Masuk Daftar
My Getplus

Koperasi Penyelamat Ekonomi Rakyat

Usaha gotong royong menyelamatkan sesama anggota. Koperasi terpinggirkan oleh ekonomi kapital.

Oleh: Nur Janti | 12 Jul 2019
Salah satu koperasi di Cirebon. Sumber: Wikimedia Commons.

Hari ini 73 tahun lalu, Kongres Koperasi pertama diselenggarakan di Tasikmalaya. Koperasi punya sejarah panjang di Indonesia sebagai penyelamat perekonomian rakyat bawah kala terdesak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2016 mencatat ada 148.220 koperasi yang tersebar di Indonesia. Meski demikian, perannya kini tak sepopuler dulu.

Ide tentang perkoperasian pertamakali lahir di Inggris pada 1844. Kala itu mayoritas buruh pabrik bekerja dalam lingkungan yang buruk, jam kerja panjang, upah murah, sementara biaya hidup mahal. Akibatnya, banyak dari mereka hidup dalam bilik kumuh dan menderita kelaparan. Beberapa  buruh kemudian sepakat membentuk koperasi dengan nama The Pioneers, ketuanya Charles Howart.

Namun, dalam sesaat banyak anggotanya tak mampu bayar iuran dan mengundurkan diri. Tinggallah tersisa 30 anggota, 25 di antaranya merupakan aktivis buruh dan lima lainnya buruh tenun. The Pioneer terus berjalan hingga berhasil mendirikan toko kelontong The Pioneer di Toad Lane, Rochdale pada akhir 1844.

Advertising
Advertising

Baca juga: Dua Abad Ekonomi Indonesia

Dengan modal awal sebesar 16 pound sterling, kelontong The Pioneer yang amat sederhana itu menjual kebutuhan pokok seperti, mentega, tepung, dan lemak dengan harga terjangkau. Toko ini terus berkembang dengan menjual daging dan menerbitkan jurnal untuk menyebarkan ide perkoperasian.

Ide tentang perkoperasian juga muncul di Jerman. Namun, modelnya koperasi simpan pinjam yang dipimpin Frederich Willhelm Raiffeisen dan Herman Schulze.

Di Indonesia, sejarah koperasi berawal dari berdirinya Hulp en Spaar Bank pada 1896 di Purwokerto. Koperasi yang didirikan R. Aria Wiria Atmadja ini didirikan untuk membantu pegawai bumiputra dalam birokrasi pemerintahan kolonial. Pada perkembangan selanjutnya, koperasi diperluas tidak hanya untuk priyayi, melainkan juga kelompok masyakarat umum khususnya petani.

Banyaknya koperasi yang bermunculan kemudian membuat pemerintah mengeluarkan Besluit 7 April No 431 tahun 1915. Regulasi ini mensyaratkan adanya izin dari gubernur jenderal Hindia Belanda untuk mendirikan koperasi dan biaya sebesar 50 gulden.

Baca juga: Fesyen dan Krisis Ekonomi

Pada paruh kedua abad ke-19, industri di lingkungan masyarakat Jawa mulai bangkit. Selain kopra, ada industri batik, tembakau, dan karet. Dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, Denys Lombard menulis, batik dan kretek sangat berkembang karena pembiayaannya lewat urunan keluarga. Hal itu pelan-pelan membentuk modal bagi pribumi. Dari kelompok-kelompok usaha itu pula muncul koperasi-koperasi kecil di daerah.

Koperasi muncul sebagai lembaga kredit atau produksi yang mendukung usaha dan memudahkan penyaluran barang.  Semangat menentang penjajahan ekonomi itu didukung pula oleh organiasi nasionalis yang juga mendirikan koperasi, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan PNI. Ketika kongres di Jakarta pada 1932, PNI membahas tentang semangat koperasi hingga kongresnya disebut kongres koperasi.

Pendirian koperasi pada masa penjajahan jadi amat politis. Koperasi jadi jalur perlawanan dan perlindungan para anggotanya sehingga yang sudah susah tak jadi makin susah. Mereka membeli hasil bumi petani dengan harga pantas dan tidak rakus mengambil untung.

Mohamamad Hatta, yang kemudian ditahbiskan sebagai Bapak Koperasi Indonesia, juga mendukung ide perkoperasian yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan sifat kerjasama dan kekeluargaan. Hal ini diceritakan Lily Gamar Sutanto dalam tulisannya di buku Mengenang Sjahrir. Ketika diasingkan ke Banda Neira pada 1936, tulis Lily, Hatta menggagas Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe) bersama Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri. Perbamoe merupakan organisasi sosial dan pendidikan yang giat di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Ketiganya jadi donatur tetap. Hatta duduk sebagai pengurus koperasi Perbamoe. Lewat koperasi inilah, Hatta mencontohkan model urundaya masyarakat untuk kesejahteraan bersama.

Baca juga: Utamakan Nilai Ekonomi, Ancaman Bagi Situs Bersejarah

“Kita akan memonopoli semua hasil bumi yang turun dari perahu kemudian didistribusikan pada masyarakat setempat,” kata Hatta yang diiringi persetujuan dari Sjahrir dan Iwa.

Bila ada perahu datang, muatannya langsung diambil koperasi untuk dijual kembali ke penduduk. Dengan memotong rentetan jalur distribusi ini, harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya. Alhasil, penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga murah, petani dan nelayan tidak merugi, dan koperasi mendapat untung yang cukup untuk kas perkumpulan.

Kas itu menjadi modal Perbamoe menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk sekretariat. Kas itu pula yang digunakan Perbamoe untuk membangun perpustakaan yang koleksi bacaannya bisa dinikmati masyarakat.

Pascakemerdekaan, Indonesia berusaha membangun perekonomiannya yang nyaris dari nol. Koperasi jadi salah satu andalan. Per 1946, jumlah koperasi di Indonesia yang sudah berdiri sebelum proklamasi ada 2.500. Patta Rapanna dalam Menembus Badai Ekonomi menulis, koperasi jadi usaha bersama untuk memperbaiki taraf hidup layak masyarakat. Lewat Jawatan Koperasi, Kementerian Kemakmuran mendistribusikan keperluan hidup sehari-hari dengan harga terjangkau.

Perhatian penting pemerintah terhadap koperasi juga dilakukan dengan penyelenggaraan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya pada 1947. Kongres itu menghasilkan antara lain penetapan 12 Juli sebagai hari koperasi.

Baca juga: Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran

Perubahan penting terjadi ketika dunia politik tanah air bergejolak pada 1965. Banyak koperasi tutup atau dipaksa ditutup. Anggota koperasi yang dianggap berhubungan dengan PKI dihabisi.

Ketika Soeharto naik menjadi presiden, nyawa koperasi sebagai lembaga urundaya bersama hilang. Revrisond Baswir, ekonom UGM, mengatakan bahwa Soeharto membelokkan fungsi koperasi yang semula sebagai alat melawan penguasaan modal jadi lembaga yang mendukung penguasaan modal. Koperasi jadi kehilangan jatidirinya.

Keberadan Koperasi Unit Desa (KUD), misalnya, dijadikan Soeharto sebagai alat kekuasaannya. Lewat KUD, petani diwajibkan untuk membeli pupuk, bibit, dan keperluan lain di KUD dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah. KUD juga banyak dimainkan oleh para elit desa yang menjadi pengurusnya. Koperasi, kata Baswir, saat ini tumbuh jadi koperasi fungsional, misalnya koperasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Alhasil, usai kejatuhan Orde Baru koperasi terpinggirkan, hingga kini. Per 2017, ada 71 persen koperasi di Indonesia yang tinggal papan nama. Tak sedikit pula yang sebenarnya merupakan rentenir namun berjubah koperasi. Usaha mengembalikan kejayaannya dilakukan sejak awal 2018 dengan pemerintah menargetkan pembentukan 1000 koperasi baru sepanjang 2019.

TAG

Koperasi

ARTIKEL TERKAIT

Bung Hatta dan Koperasi Berkaca pada Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Filantropi Tjong A Fie Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule Keluarga Ament Tuan Tanah Cibubur dan Tanjung Timur Anak Petani Jadi Jutawan Berkat Jualan Sikat Tuan Tanah Bikin Rel Kereta di Selatan Jakarta Nawi Si Tukang Cukur Berbahaya Kapten KNIL Jadi Tuan Tanah Citeureup