Selama sepekan terakhir, muslim Indonesia tengah menjadi sorotan publik karena berbagai hal. Mulai dari perselisihan antara artis Nikita Mirzani dengan seorang pemuka agama; dugaan penghinaan Ust. Maaher At-Thuwailibi terhadap Habib Luthfi Bin Yahya; polemik kedatangan Habib Rizieq Shihab; hingga isi ceramah tokoh Front Pembela Islam (FPI) itu saat memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang dianggap kurang pantas.
Perihal ceramah Rizieq, banyak kalangan, termasuk pemuka agama yang menyayangkannya. Menurut mereka, acara peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW seharusnya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti kisah-kisah seputar kenabian Rasulullah SAW, serta kebaikan-kebaikan yang perlu dicontoh oleh umatnya saat ini. Tidak malah menjadikannya ajang mengumbar kebencian.
“Saya tadinya menyangka saat beliau sudah lama di tanah suci dan sekembali dari sana akan lebih menjaga lisan dan memelihara tutur kata,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily seperti dikutip RRI.
Baca juga: Antara Habib Rizieq Shihab dan Ayatullah Khomeini
Berbagai persitiwa itu pun membuat publik bertanya-tanya tentang kondisi umat Islam Indonesia. Banyak yang menilai umat Muslim di Indonesia saat ini sedang dalam kondisi tidak baik. Namun kondisi serupa ternyata pernah juga terjadi pada paruh pertama abad ke-20. Kala itu, umat Islam Indonesia terpecah, terbagi ke dalam dua golongan: tradisionalis dan modernis. Keduanya memiliki keyakinan, serta pandangan akan ajaran Islam yang berbeda.
Golongan tradisionalis masih mencampurkan urusan agama dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun. Ajaran Islam di kalangan ini didapat dari ulama-ulama terdahulu, yang telah berkembang sejak Islam pertama masuk ke Nusantara. Sementara golongan modernis mendapat pengaruh tokoh-tokoh dari Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan sebagainya. Kalangan itu memiliki pandangan baru, yakni Islam harus terbebas dari adat istiadat, sehingga kegiatan-kegiatan di luar Al-Qur’an dan sunah Rasul harus dihilangkan.
“Pemikiran pembaharuan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh di atas tentu sangat memengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua pemikiran tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat. Salah satu dampak yang dapat dilihat, yaitu banyaknya di antara kepercayaan dan amalan Muslim tradisional dianggap sebagai bid’ah. Tidak hanya itu, pengetahuan dan posisi kyai sebagai rujukan dalam prakti beragama juga dikritik,” ungkap Afriadi Putra dalam “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari dan Kontribusinya terhadap Kajian Hadis di Indonesia” dimuat Wawasan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016.
Baca juga: Habib Jerman Merayakan Natal
Kyai Asy’ari sendiri dianggap sebagai salah seorang golongan Islam modernis paling awal di Indonesia. Dia mempelajari Islam di Mekah sejak 1893, dan mendapat kesempatan berguru kepada banyak ulama terkemuka di jazirah Arab. Pemikirannya tentang Islam dan kebebasan pun semakin terbuka. Sekembalinya dari Mekah, Kyai Asy’ari melakukan banyak pembaharuan terhadap ajaran Islam dan menggaungkan perjuangan melawan penjajahan.
Berdakwah Melalui Kitab
Kyai Asy’ari mempunyai metode berdakwah yang unik, yakni melalui penulisan kitab. Karena itu tidaklah aneh jika dia banyak melahirkan karya kitab selama hidupnya. Sekira tahun 1920-an hingga 1930-an, Kyai Asy’ari menulis sebuah kitab bernama Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah fi Hadith al Mawta wa Ashrat al-Sa’ah wa Bayan Mafhūm al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab itu berisi hadis-hadis tentang kematian dan tanda-tanda hari kiamat, serta penjelasan tentang sunah dan bid’ah. Menurut Afriadi, kitab tersebut merupakan kunci untuk mempelajari pemikiran Kyai Asy’ari.
