DHEA Erissa, 19 tahun, penyandang cerebral palsy (kelainan pada otak), duduk di atas kursi rodanya, ditemani ibunya mendatangi posko Saweran KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jalan HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta, 10 Juli 2012 lalu. Mahasiswi jurusan antropologi Universitas Indonesia tahun kedua itu menyumbang Rp25 ribu. “Semoga banyak yang menyumbang dan pemberantasan korupsi jalan terus,” kata Dhea terbata-bata. Sakit yang diderita membuatnya sulit bergerak dan bicara.
Ilian Deta Arta Sari, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga koordinator posko Saweran KPK mengatakan banyaknya sumbangan menunjukan tingginya kepedulian masyarakat terhadap KPK. “Ini pesan buat DPR, jangan remehkan rakyat kecil. Meski sumbangannya kecil, tapi kalau banyak yang menyumbang lama-lama menjadi besar,” ujarnya.
Sampai hari ke-13 (9 Juli 2012), dana yang terkumpul sudah mencapai Rp200.000.624. Saweran KPK tak terbendung dan merambah berbagai daerah, bahkan luar negeri. Gerakan Saweran KPK bermula ketika DPR menentang permintaan KPK untuk membangun gedung baru. KPK beralasan gedung lama yang berusia 31 tahun itu dihuni 650 karyawan, padahal daya tampungnya hanya untuk 350 orang. Karena dana selalu ditolak DPR, dalam rapat dengan Komisi III pada 21 Juni 2012, Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto menggulirkan ide penggalangan dana publik.
Jamil Mubarok, aktivis Masyarakat Transparansi Indonesia, sehari setelah DPR menolak dana pembangunan gedung KPK mengatakan penggalangan dana masyarakat ini merupakan simbol perlawanan terhadap DPR. “Ini bukan semata mengumpulkan uang, tapi simbol perlawanan masyarakat terhadap tirani DPR dan dukungan terhadap KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia,” kata Jamil 28 Juni yang lalu.
Gerakan pengumpulan dana publik berawal dari solidaritas "Koin untuk Prita" untuk membantu Prita Mulyasari terpidana kasus pencemaran nama baik RS OMNI Internasional, Alam Sutera, Serpong. Dana hasil gerakan itu digunakan untuk membantu pembayaran denda Prita kepada RS OMNI Internasional Alam Sutera, Serpong.
Sekarang "Koin", Dulu "Fonds"
Sejarah penggalangan dana masyarakat terjadi sejak lama. Pada 16 Juni 1948, dalam jamuan makan yang digelar Gabungan Saudagar-saudagar di aula Hotel Aceh, Kotaraja, Presiden Sukarno menganjurkan kepada rakyat Aceh agar membantu usaha membuka perhubungan udara. “Di sini saya anjurkan supaya kaum saudagar membeli kapal udara, sebaiknya Dakota… Satu Dakota harganya hanya 25 kilogram emas,” kata Sukarno.
Para saudagar Aceh menyanggupi membeli dua pesawat Dakota. Untuk itu, di seluruh Aceh dibentuk Dakota Fonds untuk menghimpun sumbangan dari masyarakat. “Terdorong oleh kesadaran dan rasa cinta akan kemerdekaan, masyarakat Aceh menyambut hangat pengumpulan dana tersebut, dan sebagian besar mereka dengan ikhlas menyerahkan perhiasan emas dan uang tunainya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk, dalam Kronik Revolusi Indonesia IV.
Dalam buku yang sama Pram menulis pesawat terbang RI 001 Seulawah itu adalah satu dari dua pesawat hasil sumbangan rakyat Aceh. Pram menambahkan bahwa, “pesawat yang kedua tidak menjadi kenyataan, sungguhpun dana untuknya telah diserahkan.”
Pengumpulan emas juga dilakukan para perempuan ketika Jepang kian terdesak dalam Perang Pasifik. Harian Sinar Baroe, 20 Desember 1944, menyiarkan maklumat Jawa Hokokai Fujinkai: “menganjurkan kaum perempuan, khususnya anggota Fujinkai, untuk menunjukan kebaktiannya dengan menyerahkan perhiasannya kepada pemerintah untuk kepentingan peperangan.”
“Anjuran membaktikan barang-barang permata untuk menyokong usaha perang disambut oleh penduduk Jawa dengan cara yang hangat,” tulis Sinar Baroe, 15 Januari 1945.
Pengumpulan dana tersebut dinamakan Fonds Perang, yang diputuskan oleh Chuo Sangi In (Badan Penasihat Pusat), lembaga “perwakilan” Indonesia untuk memberikan saran kepada Jepang; pada 1943. Penggalangan dana Fonds Perang dilakukan mulai dari desa (ku) sampai karesidenan (syu) dengan berbagai cara, seperti dalam peringatan hari besar nasional, pasar malam, atau pertunjukan kesenian.
