Masuk Daftar
My Getplus

Blok M Mal Dulu Hiruk Pikuk Kini Mati Suri

Pernah menjadi tempat nongkrong paling populer di Jakarta, kini Blok M Mal sepi pengunjung.

Oleh: Fernando Randy | 22 Okt 2022
Suasana sepi didalam terowongan Blok M Mal Jakarta Selatan. (Historia/Fernando Randy).

Kawasan Blok M, Jakarta Selatan, identik dengan keramaian anak muda perkotaan. Hal ini tidak lepas dari perencanaan tata kota pada 1950an, yang menjadikan Kebayoran Baru, termasuk Blok M, sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan berbagai infrastruktur pendukung. Blok M pada 1980-2000an adalah tempat yang ramai oleh banyak orang dengan berbagai aktivitas, mulai dari berwisata kuliner, berbelanja, atau hanya sekadar berkumpul bersama teman.

Seorang warga saat ingin memasuki gerbang menuju ke Blok M Mal dari arah terminal. (Historia/Fernando Randy)

Karena dianggap sebagai daerah yang potensial dari aspek ekonomi, pemerintah melakukan pengembangan kawasan Blok M, antara lain dengan membangun Mal Blok M dan Terminal Blok M pada 1992 yang terintegrasi. Bagian mal berada di bawah terminal dan dilengkapi akses bagi masyarakat untuk masuk dan keluar terminal. Jadilah Mal Blok M tempat yang selalu ramai oleh banyak orang, oleh pedagang, pembeli, maupun orang yang sekadar lewat. Namun, layaknya roda kehidupan, keriuhan terminal maupun aktivitas jual-beli orang terus menurun seiring perubahan zaman. Kini, tak terdengar lagi suara lantang para pedagang menawarkan dagangannya atau suara pembeli menawar harga. Bahkan keramaian orang yang melintas keluar-masuk kawasan mal dan terminal juga sudah menghilang.

Suasana saat ini di depan pintu masuk utama Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Tampak deretan toko yang tutup saat ini di Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Tampak barang didalam toko yang dibiarkan begitu saja di Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Suasana sepi dan sunyi di dalam Blok M Mal saat ini. (Historia/Fernando Randy)

Kini, suasana mal Blok M sunyi dan temaram. Para pedangang yang masih bertahan bisa dihitung dengan jari. Jumlah mereka tampak sangat sedikit dibanding deretan toko yang sudah tutup. Bahkan ketika hujan mall yang diresmikan oleh Wiyogo Atmodarminto itu bocor hingga menyebabkan lantai menjadi basah dan licin. “Sebenarnya jauh sebelum pandemi COVID-19, di sini sudah sepi. Ya faktornya utama mungkin sudah kalah sama yang belanja online ya. Dan kemudian diperparah dengan pandemi ini,” ujar Aji (29), seorang pedangan aksesoris.

Advertising
Advertising
Tania salah satu toko yang masih bertahan di Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Aji salah satu penjual yang masih bertahan ditengah sunyinya Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Bekas toko handphone yang sudah ditinggalkan oleh penjualnya. (Historia/Fernando Randy)
Toko baju Tania yang masih bertahan walau semua toko disampingnya sudah tutup. (Historia/Fernando Randy)

Kesunyian juga tampak di kawasan terminal. Jumlah bus sudah tak sebanyak dulu. “Wah waktu 1980 hingga 1990an itu di sini ramai sekali apalagi saat pagi atau sore. Orang pulang kerja transitnya di sini. Dulu saya jualan apa saja laku mulai dari permen, koran, hingga tisu. Kalo sekarang, lihat sendiri dagangan saya masih utuh. Lebih enak zaman dulu,” kata Sidun (61) pedagang yang sudah dari tahun 1976 berada di kawasan Blok M. Meski kawasan Blok M berubah menjadi sepi, masih ada orang-orang yang mencoba bertahan sambil berharap keadaan membaik karena perubahan zaman tidak selalu berarti meninggalkan yang lama, tetapi juga bisa berarti membangkitkan yang nyaris padam.

Salah seorang pekerja saat melintas ditengah deretan toko yang tutup di Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
(Kiri) Toko handphone yang sepi pengunjung. (Kanan) Sidun pedagang yang sudah puluhan tahun di Blok M. (Historia/Fernando Randy)
Seorang warga saat menunggu bis di Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Suasana saat ini didalam terowongan Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)
Seorang pengunjung saat tertidur ditangga menuju Blok M Mal. (Historia/Fernando Randy)

 

TAG

blok m foto sejarah foto cerita

ARTIKEL TERKAIT

Sri Nasti Mencoba Melepas Trauma 1965 dengan Suara Pesona dari Desa Penglipuran Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota Getirnya Perjalanan Tuba Menghapus Stigma 1965 Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar Menjelajahi Era Jepang di Nusantara dalam Pameran Sakura di Khatulistiwa Ketika Perayaan HUT RI Marak Lagi di Jakarta Merekam Dua Sisi Pematangsiantar Kisah Sukarno dan Planetarium Telepon Umum Primadona yang Kini Dilupa