Masuk Daftar
My Getplus

Respons Sekutu Usai Proklamasi

Kronologi tanggapan petinggi militer Sekutu terkait gejolak perubahan pasca-proklamasi.

Oleh: Randy Wirayudha | 18 Agt 2023
Pasukan pendudukan Sekutu di Jakarta (Imperial War Museum)

LAPANGAN Terbang Kemayoran, Jakarta, 8 September 1945. Bersama tujuh anggota pasukannya, Mayor A.G. Greenhalgh mendarat dalam senyap. Tugasnya simpel namun begitu penting: mencari informasi tentang situasi dan kondisi umum di Indonesia dan secara khusus di Jakarta.

Mereka diterima pasukan Jepang –yang diperintahkan menjaga status quo usai pernyataan penyerahan tanpa syarat Jepang terhadap Sekutu dua hari sebelum proklamasi Republik Indonesia (RI)– sebagai “tamu” pertama dari pihak Sekutu. Mayor Greenhalgh mengambil tempat di Hotel Des Indes (kini Komplek Pertokoan Duta Merlin) sebagai markasnya. Dari sanalah dia menjalin komunikasi dengan petinggi Gunseikan (komandan pemerintahan militer Jepang di Pulau Jawa) Letjen Moichiro Yamamoto (di beberapa sumber menyebut bertemu Jenderal Yamaguchi).

Kedatangan pasukan Greenhalgh menandai keterlibatan awal South East Asia Command (SEAC) pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten –selaku wakil Sekutu– di Indonesia. Selain untuk “kepoin’” situasi, misi Greenhalgh itu sekaligus untuk pembicaraan awal mengenai RAPWI (Recovery Allied Prisoners of War and Internees).

Advertising
Advertising

Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera

Selain itu, faktor lain yang membuat Mountbatten buru-buru mengirim misi ke Jakarta adalah “pengaduan” Letnan Gubernur-Jenderal NICA (Nederlandsch-Indische Civile Administratie) Hubertus Johannes van Mook yang baru mendengar kabar proklamasi Indonesia pada 3 September 1945. Van Mook menuding proklamasi itu didukung Jepang, sebagaimana sejak lama Belanda menuding Sukarno sebagai kolaborator Jepang.

“Secara resmi, komando militer Jepang bertindak sejurus dengan Deklarasi Postdam (26 Juli 1945) dengan membantah mendukung nasionalisme para pemimpin Indonesia. Akan tetapi pada kenyataannya, deklarasi itu dilanggar oleh beberapa oknum (militer Jepang, red.) yang dengan sengaja memberikan jalan untuk nasionalisme itu sehingga otoritas Jepang kesulitan menjaga status quo seperti yang jadi syarat (Deklarasi) Postdam,” ungkap Muhammad Abdul Aziz dalam Japan’s Colonialism and Indonesia.

Misi Greenhalgh sendiri, menurut David Wehl dalam The Birth of Indonesia, setidaknya mengandung tiga poin utama yang disampaikan kepada para petinggi di SEAC. Pertama, informasi tentang gerakan dan sentimen anti-Belanda dan anti-Jepang dari pemimpin nasionalis Indonesia tetapi tidak anti-Sekutu. Kedua, kondisi para tawanan dan interniran Sekutu membutuhkan pemulihan sesegera mungkin. Ketiga, saran agar tidak melibatkan Belanda dalam upaya RAPWI untuk mencegah konflik dengan pihak Indonesia.

Kapal penjelajah HMS Cumberland (kiri) dan Laksamana Wilfried Rupert Patterson (iwm.org.uk)

Panglima SEAC Laksamana Mountbatten akhirnya mengonsolidasikan kekuatan lewat AFNEI (Allied Forces Netherlands Indie) yang dikomando Letjen Alexander Frank Philip Christison. Pasukan yang berintikan tentara Inggris itu belakangan diboncengi pasukan NICA lantaran Van Mook sudah tak sabar kembali ke Jawa.

