Masuk Daftar
My Getplus

Siapa Pemilik Rumah Proklamasi?

Versinya simpang siur. Kesaksian pelaku dan dokumentasi sejarah menunjukkan kepemilikan rumah sempat berpindah tangan beberapa kali. Berakhir di tangan pemerintah Indonesia melalui transaksi jual-beli dengan pemilik awal.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 17 Agt 2022
Rumah di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tempat Sukarno membacakan Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. (Dok. Bambang Eryudhawan).

BELAKANGAN beredar informasi bahwa rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 tempat Proklamasi dibacakan dibeli oleh pengusaha Arab bernama Faradj Martak. Ini berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.

Melalui surat itu pemerintah menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Faradj bin Said Awad Martak, direktur utama NV Marba (Martak & Bajdenet), yang telah membeli beberapa gedung di Jakarta antara lain gedung Pegangsaan Timur 56. Dokumen kedua berupa tulisan tangan Sukarno yang berterima kasih kepada Faradj Martak telah mengirimkan madu Arab untuk mengobati sakitnya.

Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, penulis sejarah tokoh-tokoh Arab di Indonesia, dalam tulisannya di panjimasyarakat.com, surat tersebut adalah bukti otentik, surat resmi negara dengan tanda tangan menteri negara, yang tidak mungkin NV Marba berani dan memiliki kepentingan untuk mengarang sebuah surat resmi negara. Tetapi, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah tulisan “membeli” beberapa gedung. Artinya, NV Marba (memang) tidak menempati rumah tersebut dan bukan pemilik rumah tersebut sebelumnya, tetapi mereka membelinya untuk dihibahkan kepada negara. Sehingga tidak bertentangan dengan bukti sejarah lainnya, yaitu fakta yang sudah tertera dalam buku Chairul Basri (Apa yang Saya Ingat, 2003).

Advertising
Advertising

Namun, koran Keng Po, 5 Juli 1948, memberitakan bahwa Gedung Pegangsaan 56 telah dibeli oleh pemerintah Republik Indonesia. Berikut ini berita lengkapnya (dengan penyesuaian ejaan):

Gedung Pegangsaan 56 Yang Bersejarah

Dibeli oleh Republik dengan harga f.250.000

Baru-baru ini Pemerintah Republik telah membeli gedung Pegangsaan Timur 56 ialah tempat historisch (bersejerah, red.) di Jakarta dan lebih terkenal dengan nama Gedung Republik Indonesia.

Gedung tersebut sangat berharga bagi rakyat Indonesia karena telah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Setahun kemudian di pekarangannya didirikan sebuah patung (tugu, red.) oleh rakyat Jakarta sebagai kenang-kenangan hari kemerdekaan. Kemudian para pembesar Republik menggunakan tempat itu buat perayaan resmi atau pertemuan.

Setelah pecah “aksi polisionil” pemerintah Belanda menunjuk tempat itu sebagai “daerah tawanan” di mana dr. AK Gani dan walikota Soewirjo dibatasi kemerdekaannya.

Perundingan Renville menyebabkan gedung tersebut kembali digunakan selaku Gedung Republik.

Eigenaar (pemilik, red.) rumah itu yang baru saja kembali dari Belanda telah menetapkan menjual miliknya dengan harga f.250.000 kepada Pemerintah Republik.

Selaras dengan kedudukan Jakarta sebagai ibukota federasi maka tiap-tiap negara bagian di sini mempunyai gedung sendiri guna memudahkan kepentingan utusan-utusan masing-masing. (BN).

Pemberitaan koran Keng Po mengenai pembelian rumah bersejarah ini kemudian turut pula disiarkan oleh koran berbahasa Belanda, antara lain Nieuwe Courant edisi Rabu, 7 Juli 1948 dan seminggu kemudian Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, edisi 12 Juli 1948.  

Dari kedua informasi tersebut, belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.

Lantas bagaimana riwayat kepemilikan rumah tersebut dan runtutan peristiwa yang melatarbelakangi kisah Sukarno menempatinya semasa periode pendudukan Jepang sampai dengan awal Revolusi?

Mencari Rumah untuk Sukarno

Chairul Basri adalah kakak dari sastrawan Asrul Sani. Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi anggota TNI bidang intelijen (1945–1961), kemudian bekerja di Departemen Perburuhan/Tenaga Kerja (1961–1979). Setelah pensiun dari TNI pada 1972 dengan pangkat Mayor Jenderal, dia menjadi anggota BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan Kepala Bagian Sosbud/Kesra Legiun Veteran Republik Indonesia. Salah satu anaknya, Muhammad Chatib Basri adalah ekonom yang menjadi Menteri Keuangan (2013–2014).

Pada masa pendudukan Jepang, Chairul yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatra Barat, bekerja sebagai staf di Sendenbu (Departemen Propaganda) yang dipimpin oleh Hitoshi Shimizu.

Pada suatu hari, Sukarno berkunjung ke kantor Sendenbu di Jalan Perwira, Jakarta. Shimizu memperkenalkan Chairul Basri kepada Sukarno. Shimizu kemudian meminta Chairul mencari rumah untuk Sukarno. “Pemuda, dapatkah cari rumah buat orang besar?” kata Shimizu.

Chairul menyanggupi. Dia mengaku telah beberapa kali membantu tokoh pemimpin untuk mendapatkan rumah di daerah Menteng. “Akan saya carikan sebuah rumah besar, bagus dan representatif buat Bung Karno dan terletak pada sebuah jalan yang besar,” kata Chairul dalam Apa yang Saya Ingat.

Sukarno menginterupsi, “Chairul, bukan itu yang saya maksud. Saya ingin mendiami rumah yang luas pekarangannya, agar saya dapat menerima rakyat banyak.”

Sorenya, Chairul dan rekan kerjanya, Adel Sofyan, berkeliling naik sepeda mengelilingi Menteng. Akhirnya, mereka sampai di Pegangsaan Timur. Di sana, mereka melihat rumah yang tidak begitu mewah, sederhana tapi pekarangannya luas. Beranda rumah itu terbuka. Pohon-pohon rimbun mengelilingi rumah itu. Rumputnya hijau terhampar. Ada jalan masuk laksana memasuki sebuah kebun. Chairul menilai rumah itu cocok untuk Sukarno. Setelah mengelilingi rumah itu, mereka pulang.

Besoknya, mereka melaporkan penemuan rumah itu kepada Shimizu. Shimizu kemudian menelepon Sukarno. Dia menyerahkan telepon itu kepada Chairul agar menjelaskan langsung rumah itu kepada Sukarno. Ternyata, Sukarno pernah melihat rumah itu dan tertarik karena memiliki pekarangan yang luas. Sukarno setuju dengan rumah itu. Shimizu memerintahkan Chairul kembali ke rumah itu dan berusaha mengosongkannya.

Besok sore, Chairul dan Adel pergi untuk mengurus rumah itu. Mereka disambut pembantu rumah tangga (jongos). Chairul menjelaskan maksud kedatangannya dan ingin bertemu tuan rumah. Pembantu rumah tangga memberi tahu bahwa tuan rumah tidak ada karena minggu lalu telah diinternir oleh Jepang. Yang ada hanya nyonya rumah (istrinya).

Chairul meminta agar dapat bertemu dengan nyonya rumah. Tak lama kemudian, nyonya rumah keluar dengan seorang anak kecil berumur tiga atau empat tahun.

“Kami memberi hormat dan saya menjelaskan dalam bahasa Belanda tentang maksud kedatangan kami. Jika diizinkan kami ingin melihat rumah itu dan jika nyonya bersedia, pemerintah Jepang ingin menukar rumah itu. Pemerintah memerlukan rumah ini,” kata Chairul.

Muka nyonya rumah merah karena marah. Dengan suara tinggi, dia berkata, “Saya tidak perduli dengan pemerintah Jepang. Apapun yang terjadi saya tidak akan keluar dari rumah ini. Dan saya tidak bersedia membicarakan dengan tuan-tuan.”

Chairul dan Adel terdiam dan memahaminya: suaminya baru saja diinternir Jepang dan sekarang tempat tinggal yang disayanginya akan diambil pula.

Chairul dan Adel meninggalkan rumah itu dan melaporkannya kepada Shimizu. Mereka mengusulkan sebaiknya rumah itu dikosongkan secara resmi oleh pemerintah Jepang dan nyonya rumah diberikan rumah pengganti. Shimizu menerima usul itu.

Seminggu kemudian, rumah itu berhasil dikosongkan. Nyonya itu dipindahkan ke sebuah rumah bertingkat yang cukup bagus di Jalan Lembang. Rumah ini jauh lebih besar dari rumahnya yang lama, tapi pekarangannya tidak begitu luas.

“Semenjak itu mulailah Bung Karno menempati rumah Pegangsaan Timur 56. Ternyata rumah ini akan menjadi rumah yang bersejarah. Tidak saja menjadi tempat tinggal Bung Karno, tetapi di tempat itu pulalah pada 17 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan,” kata Chairul.

Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).

“…Mr. Jhr. P. R. Feith satu advokat muda yang kabarnya ada satu spesialis dalam urusan persdelict. Ini Mr. Feith ada itu orang siapa punya gedung di Pegangsaan belakangan jadi berhikayat sebab jadi tempat tinggalnya presiden republik di mana proklamasi pendirian republik sehabisnya Jepang takluk diproklamirkan pada 17 Agustus 1945,” tulis Kwee Kek Beng.

Sebelum milik Mr. Jhr. P.R. Feith, rumah itu menjadi tempat tinggal Prof. F.M. Baron van Asbeck, guru besar RHS (Rechtshogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum). Ini diketahui dari keterangan pelaku sejarah dr. Soeharto, dokter pribadi Presiden Sukarno, dalam memoarnya, Saksi Sejarah.

Pada 1928, Soeharto menjadi mahasiswa GHS (Geneeskundige Hogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran), perubahan dari Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Kedokteran Bumiputra). Dia mendapat beasiswa dari pemerintah melalui Departement van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Agama) dan Tjandi Stichting (Yayasan Tjandi) di Belanda.

Pewakilan Tjandi Stichting di Batavia adalah Prof. F.M. Baron van Asbeck. Tempat tinggalnya di Pegangsaan Timur 56.

“Setiap bulan saya harus pergi ke Pegangsaan Timur 56 menemui Prof. Dr. F.M. Baron van Asbeck untuk menerima beasiswa dari Tjandi Stichting. Sungguh tidak saya sangka bahwa lima belas tahun kemudian setiap hari saya harus pergi ke Pegangsaan Timur 56 juga, sebagai dokter pribadi dan pembantu Bung Karno, bahkan menyaksikan Proklamasi kemerdekaan di tempat itu juga,” kata Soeharto.

Menurut arsitek Bambang Eryudhawan dalam “Sukarno, Bapak Arsitek Indonesia”, termuat dalam Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektur di Indonesia, wawasan arsitektur Sukarno terbukti bermanfaat ketika dia harus memilih rumahnya. Dia mengajukan kriteria kepada pihak Jepang bahwa rumah yang diinginkannya harus berpekarangan luas agar dia dapat menerima rakyat banyak.

Rumah yang ditawarkan kepadanya tidak di jalan bergengsi seperti Oranje Boulevard atau Van Heutsz Boulervard (sekarang Jalan Diponegoro dan Jalan Teuku Umar), tetapi di Pegangsaan Timur 56. Di luar dugaan, Sukarno merasa cocok karena rumah itu memenuhi persyaratan yang dia minta.

“Tidak disangka rumah itu menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Naluri kerakyatan Sukarno yang diperkaya dengan visi kesejarahan dan penguasaannya tentang ruang, gerak, dan waktu terbukti ampuh,” tulis Bambang.

Kantor Perwakilan

Setelah Sukarno hijrah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, rumah Pegangsaan Timur 56 menjadi kantor pemerintahan Republik Indonesia. Buku Republik Indonesia: Kotapradja Djakarta Raya, terbitan Kementerian Penerangan tahun 1953, menyebut bahwa gedung ini dijadikan sebagai monumen nasional atau gedung yang bersejarah. Sebagai gedung perwakilan Republik Indonesia, gedung ini merupakan kantor perwakilan yang boleh dibanggakan.

Setelah Sukarno meninggalkan gedung ini, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mendiaminya selama kira-kira satu tahun. Setelah itu, rumah ini jadi tempat tinggal dr. A.K. Gani (wakil perdana menteri) dan Mr. Amir Sjarifuddin (perdana menteri) selama dua bulan. Seorang inspektur polisi juga pernah mendiaminya selama tujuh bulan. Selain itu, Soewirjo, walikota Jakarta Raya pertama, pernah pula mendiaminya sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Jakarta.

“Bilamana ada tamu-tamu dari daerah pedalaman ataupun tamu-tamu untuk Republik Indonesia dari luar negeri, gedung tersebut dijadikan gedung penginapan sementara sambil menunggu mendapatkan perumahan yang lain,” tulis buku tersebut.

Sebagai kantor pewakilan Republik Indonesia, rumah Pegangsaan Timur 56 menjadi sasaran teror. Misalnya, pada Juli 1946, pengendara jip melemparkan granat ke arah pengawal Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Untung ledakan granat itu tidak menimbulkan korban, hanya pos penjaga mengalami kerusakan.

Tentara Belanda menyerang rumah ini pada agresi militer pertama 21 Juli 1947. Orang-orang Republik yang berada di dalam gedung ditangkap dan disekap. “Arsip Sutan Sjahrir di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, habis dibakar oleh Wakil Perdana Menteri A.K. Gani supaya jangan jatuh ke tangan Belanda kalau rumah itu nanti digeledah oleh mereka,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Perang Gerilya Semesta.

Begitu pula pada agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948, tentara Belanda menangkap dan menahan orang-orang Republik di gedung itu. Sebelumnya, tentara Belanda menyerang anggota Pandu (sekarang Pramuka) yang sedang memperingati Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1948 dengan membuat api unggun. Peristiwa Pegangsaan Timur ini menelan korban jiwa, seorang Pandu bernama Soeprapto gugur ditembak tentara Belanda.

Menurut buku Kotapradja Djakarta Raya menyebut bahwa pada 1 Juli 1948 gedung Pegangsaan Timur 56 dijadikan gedung resmi pemerintah Republik Indonesia, di mana Pak Munar (Munar S. Hamidjojo?) diangkat sebagai gedelegeerde atau wakil pemerintah Republik Indonesia.

Penetapan tersebut setelah pemerintah Republik Indonesia membeli rumah itu dari pemiliknya yang baru kembali dari Belanda, sebagaimana diberitakan koran Keng Po, 5 Juli 1948: “Baru-baru ini Pemerintah Republik telah membeli gedung Pegangsaan Timur 56… Eigenaar (pemilik, red.) rumah itu yang baru saja kembali dari Belanda telah menetapkan menjual miliknya dengan harga f.250.000 kepada Pemerintah Republik.”

Pada masa Indonesia berbentuk federal, di gedung resmi pemerintah Republik Indonesia ini ditandatangani Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat oleh wakil-wakil dari negara-negara bagian.

Setelah Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan, rumah ini menjadi kediaman Mohammad Natsir selama menjabat Perdana Menteri (September 1950–Maret 1951).

Gedung Pola

Menurut buku Kotapradja Djakarta Raya, pada 17 Juli 1951, rumah Pegangsaan Timur 56 diserahkan secara resmi kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Rumah ini dijadikan memorial house atau gedung peringatan. Rumah ini dapat digunakan sebagai tempat tinggal sementara bagi tamu-tamu dari dalam dan luar negeri dengan izin dari kantor kabinet perdana menteri.

“Rumah itu sekarang telah tiada. Ternyata Bung Karno sendirilah yang memerintahkan membongkar rumah itu,” kata Chairul.

Pada 15 Agustus 1960, rumah Pegangsaan Timur 56 dan Tugu Proklamasi, dihancurkan dan diratakan dengan tanah.

“Di atas fundamen yang lama dibangun sebuah gedung bertingkat yang pada waktu itu dimaksud sebagai Gedung Pola. Sebuah gedung yang akan digunakan sebagai kantor untuk merencanakan pembangunan, tempat ahli-ahli pikir berkantor yang akan menata Indonesia merdeka yang adil dan makmur,” kata Chairul.

Pembangunan Gedung Pola dimulai pada 1 Januari 1961. Selain itu, di tempat pembacaan Proklamasi kemerdekaan dibangun Tugu Petir atau Tugu Proklamasi. Pada tugu itu terdapat tulisan: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Sementara itu, Tugu Proklamasi untuk memperingati hari kemerdekaan yang pertama, dibangun ulang dan diresmikan pada 17 Agustus 1972.

Gedung Pola kemudian dikenal dengan Gedung Perintis Kemerdekaan. Di depan gedung itu dibangun Monumen Proklamator Sukarno-Hatta pada November 1979 dan diresmikan pada 17 Agustus 1980.*

TAG

proklamasi

ARTIKEL TERKAIT

Rumah Proklamasi Respons Sekutu Usai Proklamasi Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Kontroversi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia Sukarni dan Proklamasi Setelah Minta Maaf, Akankah Belanda Akui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia? Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi Dana Awal Pendirian Republik