Masuk Daftar
My Getplus

Membiayai Republik dengan Perdagangan Gelap

Indonesia melakukan perdagangan gelap karena blokade ekonomi Belanda. Hasilnya untuk membiayai perjuangan Republik.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 10 Jul 2021
Ilustrasi perdagangan di pinggir sungai. (nationalarchief.nl).

Slamet Iman Santoso, dokter di Rumah Sakit Oemoem Negeri (RSON) Jakarta (sekarang RSCM), berjalan hati-hati. Dia menengok ke belakang berkali-kali kalau-kalau ada yang mengikuti. Langkahnya hampir sampai ke rumah seorang pedagang keturunan Tionghoa di Pasar Pagi, Kota Tua.

Slamet bertemu dengan pemilik rumah, lalu mendapat secarik kertas bertuliskan huruf kanji. Dari sana, dia melangkah menuju tempat seorang serdadu Gurkha. Arkian itu dia harus menemui nelayan, kemudian pedagang. Ada total enam orang dia temui hanya untuk memperoleh Oeang Republik Indonesia (ORI).

Tiap kali bertemu dengan orang-orang itu, Slamet mendapat kode dan petunjuk tertentu. Tujuannya untuk menghindari kecurigaan tentara NICA. Kala itu sekira 1946 atau 1947, Slamet mengemban tugas untuk membeli obat-obatan selundupan dengan uang selundupan pula. Pengalamannya tertuang dalam Warna-Warni Pengalaman Hidup.

Advertising
Advertising

Masa itu, Republik tak hanya diperjuangkan dengan senjata atau diplomasi, tapi juga melalui perdagangan selundupan. Banyak Republiken menempuh jalan berbahaya ini demi menyokong perjuangan senjata dan diplomasi.

Baca juga: Pinjaman Nasional 1946, Pinjaman Warga untuk Republik

Manurut Thomas J. Lindblad dalam Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, perdagangan selundupan sebenarnya istilah dari Belanda. Sebab saat itu Belanda memberlakukan blokade ekonomi di beberapa pelabuhan dan perairan Jawa dan Sumatra. Maksudnya supaya Republik kesulitan memperoleh pembiayaan perjuangan bersenjata dan diplomasinya.

Bagi Soedarpo Sastrosatomo, pengusaha sekaligus orang yang pernah mengelola devisa dari keuntungan perdagangan luar negeri pada masa revolusi, “apa yang disebut ‘penyelundupan’ itu adalah perdagangan komoditas ekspor biasa, seperti karet, kopi, dan juga candu,” tuturnya dalam Pelaku Berkisah.  

Tak sedikit pula kaum Republik yang menyebut perdagangan pada masa itu sebagai “penerobosan blokade Belanda”. Sementara bagi pihak yang diajak berdagang dengan kaum Republiken, perdagangan itu disebut perdagangan barter. Sebab transaksinya tak selalu menggunakan uang, tetapi juga dengan barang.

Perdagangan kaum Republik terjadi dengan orang-orang di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Burma. Jalur perdagangannya menggunakan jalur penyelundupan pedagang Tionghoa yang telah ada sebelum Perang Dunia II.

Beberapa pelabuhan untuk perdagangan itu antara lain berada di Aceh, Jambi, Tegal, Riau, dan Palembang. Jambi dan Riau bahkan menjadi pintu masuk ke Singapura.

Baca juga: Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India

Di Sumatra, perdagangan itu dimotori oleh Teuku Mohamad Daud, anggota Komando Militer Sumatra, dan Teuku Abdul Hamid Azwar, paman Teuku Mohamad Daud. Perdagangan itu semula bertujuan mendapatkan perlengkapan militer dan senjata.

“Untuk membiayai semua itu saya dan paman saya, Teuku Abdul Hamid Azwar, mulai menyelundupkan komoditas pertanian dari Riau, daerah yang terdekat dengan Singapura,” tutur Teuku Mohamad Daud dalam Pelaku Berkisah.

Teuku Mohamad Daud mengakui awalnya cukup berat menembus blokade ekonomi Belanda dan memperdagangkan komoditas pertanian. Sebab, dia pun tak punya pengalaman dalam berdagang. Dia lalu beralih ke komoditas perkebunan seperti kopi, teh, dan karet. Perlahan blokade bisa ditembus dan perdagangan menjadi sesuatu yang mereka kuasai.

Tak hanya itu, Teuku Mohamad Daud dan pamannya juga mulai membuka jejaring perdagangan dengan banyak pihak sehingga menyebabkan perdagangan itu berkembang. Pedagang di Singapura pun membutuhkan barang-barang dari Sumatra. Karena itu, mereka berani menjamin keamanan aktivitas dagang orang Indonesia di Singapura.