Maka ketika berlabuh di Tanjung Priok pada 15 Oktober 1945, gelombang pertama rombongan Sekutu datang berbondong-bondonglah dengan kapal Inggris yang dipimpin kapal penjelajah HMS Cumberland. Selain pasukan Inggris dan NICA, rombongan itu juga turut membawa agen-agen intelijen OSS (Office of Strategic Services) Amerika Serikat di bawah Mayor Frederick E. Crockett dalam rangka Operasi ICEBERG.

“Sungguh Laksamana W.F. Patterson sebagai wakil Panglima SEAC di Singapura, Lord Louis Mountbatten, terkejut menyaksikan kekuasaan pemerintah republik, lebih-lebih setelah melihat aparat pemerintah republik telah lengkap. Kekuasaan balatentara Jepang telah berpindah pula ke tangan Republik Indonesia. Oleh karena itu Laksamana Patterson menyampaikan permintaan kepada markas SEAC agar pendaratan Sekutu secara besar-besaran segera dilakukan. Demikian pula laporan Van der Plas kepada Van Mook agar pendaratan Sekutu berikutnya diikutsertakan sebanyak mungkin personil NICA,” tulis buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Kodam V/Jaya: Pengawal-Penyelamat Ibukota Republik Indonesia.

Baca juga: Agen OSS yang Memihak Indonesia

Setelah Laksamana Mountbatten merevisi beberapa detail tugas AFNEI, kekuatan penuh AFNEI akhirnya tiba pada 29 September 1945 di Jakarta dan Surabaya. Gelombang kedua itu membawa tiga divisi pasukan dari Korps India ke-25, yakni Divisi India ke-23 di Jakarta pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn, Divisi India ke-5 di Surabaya pimpinan Jenderal Robert Mansergh, dan Divisi India ke-26 pimpinan Jenderal H.M. Chambers di Sumatera.

“Baru pada akhir September 1945 itulah menjadi jelas bagi SEAC bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia menciptakan realitas baru di lapangan. Pada 28 September Laksamana Mountbatten merevisi perintah (kekuatan inti AFNEI) Korps India ke-25: mereka tidak lagi mencoba menduduki seluruh wilayah Jawa dan Sumatera tapi membatasi operasi di kantung-kantung perkotaan yang penting, di antaranya Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya di Jawa, serta Medan, Padang, dan Palembang di Sumatera,” tulis Marc Lohnstein dalam The Dutch-Indonesian War 1945-1949: Armies of the Indonesian War of Independence.

Surat Gunseikan Jenderal Moichirō Yamamoto (kanan) kepada Jenderal D.C Hawthorn pada 3 Oktober 1945 (Berita Film Indonesia/nationaalarchief.nl)

Sementara, Van Mook sendiri baru bisa ikut merapat ke Jakarta pada awal Oktober 1945, berbarengan dengan kedatangan Panglima AFNEI Jenderal Christison. Meski begitu, Christison mengupayakan tugas RAPWI dengan menjalin komunikasi dengan perwakilan pemerintah RI, tak peduli pihak Belanda tak mengakui proklamasi.

“Saat Panglima AFNEI Letjen Christison mendarat di Jakarta pada Oktober 1945, ia menyatakan ‘bahwa akan meminta para pemimpin Republik Indonesia untuk membantunya merampungkan tugasnya dan bahwa otoritas Republik Indonesia akan bertanggungjawab penuh terhadap jalannya pemerintahan serta keamanan dan ketertiban’,” ungkap Ide Anak Agung Gede Agung dalam Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965.

Baca juga: Propaganda Sekutu di Indonesia

Dengan pernyataan itu, Jenderal Christison secara de facto mengakui otoritas pemerintah RI kendati belum diketahui apakah pernyataan itu disampaikan dengan sepengetahuan pemerintah Inggris atau tidak. Itu menjadi komunikasi pertama antara pemerintah Indonesia yang merdeka dengan kekuatan asing sejak proklamasi 17 Agustus 1945.

Di lain pihak, itu memicu protes pertama Belanda kepada Inggris. Sebelumnya, Inggris sebagai pemegang komando Sekutu di Asia Tenggara berjanji untuk membantu memulihkan bekas koloni negara-negara Eropa pasca-Perang Dunia II.

