Kehadiran kembali Habib Rizieq Shihab (HRS) di Indonesia pada 10 November 2020 menyedot perhatian masyarakat. Nikita Mirzani, salah satu selebritas, menyebut kedatangan HRS disambut gila-gilaan. Dia juga menyebut Habib sebagai tukang obat. Karuan aksinya beroleh tanggapan lebih keras dari pendukung HRS seperti Maaher at-Thuwailib.
Maher mengatakan Nikita menghina Habib. Dia berjanji akan mengerahkan 800 orang untuk mengejar Nikita. Orang ini jugalah yang menyamakan HRS dengan Ayatollah Khomeini, pemimpin Revolusi Iran pada 1980-an. Di twitter-nya, dia bilang perbedaan HRS dan Khomeini hanya terletak pada Syiah dan Sunni. Benarkah begitu?
Lahir 24 September 1902 di Khomein, Persia Tengah, Khomeini bernama lengkap Ruhollah Musavi Khomeini. Dia putra dari Mostafavi Musavi, seorang penentang Dinasti Qajar yang berkuasa ketika itu di Persia. Saat berumur lima bulan, Khomeini kehilangan ayah. Orang-orang bayaran dari Dinasti Qajar membunuhnya.
Khomeini kecil telah terbiasa dengan hidup keras. Dia terbiasa dengan perang dan mempertahankan wilayahnya dari serangan orang-orang bayaran Dinasti Qajar. “Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan perang… Saat saya masih anak-anak atau kira-kira di masa-masa awal baligh (dianggap mampu bertanggung jawab, red.), saya mengawasi kantong-kantong perlindungan di kampung kami,” kata Khomeini seperti tersua dalam Imam Khomeini dari Lahir hingga Wafat terbitan Islamic Culture and Relations Organization.
Baca juga: Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Khomeini remaja kemudian hijrah ke kota Qom untuk mendalami ilmu agama pada 1921. Kota Qom adalah kota intelektual bagi orang-orang Syiah di Persia. Di sini para murid juga mempelajari filsafat dan irfan atau pengetahuan kebatinan tentang Islam. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Khomeini mengajar di Najaf, sekarang menjadi bagian Irak.
Selama menjadi pelajar di Qom dan pengajar di Najaf, Khomeini menyaksikan sejumlah perubahan politik dan sosial di negerinya. Kerajaan Rusia runtuh pada 1917 oleh Revolusi Bolshevik. Padahal kerajaan itu pendukung kuat Dinasti Qajar. Akibatnya, Dinasti Qajar kehilangan sokongan dan jatuh pada 1925.
Reza Khan tampil menggantikan penguasa sebelumnya. Dia mendirikan dinasti baru bernama Pahlevi dengan sokongan Inggris. Reza Khan memimpin Persia dengan cara-cara tiran. Dia mirip pendahulunya, memberangus lawan-lawan politiknya. Termasuk pula kalangan agamawan.
Protes menguar. Reza Khan mengeluarkan Revolusi Konstitusional yang membagi kekuasaan dalam tiga bidang: yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Langkah ini dinilai mampu membuat protes mereda. Tapi sebenarnya gerakan oposisi yang digalang kaum agamawan masih bergerak di bawah tanah.
Baca juga: Main Mata Iran dan Amerika dalam Iran/Contra
Pada 1935, Reza Khan mengubah nama Persia menjadi Iran. Menjelang Perang Dunia II, Reza Khan menjalin hubungan dengan Jerman. Kedekatan ini mengganggu hubungan Iran dengan Inggris dan Rusia. Keduanya memiliki sejumlah konsesi minyak di Iran dan berseberangan dengan Jerman. Karena kedekatan itu, Inggris dan Rusia bertindak menyingkirkan Reza Khan. Raja itu pun jatuh dan diganti oleh anaknya, Reza Pahlevi.
Reza Pahlevi menginginkan Iran yang maju dan setara dengan negara-negara Barat. Dia sangat dekat dengan Amerika Serikat. Selama memerintah pada 1960-an, dia mendatangkan 60.000 orang Amerika Serikat. Terdiri dari ahli dan tenaga kerja asing. “Kedatangan mereka menyebabkan benturan kebudayaan yang terlalu brutal,” catat Nasir Tamara dalam Revolusi Iran.
Reza Pahlevi juga menempuh cara-cara tiran dalam memerintah. Dia menutup sekolah dan universitas di Teheran. Tapi justru membangun kekuatan teror lewat polisi rahasia bernama SAVAK untuk menculik, menyiksa, dan membunuh lawan politiknya.
Amnesti International mencatat setidaknya 100 ribu orang menjadi tahanan politik sepanjang pemerintahan Reza Pahlevi.
Khomeini telah mengamati perubahan itu sejak dia masih remaja. Dia kerap berdiskusi dengan teman-temannya tentang kerusakan-kerusakan negerinya dan bagaimana memperbaikinya.
