Letnan Raymond Westerling.    

“Di seluruh Indonesia mereka melakukan pembunuhan kejam kok. Dan mereka akhirnya mengakui sendiri kekerasan itu,” jelas Anhar.

Baca juga: Membuka Peristiwa Pembantaian di Sulawesi Selatan

Sementara itu, menurut Hikmahanto Juwono, merujuk ketentuan hukum internasional, Proklamasi 17 Agustus 1945 belum memenuhi syarat Indonesia sebagai negara berdaulat. Kemerdekaan itu terbentur pada pengakuan serta hubungan diplomatik dengan negara lain. Indonesia baru merdeka sebagai sebuah negara setelah Mesir menyatakan pengakuannya pada 22 Maret 1946. Adalah Haji Agus Salim, diplomat Indonesia yang berperan dalam menjalin hubungan dengan pemerintah Mesir. Berturut-turut kemudian, Suriah, Lebanon, dan negara-negara Arab lain memberikan pengakuan terhadap Indonesia

“Pengakuan menjadi hal yang penting –dalam hukum internasional– untuk menentukan kapan negara itu lahir,” ujar pakar hukum international dan rektor Universitas Ahmad Yani itu.

Perkara pengakuan Belanda pada 27 Desember 1949, Hikmahanto menegaskan itu sama sekali tidak berdasar. Sebab, menurutnya, ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, Indonesia telah menjadi negara merdeka sepenuhnya menurut ketentuan hukum internasional. Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Both menyatakan pengakuannya atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, pengakuan tersebut berlalu begitu saja karena tidak diikuti pernyataan resmi atas nama pemerintah Kerajaan Belanda.

Baca juga: Menyoal Papua dan Utang Warisan Belanda

“Itu pengakuan secara de facto, secara yuridis mereka tetap menyatakan Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949,” kata Hikmahanto.

Daripada mempersoalkan pengakuan Belanda, menurut Anhar, yang terpenting apakah kemerdekaan itu sudah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia merujuk kepada pemikiran Bung Karno yang menerangkan sila demokrasi dan kesejahteraaan ketika merumuskan dasar negara pada 1 Juni 1945, yang diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Dalam pidato Sukarno itu, Anhar menyimpulkan, tidak ada gunanya berdemokrasi kalau tidak disertai kesejahteraan. Sementara, prinsip kesejahteraan terwujud apabila tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.

“Setelah 77 tahun merdeka, apakah makna merdeka itu sudah terwujud? Menurut saya belum,” pungkas Anhar.

Baca juga: Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua

TAG

proklamasi

ARTIKEL TERKAIT

Rumah Proklamasi Respons Sekutu Usai Proklamasi Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Siapa Pemilik Rumah Proklamasi? Sukarni dan Proklamasi Setelah Minta Maaf, Akankah Belanda Akui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia? Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi Dana Awal Pendirian Republik