Meski termasuk dalam golongan Islam modernis, Kyai Asy’ari tidak langsung menganggap ajaran tradsionalis salah atau bid’ah. Seperti diceritakan Lathiful Khuluk dalam Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, disaat kaum modernis menilai pendirian madrasah sebagai bid’ah karena tidak diajarkan, Kyai Asy’ari menilainya sebagai bid’ah yang baik dan dianjurkan.
Baca juga: Abdul Wahid Hasyim, Pejuang Muda NU
Maka melalui kitab Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, dan kitab-kitab lainnya, Kyai Asy’ari mencoba menjawab keberagaman dan perbedaan dalam ajaran yang dianut umat Muslim Indonesia kala itu. Di dalam kitab-kitab karyanya juga Kyai Asy’ari memberikan pandangan tentang ajaran-ajaran Sunah, yang tidak selamanya buruk bagi umat Islam di Indonesia.
“KH. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan madzhab merupakan keuntungan bagi umat Islam dan tanda kebaikan Tuhan. Lebih lanjut, para sahabat Nabi pun mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai masalah agama. Perbedaan di antara mereka tidak mengurangi kualitas mereka karena mereka masih dianggap sebagai generasi umat Islam terbaik. Para Rasul juga dikirim dengan dibekali berbagai macam hukum yang semuanya menuju ke tujuan yang sama,” tulis Khuluk.
Menjaga Persatuan Umat
Pada 1926, Kyai Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi itu menjadi jalan baginya untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran tentang ajaran Islam yang baik dan dapat diterima masyarakat Indonesia. Sejak pertama berdiri, NU dianggap sebagai wadah yang menyatukan kalangan modernis dan tradisionalis. Sebagaimana pendapat Kyai Asy’ari, imbuh Khuluk, yang dipakai sebagai dalil kaidah fiqh yang dipegang oleh NU: “menjaga tradisi yang baik, dan membangun inovasi yang lebih baik”.
Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia
Dikisahkan Syaifruddin Jurdi dalam Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia, pada 1936, dalam kongres NU ke-11 di Banjarmasin, Kyai Asy’ari pernah menyampaikan pidato tentang kebersamaan di dalam keberagaman umat muslim Indonesia. Pada kesempatan itu dia meminta seluruh peserta kongres, yang datang dari berbagai kalangan, untuk mengesampingkan semua pertikaian dan perbedaan, serta membuang semua perasaan ta’assub (fanatik) dalam berpendapat. Kyai Asy’ari menyerukan kalangan tradisional dan modernis untuk bersatu demi kekuatan Islam yang solid.
Pada kesempatan lain, Kyai Asy’ari juga mengingatkan agar umat Islam bersikap toleran terhadap pendapat orang lain, dan tidak menganggap pendapat pribadi yang paling benar. Hal itu semata dilakukan untuk menjaga tali persaudaraan antar umat muslim. Juga demi terciptanya kebaikan, serta menghindarkan diri dari kehancuran.
Baca juga: Persahabatan Kyai Mansur dengan Pendiri Muhammadiyah
“Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran. Ini juga akan dapat mengokohkan rasa kasih sayang. Adanya persatuan dan kesatuan telah menghasilkan kebajikan dan keberhasilan. Persatuan juga telah mendorong kesejahteraan negara, peningkatan status rakyat, kemajuan dan kekuatan pemerintah, serta telah terbukti sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan,” ujar Kyai Asy’ari seperti dikutip Khuluk.
Kyai Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga pesantren dengan ajaran Islam yang kuat sejak kecil. Ayahnya, Kyai Asy’ari adalah pendiri pesantren Keras. Sementara kakeknya, kyai Usman adalah pendiri pesantren Gedang di Jombang. Hasyim Asy’ari sendiri mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang pada 1899 dan merupakan ayah dari Wahid Hasyim, sekaligus kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dia wafat pada 25 Juli 1947.