Agen OSS yang Memihak Indonesia
Agen OSS, pendahulu CIA, ini memihak Indonesia. Berbeda dengan konsul jenderal Amerika Serikat.
Setelah Jepang menyerah, Amerika Serikat mengirimkan petugas OSS (Office of Strategic Services) ke Indonesia di bawah Mayor Frederick E. Crockett. Dia mendarat di Jakarta bersama pasukan Sekutu pada 15 September 1945. Dia memimpin Operasi ICEBERG yang bertujuan untuk memulangkan tawanan perang Amerika Serikat dan membangun stasiun intelijen di Indonesia.
Dalam Operasi ICEBERG, Crockett dibantu beberapa agen, di antaranya Jane Foster, Mayor Robert A. Koke, dan Letnan Richard K. Stuart. Crockett hanya bertugas sebentar. Pada 10 Oktober 1945, dia meninggalkan Jakarta ke Singapura, dan akhirnya kembali ke Amerika Serikat. Dia digantikan oleh Robert A. Koke sebagai kepala stasiun OSS mulai 2 Desember 1945.
Dalam menjalankan tugasnya, Koke yang pernah tinggal di Bali sebelum perang, bersama Stuart, mewawancarai Sukarno dan para pejabat pemerintahannya. Mereka juga bertemu Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Baca juga: Robert A Koke Menuduh Sukarno Bernegosiasi dengan Belanda
Menurut William J. Rust dalam "Operation ICEBERG–Transitioning into CIA: The Strategic Services Unit in Indonesia", termuat di Studies in Intelligence, Vol. 60, No. 1, Maret 2016, dalam percakapan dengan Koke dan Stuart, Sjahrir berbicara tentang pertemuan tidak produktif yang dia lakukan dengan Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook dan Sir Philip Christison, komandan pasukan Sekutu. Untuk perundingan mendatang dengan mereka, Sjahrir ingin memiliki wakil yang netral. Dia lebih suka wakil itu orang Amerika Serikat tetapi bukan Walter A. Foote. Konsul Jenderal Amerika Serikat itu tidak netral, dia mendukung Belanda.
"Boleh dikata, sikap pro-Belanda Walter Foote banyak bersumber dari keakrabannya dengan masyarakat kolonial Belanda saat [dia] ditugaskan di Medan dan Jakarta sejak 1920-an," tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka karena Amerika?
Foote menjabat konsul jenderal Amerika Serikat di Hindia Belanda untuk ketiga kalinya pada 1945-1947, sebelum dipindahkan ke Colombo, Sri Lanka, pada 1948. Sehingga dia bisa berbahasa Belanda dan Bahasa Indonesianya juga cukup fasih sehingga dia bisa menulis dan menerbitkan buku pelajaran tata bahasa Melayu pada Perang Dunia II untuk personel militer Amerika Serikat.
Menurut Gouda dan Zaalberg, Foote lebih akrab dengan teman-teman Belandanya, seperti Letnan Gubernur Jenderal Van Mook. Karena telah menikmati kenyamanan suasana kolonial Hindia Belanda selama dua puluh tahun, dia dipandang sebagai seorang reaksioner kolonial garis keras.
Foote memang pernah bertemu dengan Sukarno dan memujinya sebagai "laki-laki mempesona –pembicara dan pendengar yang baik; tulus untuk mencapai penyelesaian dengan Belanda". Namun, dia cenderung menempatkan dirinya sebagai "paman" bagi para pejabat Indonesia yang masih muda, seolah mereka itu "bocah-bocah belum dewasa" yang harus mendengarkan "saudara tua" yang bijaksana dari Amerika Serikat.
Kendati terkejut melihat gencarnya dukungan rakyat bagi Republik Indonesia, Foote tetap menganggap bahwa sebagian besar orang Indonesia tidak anti-Belanda. Dia juga menuding Republik Indonesia biang keladi konflik bersenjata. Menurutnya politik Indonesia condong ke arah radikalisme. Bahkan, dia menyebut Indonesia berhubungan dengan kelompok komunis yang dilatih Uni Soviet dan pemerintah Indonesia sendiri penuh komunis dan simpatisannya.