“Diharapkan Prancis dan Inggris mengembalikan kekuasaan di Vietnam dan Indonesia. Sejauh ini Indonesia yang jadi masalah karena Inggris dalam Civil Affairs Agreement punya komitmen memulihkan kedaulatan Belanda setelah kapitulasi Jepang. Perjanjian ini memberi hak kepada Belanda untuk mendirikan kembali kekuasaan koloninya,” tulis Tilman Remme dalam Britain and Regional Cooperation in South East Asia, 1945-49.

Para interniran dan tawanan perang Sekutu di Kamp Cideng (iwm.org.uk)

Sebelum Sekutu Balik Kandang

Tidak selamanya tugas RAPWI dan pemulangan pasukan Jepang yang dilakukan pasukan Sekutu berjalan mulus. Insiden demi insiden pecah di ibukota maupun kota-kota besar di pantai utara Jawa.

“Karena sikap serdadu-serdadu Inggris dan NICA sangat angkuh dan sama sekali tidak mau menghargai aparatur pelabuhan RI, maka terjadilan bentrokan senjata antara mereka dengan para pemuda pejuang di sekitar Menara Air, Stasion (Stasiun Tanjung Priok), dan Zeeman’s Huis (asrama pelaut),” tulis buku Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan R.I.

Korban jiwa dari pasukan Inggris pun tak sedikit. Keadaan yang mengancam misi tugas RAPWI itu membuat Jenderal Christison kelimpungan. Akhirnya diadakan perundingan bersama antara pihak Inggris, Belanda, dan Indonesia.

“Inggris mengirim diplomat senior Sir Archibald Clark Kerr ke Jakarta untuk jadi penengah perundingan antara Indonesia dan Belanda. Tanggal 17 November 1945, Van Mook bertemu dengan (Perdana Menteri, Sutan) Sjahrir,” tulis Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya.

Baca juga: Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi

Pertemuan delegasi Indonesia dan Sekutu, ki-ka: Menhan Amir Sjarifoeddin Harahap, Brigjen A.G.L. MacLean, Letjen Alexander Frank Philip Christison, & PM Sutan Sjahrir (Repro Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya)

Kendati Jakarta dikosongkan dari unsur-unsur militer sebagai hasil perundingan tiga pihak itu, toh insiden baku-tembak tetap tidak berhenti setelah itu. Berbagai pertempuran terus bermunculan, mulai dari Pertempuran Medan Area (13 Oktober 1945), Pertempuran Surabaya (10-20 November 1945), Pertempuran Ambarawa (20-26 November 1945), hingga Pertempuran Sasak Kapuk di Bekasi (29 November 1945).

Keadaan ini tak hanya bikin pusing Christison tapi juga atasannya, Laksamana Mountbatten. Secara panjang lebar ia menyampaikan kekusutan situasi di Indonesia kepada staf militer Inggris di London sejak 27 November 1945. Dalam 18 poin pesan telegramnya, Laksamana Mountbatten menggarisbawahi keadaan itu terjadi karena kegagalan Jepang memelihara status quo sebelum kedatangan Sekutu.

“Pada 17 Agustus dua hari setelah kapitulasi Jepang dengan syarat-syarat Postdam, pihak Indonesia atas izin Jepang memproklamirkan kemerdekaannya dan bersikeras menentang kembalinya Belanda. Saya memberi tugas kepada pihak Jepang untuk menjaga keamanan dan ketertiban sebelum kedatangan pasukan pendudukan Sekutu. Tugas ini gagal mereka jalankan,” tulis Mountbatten dalam salah satu poin permasalahannya.

Alhasil, imbuh Mountbatten, AFNEI kesulitan untuk melakoni tugas RAPWI yang jumlah tawanan dan internirannya mencapai 78.800 jiwa. Militernya juga kesulitan jika harus frontal menghadapi sekira 100 ribu kekuatan militer Indonesia, kendati hanya seperempatnya yang punya kelengkapan senjata.

Baca juga: Bekasi Lautan Api di Mata Dua Saksi

Caption

Persoalan ini pada gilirannya dibicarakan serius di tingkat pemerintahan. Pada 27 Desember 1945, Perdana Menteri (PM) Inggris Clement Attlee mengundang delegasi Belanda yang terdiri dari PM Belanda Willem Schermerhorn, Letnan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Dr. van Mook, serta kedua duta besar negara masing-masing, untuk merundingkannya di kediaman PM Inggris di Wisma Chequers, Buckinghamshire.

“Pembicaraan yang berlangsung selama tiga hari itu mengagendakan keinginan pemerintah Inggris untuk menyelesaikan masalah-masalah Indonesia sesegera mungkin. Pihak Inggris juga mendesak pemerintah Belanda untuk membuat usulan yang lebih konkret terkait kebijakan untuk para penduduk Hindia Belanda. Hal itu diyakini akan lekas membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi, di mana insiden-insiden sebelumnya telah mengorbankan nyawa (serdadu) Inggris,” tulis suratkabar Barrier Miner edisi 28 Desember 1945.

Salah satu hasilnya, sambung Gede Agung, disepakati bahwa pemerintah Belanda harus mengakui hak bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka. Dengan begitu, mereka bisa menentukan nasib sendiri agar masalah bisa diselesaikan dengan cara damai dan kerjasama yang bersahabat.

 

“Pemerintah Inggris berjanji untuk membantu seiring pemerintah Belanda punya kemauan untuk memasuki fase negosiasi dengan otoritas Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Dengan keputusan ini, pemerintah Inggris mendesak menyelesaikan semua perkaranya ke meja negosiasi,” tambahnya.

Baca juga: Meluruskan Peristiwa Insiden Bendera di Surabaya

PM Inggris Clement Richard Attlee (kiri) dan Letnan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook (iwm.org.uk/nationaalarchief.nl)

Terlepas dari insiden besar lagi antara pihak Sekutu dan Indonesia (Bandung Lautan Api; 23 Maret 1946) dan Belanda “ogah-ogahan” mengakui proklamasi, pemerintah Inggris akhirnya mengeluarkan keputusan penting pada Agustus 1946. Inggris akan menarik pasukannya dari Indonesia dengan tenggat waktu paling akhir 30 November 1946. Pihak Inggris sudah melihat setidaknya perwakilan Belanda dan Indonesia bisa memulai menyelesaikan konflik secara diplomatis.

“Keputusan Whitehall (pemerintah kerajaan) adalah mengevakuasi semua pasukan Inggris dan India dari kepulauan (Indonesia) pada 30 November 1946, terlepas insiden-insiden yang telah terjadi. Attlee merangkum permasalahan itu sejak 1 Juli, mengingat sudah ada usulan pihak Belanda pada 9 Mei (dalam Perundingan Hoge Veluwe) dan usulan Indonesia pada 17 Juni (surat PM Sjahrir) menandai mundurnya posisi masing-masing pihak (militer),” tulis Robert J. McMahon dalam Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence, 1945-49.

Keputusan itu mulai diwujudkan 10 September 1946 dengan penarikan berangsur-angsur –hingga 29 November 1946 dengan penarikan pasukan Inggris di Jawa– pasukan Inggris, seiring evakuasi para interniran dan tawanan perang. Satu per satu kota-kota yang diduduki Inggris berpindah tangan kepada Belanda yang mulai mengirim sekira 50 ribu pasukan. Pada 30 November 1946, SEAC resmi dibubarkan.

Baca juga: Raksasa Perang Dunia Dipermalukan di Ambarawa

TAG

proklamasi proklamasi-kemerdekaan sekutu tentara-inggris inggris

ARTIKEL TERKAIT

Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rolls-Royce Punya Cerita Seputar Deklarasi Balfour Drama Mematikan di Laut Jawa dan Selat Sunda Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Pasukan Jepang Merebut Kuala Lumpur di Musim Durian Ingar-Bingar Boxing Day Ketika Pangeran Inggris Jadi Korban Pencurian Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion