Presiden Sukarno mencanangkan revolusi menu makan orang Indonesia di Istana Bogor pada 12 Juli 1964. Dia mengajak rakyat Indonesia menganekaragamkan menu makan di rumah masing-masing. Jangan hanya berpaku pada beras agar semua kebutuhan gizi untuk tubuh terpenuhi. Dia sering mengulang-ulang ajakan ini dalam kesempatan lainnya.
“Tambahlah menu berasmu dengan jagung, dengan ubi, dan lain-lain. Jagung adalah makanan sehat, kacang adalah makanan sehat! Campur menumu, campur menumu! Saya sendiri sedikitnya seminggu sekali makan jagung, dan badanku, lihat, adalah sehat,” kata Sukarno.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Menteri Kesehatan dr. Satrio bersemangat dengan ajakan revolusi menu ala Sukarno. Dia lekas menyusun langkah-langkah agar ajakan itu bisa dilaksanakan oleh rakyat. Menurutnya, satu hal penting untuk menopang revolusi menu ialah peningkatan pengetahuan masyarakat tentang gizi makanan.
Masa itu sebagian besar rakyat Indonesia buta gizi sehingga kesadaran tentang pentingnya keanekaragaman menu tak ada sama sekali. “Di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya dan juga di antara mereka yang berada di Jakarta ini memang masih banyak yang belum mempunyai pengertian cukup tentang gizi dan seluk-beluk sekitar makanan,” catat Djaja, 28 Maret 1964.
Turun ke Bawah
Melihat kenyataan tersebut, dr. Satrio meluncurkan Operasi Pemberantasan Buta Gizi tak lama setelah pencanangan revolusi menu oleh Sukarno. “Saya telah mendirikan Komando Operasi Pemberantasan Buta Gizi yang diadakan di tiap-tiap Daerah Tingkat I dan Tingkat II,” kata Satrio dalam Djaja, 14 November 1964.
Lembaga Makanan Rakjat (LMR) pimpinan dr. Dradjat D. Prawiranegara menjadi pelaksana teknis Operasi Pemberantasan Buta Gizi. Pegawai mereka turun ke desa, sekolah, dan organisasi setempat seperti Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Mereka menggelar ceramah, kursus masak, dan pameran makanan.
Baca juga: Penting Memahami Stunting
“Operasi ini dilakukan untuk menggugah kesadaran gizi di kalangan anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta memperkenalkan perubahan pola makan,” tulis Vivek Neelakantan dalam “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia: Social Medicine, Public Health and Medical Education, 1949 to 1967”, disertasi di Universitas Sidney, Australia.
Satrio mengatakan sasaran utama Operasi Pemberantasan Buta Gizi terletak pada kaum ibu atau perempuan. “Kaum Ibu pada akhirnya yang menentukan menu di rumah untuk bayi, anak, bapak, dan penghuni-penghuni lain,” kata Satrio.
Operasi Pemberantasan Buta Gizi memakai konsep 4 sehat 5 sempurna buatan Prof. Dr. Poorwo Soedarmo, ahli gizi ternama Indonesia. Konsep Poorwo memuat daftar makanan berdasarkan sumber nutrisinya: karbohidrat (jagung, beras, singkong, dan ubi), lemak (daging), protein (ikan, kedelai, telur), vitamin (sayur), dan mineral (susu). Tapi Operasi Pemberantasan Buta Gizi dan 4 Sehat 5 Sempurna memiliki perbedaan.
Disesuaikan Keadaan Daerah
Operasi Pemberantasan Buta Gizi memberikan kesempatan luas bagi rakyat untuk mengenal konsep itu sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggal mereka. “Operasi Pemberantasan Buta Gizi ini dilancarkan di daerah-daerah atas dasar swasembada daerah dan sesuai dengan norma-norma etika setempat,” kata Satrio.
Dengan begitu, Operasi Pemberantasan Buta Gizi memperkenalkan rakyat dengan makanan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Berikut pula kandungan gizi di dalamnya. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein, rakyat di daerah pegunungan tak perlu repot mencari ikan sampai ke laut. Mereka bisa memenuhinya dengan kacang-kacangan dan daging ternak. Toh kandungan utama nutrisinya sama dengan ikan.
“Sesudah melek gizi, penduduk di setiap daerah harus mengambil tiga macam zat dari bahan-bahan yang diprodusir oleh daerahnya sendiri,” ungkap Djaja. Gagasan ini merupakan turunan dari konsep Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) yang didengungkan oleh Sukarno sepanjang 1964.
Baca juga: Mengunyah Sejarah Tempe
Operasi Pemberantasan Buta Gizi juga mencakup kerja sama pemerintah dengan penduduk untuk mengelola bahan pangan dan menjaga kedaulatan pangan setempat. Misalnya terlihat bagaimana ahli gizi dari LMR membantu rakyat memanfaatkan ternaknya. Jika ahli gizi menemukan penduduk di suatu wilayah mempunyai banyak kambing, mereka akan berbagi cara memerah susu kambing.
Di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, penduduk sulit bercocok tanam beragam jenis tanaman. Tanah di sana tandus. Penduduk hanya bisa menanam singkong dan gaplek. Itulah pangan utama mereka. Tanpa ada variasi lainnya. Akibatnya mereka kekurangan gizi.
Ahli gizi LMR datang ke sana untuk mengolah potensi sumber protein lain seperti koro benguk. Tanaman ini bisa tumbuh di hampir semua wilayah Gunung Kidul. Masalahnya, tanaman ini mengandung racun.
Melalui pengolahan tepat, racunnya dapat disingkirkan oleh tim LMR. Rasanya juga menjadi lebih enak dengan teknik penyajian baru dari LMR. Semua bumbunya tersedia di Gunung Kidul. Mudah, murah, tapi tetap sehat.
Baca juga: Petaka Tempe Bongkrek
Di Wonogiri, Jawa Tengah, pisang sempat langka. Tapi kerja sama penduduk dan ahli gizi LMR berhasil menumbuhkan lagi produksi pisang di sana. Bahkan tak cuma pisang, melainkan juga sayur dan tanaman pangan lain yang cocok dengan tanah di sana.
“Dari daerah minus pisang, Wonogiri menjadi daerah surplus pisang dan dapat menjual produksinya ke tempat lain,” ungkap Djaja.
Tapi cerita manis Operasi Pemberantasan Buta Gizi tak ada di semua daerah. Vivek Velakaantan mencatat pula kegagalan Operasi Pemberantasan Buta Gizi di daerah lain. Penyebabnya karena kemerosotan ekonomi, perhatian pada konfrontasi dengan Malaysia, dan kekurangan tenaga ahli. Karena kegagalan operasi ini, revolusi menu makan cetusan Sukarno ikut gagal pula.