Karena jaminan itu, pemerintah Indonesia berani mendirikan kantor perwakilan dagang resmi, Indonesian Office (Indoff) pada 1947. Setelahnya, pemerintah Indonesia juga membentuk Kementerian Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPULN), seksi khusus perdagangan luar negeri di bawah Kementerian Pertahanan.

Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan

Perdagangan luar negeri tak hanya didominasi oleh pihak militer. Audrey Kahin dalam “Perdagangan dan Pajak: Aspek Ekonomi Sumatra Barat di Masa Revolusi” yang termuat dalam Denyut Nadi Revolusi, menyebut aktor perdagangan juga berasal dari Minangkabau Trading Company dan Sumatera Banking Trading Corporation. “Keduanya tergantung pada ekspor kopra,” tulis Audrey.

Sementara itu, di Sumatra Selatan, Menteri Kemakmuran A.K. Gani, mengkoordinasi perdagangan ke Singapura. Dia membentuk Badan Kebajikan Indonesia (BKI) untuk menjadi perantara barter dengan pedagang Singapura.

Selama aktivitas perdagangan gelap itu berlangsung, pemerintah Republik menemukan sejumlah tindakan aji mumpung dari para pedagang. Beberapa di antaranya justru menjual komoditas ekspor tersebut untuk kepentingan pribadi. Kritik pun mengalir deras dari BP-KNIP (Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat) –semacam DPR sementara. Karena itu, Perdana Menteri Mohammad Hatta mengusulkan pembentukan organisasi perdagangan yang legal.

“Ini dapat dicapai dengan memisahkan operasi militer dari operasi penyelundupan atau operasi perdagangan,” terang Teuku Mohamad Daud.

Atas saran itu, Teuku Mohamad Daud dan pamannya mendirikan Central Trading Company (CTC) sebagai perusahaan dagang milik pemerintah di Bukittinggi pada 1947. Nama berbahasa Inggris dipilih untuk mengesankan perusahaan itu bonafide dan besar sehingga membuat pedagang lainnya percaya.

CTC berkembang pesat. Cabangnya ada di seluruh Sumatra (Jambi, Sumatra Barat, dan Aceh). Mereka juga dapat suntikan modal dan berpeti-peti opium dari Jawa yang dikirim lewat pesawat kecil. “Kami jual barang itu dan barang-barang lain kepada pedagang China di Pekanbaru, yang kemudian menyelendupkannya ke Malaya,” kisah Teuku Mohamad Daud.

Baca juga: Candu untuk Revolusi Indonesia

Untuk arus perdagangan gelap dari Jawa, pemerintah Republik melegalkannya dengan pendirian Banking Trading Corporation (BTC). “Suatu perusahaan yang menggabungkan unsur kegiatan dengan pembiayaan guna meningkatkan perdagangan di luar negeri,” tulis Mestika Zed dalam “Persaingan dalam Aliansi: Peranan Kepialangan dalam Revolusi di Palembang 1945–1950”, Prisma No. 6, 1993.

BTC diketuai oleh Sumitro Djojohadikusumo dan berkantor di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat. Sumitro berhasil meyakinkan pedagang dari Amerika Serikat untuk membeli gula, karet, kina, dan teh dari Indonesia. Pengiriman telah dijadwalkan dengan menggunakan Kapal Martin Behrman. Tapi kapal itu kena razia Angkatan Laut Belanda. Barang-barangnya disita.

Tak patah arang, BTC kemudian menjajaki kemungkinan penjualan ke pedagang Kanada. Perdagangan ini berjalan lancar. Indonesia mendapat kayu, gandum, dan mesin-mesin, sedangkan Kanada memperoleh kina, minyak goreng, dan kopra.

Selama tahun 1945–1949, perdagangan gelap berbagai komoditas dari Indonesia telah terbukti mampu memperpanjang napas perjuangan Republik. Pada 1946, misalnya, nilai perdagangan gelap dari Sumatra dan Jawa mencapai 21 juta dolar Singapura atau setara dengan Rp21 miliar (kurs 1000 rupiah = 1 dolar Singapura).

Jumlah tersebut lebih tinggi dari penerimaan negara melalui sumber-sumber pendapatan biasa. Menurut catatan Kementerian Keuangan pada 25 November 1948, penerimaan itu hanya mencampai Rp395 juta pada November 1948.

Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, beberapa organisasi perdagangan berubah menjadi perusahaan-perusahaan nasional yang kuat. Dari perdagangan gelap itu pula muncul pengalaman baru yang menjadi modal penciptaan pengusaha swasta nasional.

TAG

perdagangan revolusi indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Armada Portugis Membuka Gerbang Dominasi Asia Kerajaan Aru, Riwayat Negeri Perompak Perintis Perdagangan Amerika di Nusantara Pulau Liur Naga di Sumatra Persekutuan Jenderal dan Pengusaha Pulau Emas di Barat Nusantara Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Filantropi Tjong A Fie Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule Keluarga Ament Tuan Tanah Cibubur dan Tanjung Timur