Masuk Daftar
My Getplus

Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi

Kelompok pemuda berbeda jalan setelah Proklamasi kemerdekaan. Sempat ada yang menodongkan pistol ke kelompok lain.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 31 Agt 2021
Pawai perayaan Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. (ANRI).

Lepas isya di Asrama Mahasiswa Prapatan 10, Jakarta. Enam puluhan orang bersiap gelar rapat penentuan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif sementara Republik Indonesia. Mereka menunggu Sukarno dan Hatta tapi tak kunjung datang. Rapat tetap berlangsung hingga pukul 22.00.

Dalam rapat 22 Agustus 1945 itu, Sutan Sjahrir sempat berbicara. Dia berkomentar tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bagi dia, cara Proklamasi kurang sreg. “Dianggapnya sebagai made in Japan,” kenang Alizar Thaib dalam 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia.

Sjahrir anti-Jepang, tapi dia condong “lunak” terhadap Sekutu. “Sjahrir sama sekali tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa kita harus menyiapkan diri untuk berperang, sehingga perdamaian atau memakai jalan perundingan merupakan satu-satunya alternatif cara perjuangan Sjahrir,” tulis Hadidjojo Nitimihardjo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo.

Advertising
Advertising

Rapat selama dua jam itu tak mencapai kesepakatan siapa saja nama-nama yang akan menjadi anggota KNIP. Meski rapat sudah bubar, masih ada sepuluh orang bertahan di ruang rapat. Mereka anggota Komite van Aksi, komite yang dibentuk oleh kelompok pemuda dari Prapatan 10 dan Menteng 31 untuk mempersiapkan Proklamasi. Nama itu mengacu pada nama jalan dan nomor kediaman mereka.

Baca juga: Detik-Detik Usai Proklamasi

Kelompok Prapatan 10 terdiri dari mahasiswa kedokteran Ika Daigaku yang terpengaruh kuat pemikiran Sutan Sjahrir, sedangkan Menteng 31 berasal dari pemuda-pemuda yang beraliran kiri dan cenderung lebih revolusioner. Dua kelompok inilah yang terlibat aktif dalam mendesak Sukarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan.

Tapi setelah Proklamasi, Prapatan 10 dan Menteng 31 berbeda pendapat tentang langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh gerakan pemuda. Prapatan 10 berupaya mengikuti saran Sjahrir dengan membentuk organisasi damai semacam palang merah. Sebab Sekutu dan Belanda akan datang lagi ke Indonesia. Itu dikatakan Sjahrir seusai rapat di depan anggota Komite van Aksi.

“Kalian tidak tahu bahwa Sekutu menang perang dan Belanda salah satu anggota Sekutu. Sebaiknya kita bentuk organisasi. Biarlah orang-orang Belanda itu kita terima. Sesudah lima tahun kita adakan pemberontakan,” kata Sjahrir seperti dikutip oleh A.M. Hanafi dalam Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan.

Mendengar itu, anggota Komite van Aksi terdiam. Lalu Djohar Noor, perwakilan kelompok Prapatan 10 di Komite van Aksi, berteriak, “Tidak! Tidak!” tanda ketidaksetujuan pada usulan Sjahrir. Dia lebih sepakat Komite van Aksi melakukan aksi frontal seperti pengambilalihan markas tentara Jepang dan memobilisasi massa seperti telah ditetapkan pada 15 Agustus 1945.

Eri Soedewo, salah satu anggota Komite van Aksi dari Prapatan 10, bangkit dari duduknya dan menghampiri Djohar. Dia tak sepakat dengan usulan itu dan buru-buru mengajak Djohar ke ruangan lain.

Baca juga: Dajal dalam Proklamasi Kemerdekaan

Eri mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menodongkannya ke kening Djohar. Terasa dingin bagi Djohar. Nyawanya hampir lepas. “Sabar-sabar,” kata Djohar. Saat itu, para pemuda dan mahasiswa membawa senjata api sudah kaprah.

Kemudian Eri mengatakan, “Revolusi sudah gagal. Pemimpin-pemimpin mesti menanggung akibatnya. Kau mengorbankan mahasiswa, padahal mahasiswa itu bunganya bangsa.”

Djohar lantas menanyakan apa mau Eri. “Mari kita dirikan palang merah. Berdemonstrasi di jalan-jalan dengan slogan-slogan. Di mana-mana, di tembok dan gedung-gedung kita coreti slogan dengan pinsil dan kwas,” kata Eri sambil menurunkan pistolnya.

Djohar meminta Eri untuk merapatkan usulan itu dengan anggota lainnya. Eri lalu menjadi pemimpin rapatnya. Ketika Eri memimpin, Djohar mewanti-wanti anggota Komite van Aksi lainnya untuk berhati-hati dengan Eri karena dia punya niat untuk membunuh mereka. Untuk menyelamatkan mereka, Djohar memasukkan teman-temannya ke mobil jenazah agar segera keluar dari Prapatan 10.

Dalam rapat, Eri menelanjangi kegagalan penerapan gagasan kelompok Menteng 31 yang memilih menggunakan cara-cara frontal dan konfrontatif untuk melucuti kekuasaan Jepang. Tapi wakil-wakil Menteng 31 membela diri.

“Bukan bermula dari kesalahan kami, pemuda Komite van Aksi. Sebab yang utama dan pertama-tama ialah kegagalan dari pihak Daindancho Kasman Singodimedjo,” terang Hanafi.

Kelompok pemuda telah meminta Kasman untuk merebut senjata-senjata tentara Jepang. Setelah itu, senjata akan diberikan ke pemuda. Tapi Kasman tak segera melakukannya. Jepang keburu menyingkirkan senjata itu. “Maka nama Kasman Singodimedjo di lingkungan kami berubah menjadi ‘Singa Kentut di atas Meja’,” lanjut Hanafi.

Baca juga: Buku Terbuka Bernama Kasman Singodimedjo

Hanafi menambahkan, julukan itu bukan bermaksud menghina. “Ini melukiskan situasi psikologis di kalangan barisan para pemuda revolusioner pada waktu itu,” sebut Hanafi.  

Djohar lalu dapat kesempatan berbicara. Dia mengajukan opsi kepada para pemuda untuk memilih: ikut Komite van Aksi atau Eri Soedewo. “Siapa yang mau ikut dengan saya bersama dalam Komite van Aksi Proklamasi, mari ke Menteng 31,” kata Djohar.

Rapat makin kisruh. Perpecahan kian nyata. Kelompok Prapatan 10 menyangsikan strategi Komite van Aksi.  

Chaerul Saleh, wakil kelompok Menteng 31, minta kesempatan berpendapat. Jam telah menunjukkan hampir pukul 3 dini hari. Dia mencoba menengahi ketegangan rapat. Menurutnya, orang-orang yang berada di ruangan itu, yang menyusun langkah-langkah Komite van Aksi setelah kemerdekaan, telah mengorbankan segalanya untuk Republik.

“Mereka adalah avant garde nasional Indonesia... Tidak satu pun di antara kawan-kawan kita anggota Komite van Aksi yang tukang catut seperti yang saudara-saudara sangsikan dan curigai,” kata Chaerul.

Chaerul juga mengatakan jika ada ketidakcocokan, selesaikan baik-baik. Dan pada akhirnya, dia mengucapkan terima kasih kepada kelompok Prapatan 10 telah memperkenankan asramanya dipakai untuk menggelar rapat-rapat penting.

Ucapan Chaerul berhasil meredakan ketegangan, tapi tidak mampu mencegah perpecahan kelompok pemuda. Kelompok Prapatan 10 tetap menempuh jalannya sendiri seperti usulan Eri Soedewo. Perjuangan kelompok pemuda terpecah dua.

TAG

proklamasi

ARTIKEL TERKAIT

Rumah Proklamasi Respons Sekutu Usai Proklamasi Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Kontroversi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia Siapa Pemilik Rumah Proklamasi? Sukarni dan Proklamasi Setelah Minta Maaf, Akankah Belanda Akui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia? Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Dana Awal Pendirian Republik