Masuk Daftar
My Getplus

Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah

Dalam menghadapi wabah, selain memanjatkan doa, para ulama dulu juga menyarankan agar berusaha mencari ketenangan, mengisolasi diri, dan menjaga imunitas.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 28 Apr 2020
Sisa kejayaan Alhambra di Granada, Spanyol. (Antonio Ciero Reina/123rf).

Dunia tengah berjuang melawan pandemi virus corona. Pemeritah Indonesia telah mengeluarkan protokol kesehatan menghadapi Covid-19. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia pun telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam menjaga kesehatan diri dan berperan dalam memutus penyebaran virus corona, di antaranya dengan beribadah di rumah.

Dalam sejarah Islam, para ulama telah menghasilkan karya-karya tentang wabah dan cara menghadapinya.

Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan bahwa para sarjana muslim biasanya mengawali penjelasannya dengan hadis.

Advertising
Advertising

“Kalau ada wabah di suatu daerah kamu jangan masuk ke situ, dan jangan lari dari situ karena akan menularkan. Ini kejadiannya dalam wabah amwas pada masa Sayyidina Umar,” kata Oman dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia” yang diselenggarakan Museum Nasional pada Selasa, 21 April 2020.

Memanjatkan Doa

Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Ia mengisahkan pengalamannya dalam menghadapi wabah.

Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam The Black Death in the Middle East menjelaskan bahwa menurut Abi Hajalah pertahanan terbaik menghadapi wabah adalah berdoa. Salah satunya dengan memperbanyak membaca salawat nabi.

"Ini menghiasi beberapa karya ulama pada masa itu (abad ke-14, red.)," kata Oman.

Baca juga: Wabah Sejak Zaman Rasulullah

Dols mencatat, risalah ini juga mencakup diskusi tentang tiga kepercayaan muslim terkait wabah, yaitu kematian oleh wabah adalah syahid untuk muslim yang setia, hadis mengenai seorang muslim tidak boleh masuk dan melarikan diri dari daerah yang dilanda wabah, dan bagaimana sifat wabah itu sendiri.

Abi Hajalah menyebut kematian anaknya oleh wabah sebagai mati syahid. Ia menguburkannya berdekatan dengan makam seorang wali.

"Sebagaimana hadis nabi, kematian sang putra, ia sebut sebagai kematian syahid," kata Oman.

Baca juga: Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah

Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449), ahli hadis mazhab Syafi’i yang terkemuka, juga termasuk yang memakai penjelasan teologis. Ia meyakini bahwa penyakit lahir karena kehendak Tuhan, hukuman, rahmat, atau dosa.

Menurut Oman, di antara ulama-ulama yang memakai penjelasan serupa, mereka percaya penyakit menular itu tak ada. Bagi mereka, penyakit datang langsung dari Tuhan.

"Al-‘Asqalani juga menulis doa supaya sehat, lalu agar bersabar dan berbaik sangka, plus di rumah saja saat ada tha’un," kata Oman. 

Mencari Ketenangan

Muhammad al-Manjibi al-Hambali, cendekiawan dari Suriah Utara abad ke-14, menulis kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373). Penyebaran wabah meningkat menjelang akhir Syawal, Dzulka’dah, dan Dzulhijah, kemudian menurun pada Muharram tahun berikutnya.

Kitab karya Al-Manjibi itu diterjemahkan oleh Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa, dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi's Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal Poetics Today.

Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal

Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang meninggal dunia. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' (ta’un al-akhyar)," kata Al-Manjibi.

Namun, mayoritas yang tewas adalah anak-anak. "Sangat parah sehingga keluarga teman-teman kami kehilangan semua anak-anak mereka, tidak ada yang selamat," kata Al-Manjibi.

Menurut Oman, Al-Manjibi menulis karya itu untuk menghibur orang yang sedang bersedih karena tertimpa wabah. Karya itu diharapkan memberikan rasa tenang kepada orang-orang yang panik.

"Saya ingin menghibur supaya mereka rileks, tidak stres, maka aku karanglah kitab ini. Ini untuk menghibur mereka yang terkena wabah," kata Al-Manjibi dikutip Oman.

Baca juga: Alquran dan Hadis dalam Perdukunan di Barus

Ibnu Khatimah, ulama sekaligus ahli medis, sejarawan, dan penyair dari Andalusia, juga menyaksikan wabah Maut Hitam merebak di Eropa. Menurutnya, ketika wabah merebak, penting untuk menjaga moral dan jiwa agar terus merasa gembira, tenang, rileks, dan penuh harapan.

"Masyarakat harus mencari pendamping yang menyenangkan, pendamping yang terbaik adalah Alquran," kata Ibnu Khatimah dikutip Dols.  

Masyarakat yang berada di tengah wabah juga bisa mencari ketenangan lewat buku sejarah, humor, dan kisah cinta untuk mengisi pikiran. Mereka harus mengindari berbicara tentang apapun yang bisa membangkitkan kesedihan.

"Intinya Anda harus ceria, harus rileks, jaga asa, di sini contohnya jangan bicara yang sedih-sedih, baca buku sejarah, humor, dan kisah cinta," kata Oman.

Ibnu Khatimah juga menyarankan untuk mengurangi pergerakan supaya menghindari penularan lewat pernapasan.

Mengisolasi Diri

Banyak ulama dan cendekiawan muslim mendukung hadis yang melarang tidak masuk dan melarikan diri dari wilayah terkena wabah. Salah satunya Ibnu al-Khatib (1313–1375) yang lahir di Loja, Granada (sekarang masuk wilayah Spanyol).

Al-Khatib banyak menulis tentang sejarah, filsafat, mistisisme, kedokteran, dan puisi. Risalahnya yang penting tentang wabah pes (Maut Hitam) berjudul Muqni’at as-sa’il ‘an marad al-ha’il.

Menurut William B. Ober dan Nabil Alloush dalam "The Plague at Granada 1348–1349: Ibn Al-Akhatib and Ideas of Contagion" yang terbit dalam Bulletin of the New York Academy of Medicine, karya itu ditulis setelah tahun 1352 karena Al-Khatib juga menyebut kisah Ibnu Battutah tentang wabah di Timur Tengah. Pengelana asal Maroko itu sempat mengunjungi Granada pada 1349–1352.

Baca juga: Catatan Ibnu Battuta tentang Wabah Penyakit Mematikan

Al-Khatib merekomendasikan sejumlah tindakan pengobatan yang tak banyak berbeda dengan ulama lainnya. Namun yang menarik, ia menekankan adanya penularan. Penyebaran penyakit terjadi melalui kontak antarmanusia. Menurutnya orang yang kontak dengan korban wabah akan mati. Sedangkan orang yang belum terpapar akan tetap sehat.

Pakaian mungkin salah satu yang bisa membawa penyakit masuk ke rumah. Bahkan anting-anting yang dipasang di telinga pun bisa berakibat fatal.

"Penyakit ini bisa muncul pertama kali dalam satu rumah di kota tertentu, lalu menyebar dari sana ke tetangga, kerabat, atau pengunjung," kata Al-Khatib dikutip Ober dan Alloush.

Wabah dapat merebak ke kota pantai karena seseorang yang mengidapnya datang dari seberang lautan yang wilayahnya terjangkit penyakit.

"Banyak orang tetap dalam kondisi sehat jika menjaga diri mereka terisolasi dari dunia luar," kata Al-Khatib.

Baca juga: Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa

Al-Khatib mencontohkan, seorang saleh bernama Ibnu Abi Madyan dari wilayah Salé, Maroko, percaya adanya penularan. Karenanya ia menyiapkan perbekalan, membangun rumah dengan bata, dan mengisolasi keluarga besarnya.

"Kota itu sangat terdampak, tapi tak ada seorang pun dari keluarganya yang terjangkit," kata Al-Khatib.

Ada banyak komunintas yang tinggal jauh dari jalan raya dan jalur perdagangan tetap sehat. "Contoh lain adalah para tahanan di Sevilla, mereka tak terdampak. Padahal kota itu sangat terpukul akibat wabah," kata Al-Khatib.

Menjaga Imunitas

Ibnu Khatimah menganjurkan untuk menjaga imunitas saat menghadapi wabah. Dalam karyanya, ia menjelaskan ada orang yang punya imun baik dan tidak.

Oman mengatakan Ibnu Khatimah memberikan berbagai tips untuk memperkuat ketahanan tubuh. "Ulama sekaliber Ibnu Khatimah menjelaskan dari herbal. Logikanya seperti sekarang," kata Oman.

Baca juga: Nusantara Terdampak Wabah Penyakit yang Melanda Dunia

Misalnya, mengolesi muka, tangan, dan tubuh dengan sitrun, kandungan dalam jeruk, atau bunga segar. Ia juga menyebutkan buah-buahan untuk diminum.

"Seseorang harus menggosok wajahnya dan tangannya dengan aroma lain seperti serai, lemon, dan bunga segar seperti mawar dan violet," kata Oman.

Ibnu Khatimah juga menyarankan agar banyak menghirup udara segar, tinggal di rumah yang menghadap ke utara, dan menjaga tetap terkena sinar matahari dan angin hangat.

Ia juga menganjurkan agar memenuhi rumah dengan wangi-wangian, seperti membakar kayu cendana dan kayu gaharu; merendam mawar dan memercikan air mawar di rumah dan penghuninya.

"Karena diyakini penyakit muncul dari tempat kotor dan bau. Campuran kayu gaharu dengan air mawar juga bisa diminum," kata Oman.

Baca juga: Air Kapur Barus Minuman Ahli Surga

Menurut Oman, kebanyakan naskah terkait wabah dihasilkan oleh para ulama yang hidup saat Maut Hitam menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam. Tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam juga terdampak.

"Dalam tradisi Islam, dari Alquran dan Injil dilihat secara bersama-sama, ketemu titik temunya bahwa ini wabah kemanusiaan. Sama seperti sekarang, etnis apapun, agama apapun bersama menangani wabah ini," kata Oman.

TAG

islam penyakit psbb

ARTIKEL TERKAIT

Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Dari Bersin hingga Penyakit Kelamin Sukarno Sakit Ginjal Pencarian Islam Muhammad Ali