“Imam Khomeini melihat bahwa satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa diktator dan konspirasi asing, pasca kegagalan Revolusi Konstitusional dan berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah (perguruan tinggi, red.),” ungkap tim Islamic Culture and Relations Organization.
Baca juga: Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran
Nama Khomeini telah dikenal luas di kalangan kaum agamawan Iran sejak naiknya Reza Pahlevi sebagai penguasa pada 1940-an. Dari kaum agamawan, Khomeini turun membangun jaringan dengan masyarakat luas. Dia percaya sebelum membangkitkan peran ulama, hubungan spiritual ulama dan masyarakat harus kuat.
Selain itu, Khomeini mulai rajin menulis buku dan artikel untuk membangun jiwa masyarakat. Beberapa buku dan artikelnya juga berisi kritik dan tinjauan atas Dinasti Pahlevi. Karena kritiknya, dia ditangkap dan ditahan rezim Reza Pahlevi selama delapan bulan pada 1964.
Selepasnya dari tahanan, kritik Khomeini pada rezim Reza Pahlevi makin keras. Rezim menangkapnya lagi dan membuangnya ke Turki dan Irak.
Selama masa pembuangan ini, Khomeini memberikan dukungan berupa uang dan pikirannya untuk orang-orang Palestina. Dari Irak pula, Khomeini tetap mengamati perkembangan di Iran. Rezim Reza Pahlevi makin menindas. Ratusan orang tewas setiap tahunnya karena menentang rezim Reza Pahlevi.
Kritik-kritik Khomeini terungkap dalam kaset-kaset ceramahnya. Kaset-kaset itu tersebar luas di Iran dan mendapat tempat di kelompok opisisi, di luar kalangan Islam seperti anggota partai komunis Iran dan orang-orang nasionalis sekuler. Seluruh kelompok oposisi berbagai aliran berada di belakang Khomeini.
Baca juga: Para Habib yang Tak Bisa Menghindari Politik
Karena sepak terjangnya, nyawa Khomeini di Irak terancam. Tentara Irak mengepung rumahnya di Irak. Tapi dia berhasil lolos dan tinggal di sebuah wilayah pinggiran Paris, Prancis, sejak 14 Mei 1978. Pemerintah Prancis meminta Khomeini menghentikan segala aktivitas politik. Tapi Khomeini tetap melancarkan ceramah-ceramahnya. Orang-orang di Iran mulai bergerak. Mereka turun ke jalan dan berteriak, “Hidup Khomeini, Mampuslah Shah.” Militer menembaki pemrotes. Banyak orang gugur, tapi benih-benih perlawanan malah tumbuh lebih banyak. Buruh, dokter, wartawan, petani, pelajar, dan mahasiswa mogok nasional.
Amerika Serikat mulai mengendurkan dukungannya pada Reza Pahlevi. Menteri-menterinya juga mulai mengundurkan diri. Reza Pahlevi kehilangan dukungan. Dia pergi dari Iran pada 16 Januari 1979. Orang-orang Iran bersuka-cita atas kepergian itu. Mereka juga berharap Khomeini bisa segera kembali ke Iran.
Pada 1 Februari 1979, Khomeini menjejakkan kakinya kembali di Iran. Dia disambut luas oleh gerakan perlawanan yang digalang sejak lama dan melibatkan berbagai kelompok. Nasir Tamara, wartawan Indonesia satu-satunya yang menyaksikan langsung peristiwa itu, sampai susah mengungkapkannya, “Penyambutannya sulit digambarkan dengan kata-kata… Betapa populernya Khomeini dan bahwa tak mungkin bagi orang lain untuk memerintah Iran tanpa persetujuannya.”
Baca juga: FPI Jadi Target Sniper Marinir Amerika Serikat
Sementara itu, sepak terjang HRS muncul justru setelah jatuhnya rezim diktator Soeharto. Dia mendirikan Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, pada 17 Agustus 1998. FPI bergerak sebagai “hakim jalanan” dengan mengubrak-abrik tempat hiburan malam yang dianggap sarang maksiat.
“FPI muncul sebagai kekuatan baru di jalanan, dengan citra berjuang bukan demi uang, wilayah kekuasaan, atau patronase politik, melainkan membela Islam,” sebut Ian Wilson dalam Politik Jatah Preman.
Sebagai ketua umum, nama HRS mulai kesohor. Tapi dia baru mendapatkan momen politiknya sejak kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama pada 2016. HRS juga belum banyak membuat buku. Selain itu, tak semua kelompok oposisi di Indonesia berada di belakangnya.
Dari sini, orang bisa melihat perbedaan besar antara sepak terjang HRS dan gerakan perlawanan Khomeini. Begitu pula dengan gambaran penyambutan keduanya.