Masuk Daftar
My Getplus

Pemerintah Kolonial Pernah Menunda Pemberangkatan Jemaah Haji

Keberangkatan jemaah haji dihentikan sementara. Bahkan, demi keselamatan, pemerintah kolonial memulangkan mereka.

Oleh: Arief Ikhsanudin | 31 Agt 2015
Jemaah haji asal Cianjur, 1890. Foto: KITLV.

TIMUR Tengah dalam keadaan rawan karena konflik yang berkepanjangan. Teror ISIS atau Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam Irak dan Suriah) menyasar Saudi Arabia, di mana Mekah berada, tempat kaum Muslim menunaikan ibadah haji. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tetap mengirim jemaah haji ke Mekah. Hal ini berbeda dengan kejadian di tahun 1915. Pemerintah Hindia Belanda tidak mengirimkan jemaah haji karena pecah Perang Dunia pertama (1914-1918).

Melalui Javasche Courant, 17 Mei 1915, pemerintah kolonial mengumumkan bahwa selama perang tidak dilaksanakan perjalanan ke Mekah dengan pertimbangan: biaya hidup di Hijaz terlalu mahal, perubahan kurs uang Turki terhadap gulden Hindia Belanda, dan maskapai pelayaran Belanda menetapkan tidak akan mengoperasikan kapal hajinya.

“Keputusan tersebut sempat diprotes oleh pemerintah Turki yang turut serta dalam Perang Dunia I itu. Keikutsertaan Turki dalam perang tersebut telah menimbulkan keadaan yang luar biasa di Hijaz,” tulis Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia. Saat itu, Mekah yang merupakan daerah Hijaz adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani.

Advertising
Advertising

Turki bergabung dengan Blok Sentral bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria, melawan Blok Sekutu, yaitu Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Keterlibatan Turki menyeret peperangan ke Timur Tengah.

Selain tidak mengirim jemaah haji, pemerintah kolonial juga memulangkan jemaah haji yang biasa disebut koloni Jawah (Ashhab al-Jawiyyin) dari Jeddah. Karena maskapai pelayaran Belanda tidak beroperasi selama perang, pengangkutan jemaah haji itu dilakukan oleh konsorsium perusahaan Arab yang terdiri dari Said Umar Assagaf, Omar Nasif, dan Muhammad Ali, serta Alfred Holt di Liverpool, yang menetapkan Singapura sebagai pelabuhan haji. Jemaah haji yang berhasil dipulangkan sekira 5.000 orang.

“Oleh karena kekurangan kapal, jemaah haji harus menunggu lama di Jeddah yang memerlukan banyak biaya. Sebagian di antara mereka bahkan terpaksa menandatangani kontrak kerja sebagai kuli kelapa sawit di Cocob,” tulis Shaleh. Jemaah haji yang terpaksa menetap di Hijaz itu karena tidak ada kapal haji atau karena selama ini tidak mempunyai tiket untuk pulang.

Meskipun perang masih berlangsung, ada sekira 70 orang pada 1916 dan sepuluh orang pada 1917, yang tetap berusaha berangkat haji. Pada 1916, sebagian jemaah telah berada di Bombay, India. Karena tidak ada kapal haji yang akan ke Jeddah, pemerintah India meminta mereka kembali daripada tinggal di sana. “Rupanya beberapa orang calon haji nekat untuk melaksanakan haji pada masa peperangan tersebut melalui Bombay,” tulis Shaleh.

Selanjutnya, entah mereka kembali ke Indonesia atau terus melanjutkan perjalanan menuju Jeddah. Yang jelas, ini membuktikan bagaimana jemaah Indonesia memiliki semangat yang menggebu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Semangat itu terawat hingga kini.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri