Prangko itu sudah lusuh. Warnanya memudar. Tapi gambarnya masih cukup terlihat. Seekor sapi di tengah sawah dengan latar belakang alam perdesaan. Di sudut atas tertera tulisan “FONDS KEMERDEKAAN”. Perangko ini terbit pada 1946 dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai Republik Indonesia yang baru lahir pada Agustus 1945.
Fonds Kemerdekaan tadinya bernama Fonds Perang dan Kemerdekaan. Dibentuk pada 1 Februari 1945, fonds ini bertujuan untuk mendanai persiapan Indonesia sebagai negara merdeka setelah keluarnya janji Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944.
“Fonds Perang dan Kemerdekaan berupaya untuk membela tanah air, menolong dan memberikan pendidikan rakyat, menambah tenaga rakyat dan memperkokoh dasar kemerdekaan,” catat Asia Raya, 3 Juli 1945.
Baca juga: Saweran Rakyat untuk Kemerdekaan dan KPK
Jawa Hokokai, organisasi bentukan Jepang, bertanggung jawab mengumpulkan dana tersebut dari masyarakat. Bentuknya bisa uang atau barang berharga. Sebagai awalan dan teladan bagi masyarakat, para tokoh Jawa Hokokai lebih dulu menyumbangkan hartanya ke fonds ini. Masyarakat menyambut girang pembentukan fonds ini.
Harian Tjahaja, 7 Februari 1945, mengabarkan Sukarno, Abikoesno, Otto Iskandardinata, Mr. Sartono, dan Soekardjo Wirjopranoto telah menyumbang f1.000. Setelah itu, perusahaan pun mengikuti jejak tokoh-tokoh tersebut. Perseroan Tanggung-Djiwa Boemipoetra, misalnya, menyumbang uang sebesar f35.000.
Para pengusaha tak mau ketinggalan. Pengurus Perusahaan Batik Bendoengan dari Palmerah, Tanah Abang, Jakarta, datang langsung menghadap Sukarno dan menyumbang f2.000. Pengusaha warung yang terhimpun dalam Perserikatan Warung Bangsa Indonesia (Perwabi) menyerahkan uang sebanyak f10.000.
Pengusaha dari Madiun memilih menyumbang barang berharga. Mereka datang membawa dua peti besar berisi emas seberat 3,167 kilogram, perak 31,368 kilogram, dan logam lain 1,115 kilogram. Totalnya sekira f72.000.
Baca juga: Membiayai Republik dengan Perdagangan Gelap
Pemberitaan terhadap sumbangan-sumbangan itu meluas. Warga jelata terpacu untuk berbuat serupa demi merengkuh mimpi Indonesia merdeka. Mereka berbondong-bondong mendatangi kantor perwakilan di tiap Karesidenan untuk menyumbang uang, harta benda, dan platina.
“Saya masih ingat, mungkin karena saya terpengaruh propaganda Jepang, saya pernah melorotkan gelang-gelang saya, empat pasang gelang emas, saya kasihkan kepada mereka (para petugas Jepang) sebagai pinjaman nasional,” kenang Hafni Zahra Abu Hanifah, seorang penyumbang, dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya.
Dasar kepercayaan mereka terletak pada perbuatan para tokoh nasional. Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan ke Indonesia, mereka kurang percaya. Tapi begitu para tokoh nasional menyambut janji itu dan turut menyumbang Fonds Perang dan Kemerdekaan, rakyat pun mengikutinya.
Kepercayaan rakyat kepada Fonds Perang dan Kemerdekaan tak luntur saat muncul desas-desus bahwa pihak Jepang membawa kabur barang-barang itu melalui kapal laut. “Mungkin sudah diambil, dibawanya, dan kemudian dikabarkan kapal yang membawanya tenggelam,” lanjut Hafni Zahra.
Baca juga: Pinjaman Nasional 1946, Pinjaman Warga untuk Republik
Untuk menghadapi desas-desus tersebut, Jepang mengumumkan secara rutin laporan dan alokasi penggunaan Fonds Perang dan Kemerdekaan di harian Asia Raya dan majalah Djawa Baroe.
Pemberitaan itu antara lain memuat peruntukan sumbangan platina untuk diolah menjadi lebih berharga dan bisa dijual. Hasil penjualan platina olahan tersebut digunakan untuk membeli senjata, peralatan perang, dan kebutuhan prajurit di garis depan seperti obat-obatan, pakaian, dan makanan.
Di luar peruntukan perang, dana dari masyarakat dialokasikan untuk membiayai sayembara pembuatan poster, syair, dan semboyan. Sayembara tersebut bertujuan mencari dukungan rakyat terhadap Jepang dan program Fonds Perang dan Kemerdekaan.
Sayembara ini mendapat perhatian luas dari masyarakat. Tjahaja, 17 Juli 1945, mencatat ada 76 poster, 674 syair, dan 1.498 semboyan masuk ke panitia sayembara. Di kategori poster, juri memutuskan tak ada pemenangnya lantaran tak ada yang sesuai dengan tujuan sayembara.
Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan
Di kategori syair dan semboyan, juri menetapkan juara 1, 2, dan 3. Mereka berhak memperoleh uang sebesar f100, f30, dan f10. Jumlah ini cukup kecil bila dibandingkan dengan dana yang terkumpul.
Jawa Hokokai dibubarkan pada 15 Agustus 1945 seiring dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Hasil penggalangan Fonds Perang dan Kemerdekaan dari Jawa Hokokai cukup berhasil dan dananya masih tersisa sebesar f2.000.000.
Sisa dana itu sangat berguna untuk membiayai keperluan menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia dan beberapa hari setelah Proklamasi. “Seperti untuk biaya pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta sekeluarga serta pemimpin-pemimpin lainnya, biaya untuk mencari dan merampas senjata dari Jepang, untuk pengiriman kurir, mencetak bendera-bendera dari kertas, biaya pasukan yang beroperasi di Jakarta, biaya utusan dari daerah,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia.
Sumbangan dari berbagai kalangan masyarakat itu turut mendukung keberhasilan Proklamasi Indonesia. Tanpa Fonds Perang dan Kemerdekaan yang dipersiapkan lebih dulu, Republik akan kesulitan membiayai kegiatan awalnya. Sukarno sempat mengganti Fonds Perang dan Kemerdekaan menjadi Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI) pada 21 Agustus 1945. Fonds ini masih digalang hingga tahun 1949.