BERMULA dari kunjungan Luiten van Zanden dan Daan Marks ke Arsip Nasional Republik Indonesia, terbersit keinginan untuk menggali sebuah misteri di balik perkembangan ekonomi Indonesia: bagaimana bisa sebuah negara seperti Indonesia, dengan segala sumber daya manusia dan alamnya yang melimpah, mengalami arah pertumbuhan yang tak menentu dan timpang?
Mulailah mereka bekerja. Hasilnya sebuah karya yang, menurut Thee Kian Wie dalam pengantar buku ini, “merupakan sumbangan yang amat penting bagi khazanah kepustakaan tentang perkembangan ekonomi Indonesia selama dua abad terakhir.”
Indonesia saat ini adalah akibat dari proses sejarah sejak berlabuhnya kapal Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Banten pada 1596. Setelah ekspansi teritorial menguat, VOC bukan saja berhasil memperoleh tanah dan tenaga kerja, tapi juga membangun berbagai institusi untuk memungut pajak, mempeluas budidaya kopi, dan memonopoli perdagangan impor. Keuntungan besar pun diraih. Namun, praktik penyimpangan dan korupsi juga tumbuh. Di sisi lain, VOC kian kesulitan bersaing dengan perusahaan-perusahaan dagang dari negara lainnya. Setelah duaratus tahun bercokol, VOC akhirnya bangkrut. Kerajaan Belanda mengambil-alih utangnya yang besar.
“Kegagalan VOC terletak pada sifatnya yang monopolistis, yang telah menghambat perdagangan dan perkembangan komersial di koloni, menganggu pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan beragam masalah finansial yang akhirnya membawa pada kejatuhannya,” tulis mereka.
Eksploitasi Tiada Henti
Seperempat pertama abad ke-19 merupakan babak baru, reformasi dan eksperimentasi, dalam menciptakan negara kolonial yang lebih modern. Upaya reformasi Jawa dengan cara liberal akhirnya gagal akibat meletusnya Perang Jawa. Biaya perang sangat besar, sementara harga komoditas kopi sedang turun. Situasi dalam negeri juga kurang kondusif karena elite pribumi sulit diajak bekerjasama.
Sebuah pendekatan baru pun mulai dicari. Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch memperkenalkan Sistem Tanam Paksa. Awalnya, sistem ini berjalan baik karena pemerintah mempertemukan kepentingan-kepentingan dari tiga kelompok elite (bisnis dan politik): negara kolonial/birokrasi, elite Jawa, dan pedagang Tionghoa. Namun, sepuluh tahun berikutnya, justru terjadi titik balik. Sekalipun ada keterbukaan ekonomi dan pertumbuhan ekspor yang pesat, terjadi kejatuhan dalam total faktor produktivitas, terutama di masa Tanam Paksa. Sebabnya, lembaga-lembaga bagi pertukaran pasar tidak berkembang baik, sementara institusi-institusi sosial-politik juga bermasalah.
Kritik kaum liberal memaksa penghapusan Sistem Tanam Paksa dan pemberlakuan liberalisasi ekonomi, yang ditandai dengan adanya UU Agraria pada 1870. Kebijakan berorientasi pasar mendorong perkembangan ekonomi selama 1870-1914 dan menjadi salah satu faktor di balik pertumbuhan per kapita output dan total faktor produktivitas. Perbaikan infrastruktur juga meningkat. Sebagian besar pertumbuhan didorong oleh eskpor. Namun, pengaruhnya terhadap pasar domestik –pada pendapatan riil penduduk Indonesia– terbatas dan tak menghasilkan proses kumulatif dari perubahan struktural, urbanisasi, dan industrialisasi yang merupakan inti dari pertumbuhan ekonomi modern.
Paruh pertama abad ke-20, dunia berada dalam bayang-bayang dua perang modern. Meski demikian, permintaan komoditas ekspor dari Hindia Belanda seperti minyak dan karet naik. Ini berdampak pada kenaikan anggaran Politik Etis antara lain untuk kesejahteraan, fasilitas umum, dan infrastruktur transportasi. Begitu Perang Dunia I berakhir, permintaan dari pasar internasional ikut turun. Gubernur Jenderal De Fock akhirnya memberlakukan pemangkasan anggaran. Bulan madu Politik Etis pun berakhir.
Hindia Belanda kemudian perlahan bangkit. Namun, terutama karena Depresi Ekonomi, nasib perekonomian Hindia Belanda jadi tak menentu. Diperparah oleh keterkaitan ekonomi dengan negeri induk, yang menyebabkan negara kolonial tak bisa melakukan kebebasan memilih kebijakan substitusi impor.
Di masa pendudukan Jepang, perkembangan ekonomi sangat buruk. Jutaan orang jadi romusha. Sejumlah infrastruktur penting rusak.
Dekade-dekade Transisi
Setelah kemerdekaan, Indonesia sibuk mengatasi suasana kegaduhan politik sepanjang 20 tahun, 1945-1965. Tahun-tahun ini, menurut penulis buku ini, merupakan dekade-dekade transisi bagi penciptaan negara-bangsa yang pada awalnya mengorbankan integrasi dan pembangunan ekonomi.
Salah satu yang punya rencana jelas adalah Kabinet Mohammad Natsir, yang ditunjang dengan kenaikan ekspor akibat Perang Korea. Pemerintah beritikad baik untuk memajukan wirausaha nasional atau pribumi melalui Program Benteng. Sayangnya, program ini kontraproduktif karena korupsi menjadi-jadi. Banyak lisensi dijual kepada pengusaha Tionghoa atau Belanda sementara pengusaha Indonesia hanya tampil setor muka. Selebihnya, perekonomian di masa Orde Lama menjadi tak terkendali.
Penggantinya, Soeharto, coba keluar dari krisis. Dia merangkul ekonom-ekonom lulusan Berkeley untuk merumuskan kebijakan dengan fokus stabilisasi dan rehabilitasi. Hasilnya, pertumbuhan pesat dicapai pada 1971-1980. Ia ditopang oleh utang luar negeri, hasil dari minyak dan gas alam, serta hubungan dekatnya dengan pengusaha Tionghoa-Indonesia. Dan Indonesia pun disebut-sebut sebagai bagian dari Keajaiban Asia Timur. Namun perkembangan ekonomi yang pesat itu dibarengi dengan korupsi yang masif, sistematik, dan endemik. Krisis politik, dibarengin krisis ekonomi di Asia, akhirnya menumbangkan kekuasaan Soeharto. Setelah beberapa kali pergantian kekuasaan melalui sistem demokratis, Indonesia mengalami kemajuan sekalipun lambat.
Melalui buku ini, Luiten van Zanden dan Daan Marks merentangkan perjalanan panjang ekonomi Indonesia secara kronologis dan analitis, dengan menggunakan banyak data baru.