Fonds Perang kemudian ditambahi kata “Kemerdekaan” setelah Perdana Menteri Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada Indonesia di depan parlemen Jepang pada 7 September 1944. Seperti dimuat Sinar Baroe, 2 Februari 1945, Fonds Perang dan Kemerdekaan masuk dalam anggaran dasar dan anggaran khusus Jawa Hokokai yang baru. Pasal 24 tentang Fonds Perang dan Kemerdekaan berbunyi: “Dalam Jawa Hokokai diadakan fonds yang maksudnya mengumpulkan uang dan harta benda yang disembahkan oleh penduduk di Jawa atau badan-badan lain untuk menyempurnakan usaha perang ATR (Asia Timur Raya) serta mengokohkan dasar kemerdekaan Indonesia dan yang berusaha mengurus sebaik-baiknya buat menyempurnakan maksud di atas.”
Pada anggaran khusus tentang Fonds Perang dan Kemerdekaan dinyatakan bahwa fonds akan digunakan untuk pembelaan tanah air, menolong dan pendidikan rakyat, serta menambah tenaga perang dan memperkokoh dasar kemerdekaan.
Fonds Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, kata “Perang” dihilangkan dan namanya diubah jadi Fonds Kemerdekaan. Mulai 18 Agustus 1945, dr R Soeharto, dokter pribadi Presiden Sukarno, berkantor di Pegangsaan Timur 56 dan diserahi tugas sebagai bendahara kemudian wakil ketua Fonds Kemerdekaan Pusat. Wakil Presiden Mohamad Hatta jadi ketuanya.
“Tugas saya sehari-hari di Pegangsaan Timur 56 mengurus uang yang disumbangkan dan disampaikan untuk Fonds Kemerdekaan Indonesia, terutama melalui Bung Hatta, dan juga mengurus berbagai pengeluaran uang atas perintah Bung Karno atau Bung Hatta,” kata Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah.
Pengeluaran itu, kata Soeharto, sebagian besar untuk membekali orang-orang atau rombongan utusan daerah yang hendak kembali ke daerahnya. Fonds Kemerdekaan juga menyediakan modal untuk pembentukan bank pertama yang didirikan dan dimiliki pemerintah Indonesia.
Adalah RM Margono Djojohadikoesoemo yang menggagas pendirian bank pemerintah. Setelah dibicarakan dengan Bung Hatta, pemerintah menerbitkan surat kuasa pada 16 September 1945 yang menunjuk Margono untuk menyiapkan pendirian bank tersebut. Margono membentuk Yayasan Pusat Bank Indonesia (PBI) yang didaftarkan pada Notaris Soerojo di Jakarta pada 9 Oktober 1945. Dia menjabat direktur yayasan dan berkantor di Jalan Menteng Raya 23 Jakarta itu. Modalnya cuma Rp5 ribu, hasil sumbangan rakyat dalam Fonds Kemerdekaan, yang jelas tak mencukupi kebutuhan operasional sebuah bank.
Fonds Kemerdekaan lantas menyumbang sampai modal yayasan menjadi Rp340.000 (uang zaman Jepang). Dalam sebulan dana masyarakat yang terkumpul mencapai Rp31 juta. Pada 5 Juli 1946, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 tahun 1946 yang mengesahkan berdirinya bank milik pemerintah yang bernama Bank Negara Indonesia.
Fonds Kemerdekaan juga diselenggarakan di daerah-daerah. “Fonds Kemerdekaan merupakan dana lokal yang dibentuk di setiap kabupaten oleh Komite Nasional Indonesia Daerah. Kebanyakan orang-orang Tionghoa dan Arab memberikan sumbangannya untuk memperlihatkan dukungannya kepada kemerdekaan,” tulis Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah.
Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi, Fonds Kemerdekaan berjasa besar menyokong perjuangan, terutama di sekitar permulaan masa revolusi di tahun 1945. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1948, Fonds Kemerdekaan dilikuidasi dan dibentuk badan serupa bernama Fonds Nasional.
“Kekayaan Fonds Kemerdekaan berjumlah lebih kurang Rp5.000.000 dioperkan kepada badan baru itu, yang juga meneruskan usaha-usaha badan yang lama, di antaranya mengadakan studie-fonds, memberi pertolongan kepada badan-badan sosial dan usaha-usaha nasional lainnya,” tulis Pram.
Jika dulu rakyat melakukan saweran untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajah, maka sekarang untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari korupsi.