Baca juga: Jane Foster, Intel Cantik Mengintai Republik
Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia, menyebut bahwa OSS mempunyai pandangan yang lebih baik tentang Republik Indonesia. Sewaktu dia kembali ke Washington pada November 1946, Kepala OSS di Batavia, Richard K. Stuart, memberikan pejabat-pejabat Departemen Luar Negeri gambaran sangat berbeda dari yang dilukiskan Foote:
“Pihak Belanda tidak mungkin dapat memulihkan kekuasaannya atas Indonesia, bukan saja karena kekuatan militernya berkurang setelah Perang Dunia II tetapi juga karena mereka menghadapi suatu kekuatan nasionalis yang tidak mau dihalangi,” kata Stuart.
"Walaupun dia memihak," bela Gardner, "Foote dapat menunjukkan keberhasilan di dalam memenuhi tugas utama yang diembankan kepadanya: memajukan suatu gencatan senjata yang disusul oleh suatu persetujuan politik."
Sementara itu, menurut Gouda and Zaalberg, laporan Stuart yang ditulis setelah mengamati dan menganalisis situasi sebenarnya di Indonesia selama musim gugur 1945, mendukung penilaian positif atas Sutan Sjahrir dan rekan-rekannya sesama nasionalis Indonesia.
Baca juga: Jane Foster Agen Ganda
"Stuart juga cenderung memihak nasionalisme Indonesia dalam laporan-laporannya ke Washington," tulis Gouda dan Zaalberg. "Stuart juga menyimpulkan bahwa Republik Indonesia didasarkan pada gerakan antikolonial sejati, yang sangat didukung rakyat, bukan buatan Jepang maupun konspirasi Kremlin."
Malah, lanjut Gouda dan Zaalberg, Stuart bukan satu-satunya staf OSS yang dipengaruhi pengalamannya dengan koloni-koloni Eropa yang diduduki Jepang selama Perang Dunia II. "Makin lama kita bertahan di front Asia," komentar seorang pakar intelijen OSS, "makin curiga dan OSS jadi tak setuju terhadap imperialisme Barat."
Kembali ke Amerika
Selama Perang Dunia II, Stuart belajar Bahasa Melayu (Indonesia) dalam Program Latihan Spesialisasi Angkatan Darat di Universitas Yale. Dia juga mempelajari pengetahuan mengenai sejarah dan politik Indonesia. Angkatan Darat kemudian menugaskan Stuart di bagian Research & Analysis (R&A) OSS dan ditempatkan di Indonesia.
"Ketika Richard Stuart sedang berada di Jawa, Presiden Truman membubarkan OSS [pada 1 Oktober 1945]," tulis Gouda dan Zaalberg.
Baca juga: J.F. Mailuku Orang Indonesia Jadi Agen OSS
Truman memindahkan R&A ke Departemen Luar Negeri. Departemen Perang mengambil alih cabang klandestin dan kontrintelijen OSS kemudian mengubahnya menjadi Strategic Services Unit (SSU). Namun, tak lama kemudian, SSU dibubarkan pada Januari 1946. Stuart mengundurkan diri dari SSU dan kembali ke Amerika Serikat. Setelah SSU dilikuidasi, digantikan oleh Central Intelligence Group (CIG). Akhirnya, CIG kemudian diubah namanya menjadi Central Intelligence Agency (CIA).
William J. Rust mencatat bahwa banyak perwira generasi pertama CIA –termasuk yang kemudian menjadi direktur CIA seperti Allen W. Dulles, Richard M. Helms, dan William E. Colby– adalah veteran OSS. Di antara petugas OSS di Indonesia yang memiliki karier panjang dengan CIA adalah Robert A. Koke dan Joseph Smith. Sementara Richard K. Stuart melanjutkan karier intelijennya yang panjang di Departemen Luar Negeri. Dia bekerja di Biro Intelijen dan Penelitian dan menjadi penghubung dengan CIA.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar